Oleh: Sebedeus G. Mote
Kata lain dari dialog adalah sebuah bentuk komunikasi antara sesama manusia, maupun manusia dengan ciptaan lain, untuk lebih saling memahami. Manusia adalah makhluk individual, sekaligus makhluk sosial yang mengambil bagian dalam seluruh kehidupan.
Setiap manusia juga memiliki identitas yang berbeda dengan manusia lainnya. Di satu sisi, manusia perlu mengenal manusia lain dalam kehidupan sosialnya, agar manusia dapat saling berinteraksi dengan baik, sembari menjunjung nilai humanitasnya.
Oleh karena itulah manusia membutuhkan dialog dalam hidup satu sama lain. Tanpa dialog hidup manusia tentu akan brutal, karena dialog adalah “makanan pokok” manusia. Dialog tidak bisa dilepaskan dari keseharian dan perkembangan diri kita sebagai manusia.
Lewat dialog, kita didorong untuk memahami hidup itu sendiri, mulai dari diri sendiri dengan sesama dengan lebih baik, sekaligus menumbuhkan penghargaan hak asasi manusia. Dialog kemanusiaan harus dibangun karena tanpa dialog jiwa manusia menjadi layu dan kering.
Presiden Indonesia VS dialog Jakarta-Papua
Tanggal 15 Maret 2015 melalui Staf Khusus Sekretaris Kabinet, Jaleswari Pramodhawardani menyatakan, Presiden Joko Widodo akan mengedepankan dialog untuk menyelesaikan permasalahan di Papua dan Papua Barat. Dialog yang akan dikedepankan tidak mungkin berjalan secara instan, sehingga diperlukan proses untuk menyelesaikan permasalahan pembangunan di Papua.
“Permasalahan di Papua sangat kompleks karena banyaknya kelompok, sehingga yang terpikir oleh Presiden adalah dialog dan berbicara dengan elemen masyarakat yang ada di Papua. Apa yang bapak presiden pikirkan itu adalah langkah yang baik. Karena dirasa amat penting hal ini juga lalu sudah muat dalam (JDP News edisi 6-3l Maret 2016, hlm 1-2). Kami mendesak Presiden Joko Widodo tidak boleh lagi mengartikan dialog Jakarta-Papua dalam pengertian dangkal seperti dialog konstruktif yang sifatnya membangun kekuasaan para elite Jakarta yang pernah digagas oleh mantan Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono kala itu, tetapi harus membangun dialog secara holistik. Carilah solusi yang bisa diterima oleh semua pihak terutama rakyat Papua.”
Apa yang disampaikan oleh Bapak Presiden ini tidak tajam dan terukur, karena yang dijawab adalah pembangunan, bukan dialog penuh terbuka dengan pihak-pihak atau para aktor konflik yang ada, baik pihak Pemerintah Indonesia, maupun Papua. Pemikiran Presiden Jokowi adalah pembangunan dan itu tidak menjamin.
Penulis juga menilai Presiden Jokowi “penakut” yang tidak bisa merealisasikan dialog dengan baik. Semenjak kebijakan DOB di Tanah Papua, korban berjatuhan di antara kedua pihak, yakni antara Indonesia dan Papua.
Presiden Joko Widodo dalam suatu kesempatan pernah mengatakan Papuan problem can no longer be solved by force. Papuans are tired of violence, so there needs to be a dialogue between Jakarta and Papua.
Namun, kenyataannya hanya menjadi wacana dan wacana publik. Ingat bahwa tangisan dan penderitaan akan berkembang jika tidak didialogkan. Derita dan air mata semua orang yang tinggal di Papua bukan warisan. Sebagai pemimpin negara harus pikir ini.
Dialog kunci penyelesaian persoalan Papua
Saya yakin bahwa dialog itu adalah kunci penyelesaian konflik dan kekerasan di Tanah Papua. Tanah ini akan menjadi soal sepanjang masa jika tidak dialog, karena belum dijawab secara terbuka yang bisa diterima oleh semua pihak. Maka dari itu, kita membutuhkan dialog antara Papua dan Jakarta.
Dialog Jakarta-Papua tidak boleh hanya sekadar wacana, tetapi kedua belah pihak harus saling menerima dan memahami dan membangun dialog yang hidup. Para pihak yang bertikai harus saling menerima, jujur dan terbuka untuk bicara semua persoalan yang ada.
Pasca pemekaran daerah otonomi baru (DOB) di beberapa wilayah Papua, korban berjatuhan, baik pihak Indonesia, maupun Papua yang menjadi “luka di atas luka”. Sungguh ngeri.
Dalam akal sehat negara, dengan hadirnya DOB situasi akan aman, tetapi menambah konflik dan kekerasan. Negara Indonesia dalam hal ini tidak bijak melihat persoalan Papua. Mayoritas rakyat Papua melalui demonstrasi dan tulisan-tulisan sudah sampaikan kalau DOB hanya menambah luka, derita dan sebagainya.
Saya pikir para inisiator DOB sudah melihat beberapa peristiwa pelanggaran HAM terakhir, semenjak DOB baru disahkan di wilayah Papua bahwa banyak jiwa yang jatuh korban, misalnya, Mapia-Dogiyai Berdarah anggota polisi menembak mati seorang warga sipil atas nama Yulianus Tebay di kampung Tugomani dan tiga warga sipil ditembak dan mengalami luka-luka.
Wilayah Papua lain yang hari-hari ini konflik berlangsung secara nyata dan terbuka adalah Intan Jaya dan Ndugama. Di sana terjadi nyawa berjatuhan, penganiayaan, pemerkosaan dan bentuk sadis lainnya, baik pihak Indonesia maupun Papua.
Negara jangan menganggap remeh dengan tawaran dialog. Itu kunci mengakhiri semua ini! Sungguh tanah Papua darurat kemanusiaan.
Semua diskriminasi, kriminalisasi, ketidakadilan, penindasan, dan lain sebagainya adalah faktor yang menjauhkan manusia untuk menemukan damai yang sesungguhnya yakni hidup sebagai manusia yang bermartabat di hadapan pencipta segala-sesuatu.
Membangun Papua tanah damai yang bebas dari pelanggaran HAM adalah hal yang agak sulit mengapa? Karena tidak semua manusia atau Lembaga yang menerima konsep dialog yang ditawarkan oleh Jaringan Damai Papua (JDP) dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Dalam buku yang merupakan hasil penelitian panjang itu LIPI menemukan empat poin akar permasalahan Papua, di antaranya, kegagalan pembangunan, marjinalisasi dan diskriminasi orang asli Papua (OAP), tuduhan pelanggaran HAM, sejarah dan status politik Papua. Kemudian LIPI merekomendasikan kepada pemerintah Republik Indonesia, untuk segera menyelenggarakan dialog damai dengan rakyat Papua.
Rekomendasi dialog ini kemudian diperjelas oleh Ketua JDP mendiang Pater Neles Tebay, dengan menuliskan konsep dan mekanisme dengan bukunya berjudul Dialog Jakarta-Papua: Sebuah Perspektif (2009). Sehingga rampunglah tumpukan persoalan Papua dan resolusi konfliknya, yakni dialog damai.
Namun, hingga kini menjadi wacana dan statement publik yang tidak pernah terealisasikan di negara Indonesia, padahal dialog menjadi kunci penyelesaian atas semua pelanggaran HAM di Tanah Papua.
Epilog
Negara Indonesia harus berpikir dengan bijaksana. Janganlah melihat manusia Papua “bagai monyet”. Sejatinya orang Papua adalah manusia, bukan label tidak manusiawi yang dipikirkan oleh negara Indonesia. Negara harus mempertemukan pihak ideologi Papua merdeka harga mati dan NKRI harga mati, karena situasi tersebut masih hangat di tanah Papua.
Melahirkan konflik dan pelanggaran HAM yang jatuh korban adalah warga sipil. Melalui ini terus memelihara kebencian yang merusak hidup persaudaraan manusia. Penulis pikir ini masalah yang serius, oleh karena itulah penulis merasa amat sangat penting untuk disampaikan secara terbuka demi melahirkan sikap hidup baru atau lebih tepat semua orang yang hidup di Papua memulai hidup bersama yang baru tanpa ada konflik dan kekerasan.
Dialog menjadi kunci penyelesaian demi keselamatan alam dan rakyat tertindas maka itu mesti secara terbuka dilihat bersama. Perjuangan kemanusiaan tanpa batas mesti dijunjung tinggi karena kita semua adalah manusia yang bermartabat.
Dialog merupakan sarana yang didorong oleh Jaringan Damai Papua (JDP) untuk mencari solusi penyelesaian masalah untuk tidak merugikan siapapun. Oleh karena itu dialog sepatutnya dilaksanakan dan diwujudkan di tanah Papua. Dialog merupakan kunci penyelesaian sebab itu hendaknya duduk dan bicara dengan melibatkan pihak ketiga yang netral .
Pertemuan menjadi penting supaya ada pembaharuan hidup bersama demi menciptakan suasana yang damai baik di Indonesia maupun Papua sekaligus ikut memelihara dunia dari konflik dan kekerasan. Dosa konflik, kekerasan, penghilangan nyawa, dan lain sebagainya hanya merusak hidup dalam kekeluargaan. Sebab itu dialog menjadi kunci penyelesaian atas semua dinamika yang memburuk di tanah West Papua. (*)
Penulis adalah relawan Jaringan Damai Papua atau JDP