Oleh: Siorus Degei*
Bangsa Papua terus-menerus digunturi berita duka. Rupanya, Papua bukan Papua jika dalam setiap guliran hari hidupnya tidak ada satu pun petaka yang menimpanya. Secara bertubi-tubi dan wajar dalam dua tiga bulan terakhir ini Papua diguncang berita duka yang mendalam. Hampir semua pejuang kemanusiaan dan perdamaian di bumi Papua satu per satu dipanggil Tuhan ke “honai surga” yang damai.
Jumat, 7 Oktober 2022, tepat pukul 10:00 waktu Belanda, bangsa Papua juga kehilangan salah satu perempuan hebat Papua di kancah politik internasional karena dipanggil pulang oleh Sang Khalik, Leoni Tanggahma. Leoni adalah putri kedua dari pasangan mendiang Benny Tanggahma dan Sofie Komber. Ben Tanggahma pernah menjadi kepala perwakilan Organisasi Papua Merdeka (OPM) di Senegal, hingga beberapa tahun sampai kantor tersebut ditutup.
Leoni Tanggahma merupakan koordinator diplomat international, mantan pelobi United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), salah satu juru runding West Papua dalam Konferensi Perdamaian Papua (KPP) tahun 2011 di Jayapura, dan staf pada kantor Mahkamah Internasional di Den Haag (Jubi.id, 9/10/2022).
Pasca perayaan tiga malam berpulangnya puan Leoni Tanggahma, Papua juga kembali kehilangan salah satu “martir” dan patriot sejatinya, Yonah Wenda, ketua Eksekutif WPNCL dan Ketua I Legislatif Council United Liberation Movement for West Papua (ULMWP). Legislatif Andy Ayamiseba yang telah meninggal, juga tutup usia, Senin (10/10/2022).
Belum cukup merasa pulih atas kepulangan para martir dan patriot sejatinya, bangsa Papua juga kehilangan salah satu pejuang mudanya, frater (calon imam) diosesan Jayapura, Paulus Zode Hilapok.
Paul Zode Hilapok adalah satu dari delapan mahasiswa yang mengibarkan Bintang Fajar di Gedung Olahraga (GOR) Cenderawasih, Jayapura, 1 Desember 2021. Zode ditangkap dan ditahan di rumah tahanan (rutan) Polda Papua sejak 1 Desember 2021. Dia merupakan calon imam Keuskupan Jayapura. Statusnya masih aktif sebagai mahasiswa aktif Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STFT) Fajar Timur Abepura, Sabtu pukul 00.12 waktu Papua di Rumah Sakit Umum Yowari, Zode Hilapok menghembus napas terakhir.
Dalam nuansa dukacita yang terjadi secara maraton ini, hati dan kalbu bangsa, tanah, alam dan leluhur bangsa Papua kembali diguncang dengan berita duka yang lebih menghentakkan lagi. Kali ini Papua diguncang berita duka atas kepulangan Filep Karma, Senin (1/11/2022) pagi, di sekitar pantai Base-G, Jayapura.
Filep Karma ditemukan warga pada pukul 06.30 WIT di pinggiran pantai dengan posisi terlentang ke atas. Berikut hendak diperlihatkan berita kematian Filep Karma yang beredar luas dengan cepat melalui media sosial (medsos), salah satunya WhatsApp lengkap dengan lampiran foto mayat ‘mansar’ (sebutan untuk bapak dalam bahasa Byak).
“Mohon cek kebenaranya bagi yang di jayapura. O, tolong e… Mohon yang ada di Jayapura, cek dulu. Apa benar itu bapa ka. Senin, 01 -11-2022 Jam 07.00 wit Warga Deplat Kiri Menemukan Jenazah Almarhum Filep Karma Di Pantai Base G sebelah Kiri Di Lokasi Steven Makanuay. Info ini benar atau tidak in teman2 tolong cek yang berada di kota Jayapura. Bapak, Ibu, Saudara, Saudari, mari kita tundukkan kepala buat Bapak/Kakak Filep Karma, seorang pejuang Papua yang tak kenal takut, telah dipanggil pulang setelah menyelam di Pantai Base G kemarin. Jenazahnya ditemukan pada jam 7 pagi tadi di arah kiri pantai. Biarlah jiwanya tenang di surga yang kekal.“
Kurang lebih demikian SMS berantai yang beredar sejak pagi tadi. Kemudian pihak Polsek Jayapura Utara dan Kapolresta Jayapura tiba di tempat dan mulai mengevakuasi jazad Filep Karma. Kapolresta Jayapura Kota, Kombes Pol Victor Mackbon membenarkan bahwa pihaknya sedang mengklarifikasi informasi kematian mansar Filep di lokasi kejadian. Rupanya benar bahwa jenazah Filep Karma ditemukan di Pantai Base-G, Kota Jayapura, Papua, Selasa (1/11/2022), sekira pukul 07.00 WIT (Kompas.com, 1/11/2022).
Sosok yang aktif dalam memperjuangkan hak-hak orang Papua itu diduga meninggal dunia karena tenggelam saat menyelam. Pihak keamanan juga mengimbau kepada seluruh masyarakat supaya tidak terpancing untuk melakukan hal-hal yang tidak diinginkan bersama. Saat ditemukan, Filep Karma masih menggunakan pakaian selam dan adanya alat-alat memburu ikan dan pelampung.
Seusai ditemukan, jenazah Filep Karma langsung dibawa ke Rumah Sakit (RS) Bhayangkara untuk dilakukan visum dan proses identifikasi (Papua.tribunnews.com, 1/11/2022).
Siapa sosok ‘mansar’ Filep Karma?
Setelah Arnold Ap (1 Juli 1945 – 26 April 1984) budayawan, antropolog, dan musisi Papua Barat, ketua grup Mambesak dan kurator museum Universitas Cenderawasih, ia memperkenalkan budaya Papua dalam acara radio mingguan yang diasuhnya, rupanya bangsa Byak khususnya, dan bangsa Papua pada umumnya, kehilangan seorang “napi sejati” dan “mansar terbaik” dalam sejarah perjuangan bangsa Papua “mencari Firdaus yang hilang”.
Setelah Arnold Ap pergi, 26 April 1984, ia ditembak di pantai Pasir Enam, sebelah timur Kota Jayapura, dalam satu skenario pelarian menuju Papua Nugini (PNG) yang diduga dirancang oleh Kopassus. Tiga butir peluru bersarang di perut dan lengan kanannya. Ap meninggal di rumah sakit Aryoko, Jayapura, dalam usia 39 tahun (Tirto.id, )
Bangsa Byak juga kehilangan salah satu pejuang sejati yang sekharismatik dengan Arnold Ap, yakni Tuan Filep Karma.
Filep Jacob Semuel Karma (lahir 15 Agustus 1959), lazim dikenal dengan nama Filep Karma, adalah aktivis kemerdekaan Papua. Pada tanggal 1 Desember 2004, ia ikut mengibarkan bendera Bintang Kejora dalam sebuah upacara di Jayapura.
Sosok Filep Karma disorot kembali setelah dia dibebaskan pada 19 November 2015 dari penjara Abepura. Dia adalah tahanan politik yang dipenjara karena menaikkan bendera Bintang Kejora dan berbicara dalam pawai pro-kemerdekaan Papua pada 2004.
Dia dibebaskan lebih awal setelah menjalani 11 tahun dari 15 tahun vonis penjara.
Pembebasan Filep Karma, 2015, merupakan bagian dari kebijakan pemberian grasi yang ditempuh Presiden Joko Widodo terhadap sejumlah tahanan politik di Papua. Saat itu Jokowi menyebut langkah itu sebagai upaya pemerintah dalam menyelesaikan konflik di Papua. Bersambung. (*)
* Penulis adalah mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STFT) Fajar Timur Abepura, Jayapura