Oleh: Debi Debora Okowali*
Tanah Papua dijuluki sebagai surga kecil yang jatuh ke bumi. Oleh karena itu, selalu menjadi rebutan banyak pihak yang mengakibatkan berbagai konflik, baik konflik yang berdimensi politik, sosial, budaya dan ekonomi, maupun ekologi.
Namun, dari semua itu konflik politik menjadi akar masalah utama terjadinya berbagai konflik di Tanah Papua.
Kekerasan, intimidasi, pembunuhan, diskriminasi, rasisme, marginalisasi, kebodohan, keterbelakangan, kemiskinan, pembungkaman ruang demokrasi dan segala bentuk kekerasan lainnya menyelimuti kehidupan orang asli Papua, sejak diintegrasikan ke Indonesia melalui Pepera 1969.
Situasi dan kondisi ini terus berlanjut walaupun Otonomi Khusus Papua digulirkan tahun 2001 sebagai win-win solution atas konflik politik yang berlangsung sejak awal 1960-an hingga saat ini. Hasil kontrak politik yang termuat dalam UU Otonomi Khusus Papua belum sungguh-sungguh diimplementasikan oleh pemerintah, sehingga terjadi degradasi trust yang sangat mendalam dan dianggap sebagai strategi temporer, untuk meyakinkan masyarakat Papua, demi meredam tensi tuntutan Papua merdeka yang tinggi saat itu.
Oleh karena itu, Jaringan Damai Papua (JDP) terus berupaya untuk mengakhiri konflik dan mewujudkan Papua tanah damai sebagai visi atau impian semua orang di Tanah Papua. Papua tanah damai merupakan suatu tatanan ideal yang masih harus diperjuangkan bersama, oleh semua pihak yang berkepentingan.
Menurut JDP, Papua tanah damai mengandung sepuluh nilai dasar, yaitu keadilan dan kebenaran, partisipasi, rasa aman dan nyaman harmoni/keutuhan, kebersaman dan penghargaan, pengakuan dan harga diri, komunikasi dan informasi yang benar, kesejahteraan, kemandirian dan kebebasan.
Papua tanah damai memiliki multidimensi, maka tentu perdamaian di Tanah Papua harus secara holistik dan komprehensif, antara lain: Papua tanah damai perspektif politik, perspektif hukum dan hak asasi manusia, perspektif keamanan, perspektif penyelenggaraan pemerintahan, perspektif ekonomi, perspektif lingkungan hidup, perspektif kesehatan, perspektif pendidikan, perspektif kebudayaan, perspektif sosial, perspektif budaya dan perspektif spiritual.
Untuk mewujudkan itu, pendekatan peace making dan peace building dalam teori Johan Galtung diadaptasi dalam konteks penyelesaian konflik di Tanah Papua yang mengandung multi dimensi/perspektif.
Namun, dalam artikel ini lebih fokus pada konflik yang berkontribusi besar dan berpengaruh ke semua dimensi pembangunan, yaitu, konflik politik tentang sejarah Papua diintegrasikan ke Indonesia melalui proses Pepera.
Untuk itu, model pendekatan peacemaking bisa digunakan untuk mengakhiri konflik tersebut. Menurut Johan Galtung (1976) peacemaking adalah proses yang tujuannya mempertemukan atau merekonsiliasi dan strategi dari pihak yang bertikai melalui mediasi, negosiasi, dan arbitrase, terutama pada level elite atau pimpinan.
Pihak-pihak yang bertikai dipertemukan guna mendapat penyelesaian dengan cara damai. Hal ini dilakukan dengan menghadirkan pihak ketiga sebagai penengah.
Akan tetapi, pihak ketiga tersebut tidak mempunyai hak untuk menentukan keputusan yang diambil. Pihak ketiga hanya menengahi apabila terjadi suasana yang memanas antara pihak yang bertikai yang sedang berunding.
Dalam konteks penyelesaian konflik politik Papua ini tentu semua pihak mendorong adanya dialog antar aktor utama, yaitu pemerintah Indonesia dengan Organisasi Papua Merdeka/United Liberation Movement for West Papua (OPM/ULMWP) yang dimediasi oleh pihak ketiga (negara) yang netral sebagai penengah.
Dalam dialog tersebut pada prinsipnya bukan untuk mencari siapa yang menang dan kalah, tetapi bagaimana berbagai pihak menyepakati win-win solution yang tepat, untuk mengakhiri konflik yang tidak berkesudahan ini. Pendekatan ini pernah dilakukan dalam menyelesaikan konflik antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Pemerintah Indonesia. Konflik tersebut dimediasi oleh Finlandia di Helsinki pada 15 Agustus 2005.
Kesepakatan ini merupakan pernyataan komitmen kedua belah pihak, untuk penyelesaian konflik Aceh secara damai, menyeluruh, berkelanjutan dan bermartabat bagi semua pihak.
Model penyelesaian konflik Aceh ini mestinya dipakai juga untuk mengakhiri konflik berkepanjangan di Tanah Papua, sebagaimana yang selama ini disuarakan oleh gereja-gereja di Papua, JDP, Kontras, aktivis HAM, LBH dan berbagai aktivis pemuda Papua.
Dalam konflik Papua ini banyak aktor dengan kepentingannya dalam hal ekonomi (kapitalis global) dan geopolitik wilayah Pasifik selatan, sehingga dibutuhkan dialog yang lebih holistik dan komprehensif. Dalam dialog tersebut dihadirkan juga pihak Amerika dan Belanda selaku pihak yang pernah terlibat dalam konflik politik Papua, agar semua duduk dalam satu meja dialog yang bermartabat.
Selanjutnya konsep membangun perdamaian atau peace building didefinisikan sebagai aktivitas yang memiliki ruang gerak luas, terutama mencakup rekonsiliasi, transformasi sosial dan peningkatan kapasitas para pemangku kepentingan.
Peace building dapat berjalan setelah peacemaking atau dialog tersebut dilaksanakan, tanpa itu tidak bisa menciptakan perdamaian. Proses penyelesaian akar masalah Papua untuk kasus kegagalan pembangunan, marjinalisasi dan diskriminasi orang asli Papua, kekerasan negara dan tuduhan pelanggaran HAM, dapat ditempuh dengan pendekatan peace building itu.
Dengan semangat peace making (dialog damai) semua pihak saling bekerja sama membangun peace building dalam berbagai dimensi.
Salah satu langkah strategisnya adalah konsistensi dan komitmen yang sungguh-sungguh dalam menjalankan UU Otonomi Khusus Papua sebagai win-win solution pada tahun 1999/2000 untuk mengakhiri konflik berkepanjangan.
Komitmen tersebut diwujudkan dengan membentuk pengadilan HAM (kasus pelanggaran HAM yang pelakunya dari aparat dan korbannya warga sipil, diadili melalui pengadilan HAM, bukan pengadilan militer), Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, Penegakan Hukum yang berkeadilan, perlindungan dan pengelolaan hutan adat, perlindungan dan pengembangan bahasa dan budaya, pengelolaan pertambangan rakyat, perlindungan ekonomi rakyat Papua, pendidikan kebudayaan Papua, ketenagakerjaan Papua, kependudukan Papua, partai lokal Papua, pengelolaan kesehatan Papua, ruang demokrasi dibuka, dan sebagainya.
Produk-produk hukum yang penjabaran dari UU Otsus tersebut dibentuk dan dilaksanakan secara konsisten oleh semua pihak. Selain itu, dalam skala nasional sudah ada Undang-Undang Nomor 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Undang-undang ini perlu diperkuat lagi, sehingga bisa diterapkan sebagai mata pelajaran di setiap satuan pendidikan di seluruh Indonesia untuk mengurangi pikiran, sikap dan perbuatan rasisme terhadap sesama anak bangsa.
Langkah-langkah tersebut diharapkan dapat menciptakan perdamaian. Meskipun tidak bisa dipungkiri juga, bahwa setiap kehidupan manusia tidak terlepas dari konflik, namun paling tidak, dua pendekatan ini bisa mengurangi eskalasi konflik, sehingga tercipta Papua tanah damai, sebagaimana yang didambakan oleh semua pihak di Tanah Papua. (*)
* Penulis adalah mahasiswa program studi Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga