Oleh: Siorus Degei
Lebih dari tujuh malam pejuang kemanusiaan dan kemerdekaan bangsa Papua, Filep Karma, menghadap Sang Khalik. Namun, penulis merasa bahwa kecurigaan terbesar yang masih menggugat nurani bangsa Papua adalah proses pemakamannya yang dilakukan pada malam hari dan terjadi secara mistis.
Dikatakan mistis sebab budaya Papua proto tidak mengenal pemakaman atau bakar mayat di tengah malam. Tidak ada atau belum ada tradisi seperti itu dalam budaya suku-suku di Melanesia, khususnya Papua (Byak). Apalagi untuk pemakaman sosok seperti Mansar Filep Karma.
Dari sini patut diduga kuat bahwa Filep Karma “dieksekusi” oleh negara melalui “penguasa” lautan, Nyi Roro Kidul–seperti dalam mitologi Jawa, demi meloloskan agenda KTT G-20 di Bali dan dialog nasional versi Komnas HAM RI, serta beberapa “kaki tangan” negara di Papua, dalam rangka melunasi 7.000-an triliun utang negara dan mencuci nama baik NKRI di mata dunia.
Terkesan bahwa ada semacam campur tangan “alam gaib” atau kuasa gelap dari “Nyi Roro Kidul” sebagai penguasa laut RI di balik kematian beliau.
Filep Karma, Edy Mofu, dan Arnold C. Ap adalah orang-orang Byak sejati, yang nenek moyangnya adalah para navigator dan pelaut sejati, justru ditelan ombak Pantai Base-G.
Pantai itu merupakan pantai bersejarah, karena pernah ditempati tentara sekutu, April 1944, dalam perang melawan Jepang. Salah satu pos pertahanan dibangun di sana sehingga diberi nama Base-G.
Perlu ditegaskan bahwa pemakaman “orang besar” sekelas Filep Karma di tengah malam, dalam tradisi dan budaya Melanesia Papua adalah sesuatu yang tabu. Dalam konsep pembagian waktu orang Papua proto dikenal bahwa pasca matahari terbenam (malam) adalah waktunya para “roh halus” atau “makhluk gaib”.
Aktivitas/rutinitas manusia, termasuk pemakaman dilakukan sejak matahari terbit sampai sebelum matahari terbenam. Jika matahari terbenam, maka itu sudah menjadi bagian dari aktivitas “setan”. Manusia sangat pemali untuk melakukan apapun pada malam hari, apalagi menguburkan tokoh atau sosok teladan.
Lautan manusia saat pemakaman Filep Karma pada malam hari itu–selain penghargaan orang Papua sebagai tokoh pejuang, seakan-akan seperti “sesajen” bagi “Nyi Roro Kidul”, demi kesuksesan KTT G20 di Bali, dan misi dialog nasional versi Komnas HAM RI. Jika demikian yang terjadi, maka “Nyi Roro Kidul” sedang menari ria pasca kematian dan ritual pemakaman Filep Karma itu.
Laut semakin ganas, nyai semakin kuat, para aktivis HAM Papua diharapkan pantang ke laut sebelum rekonsiliasi. Ada semacam mitos bahwa proklamator RI Soekarno pernah “menikah” dengan Nyi Roro Kidul.
Hal ini terbukti dari beberapa hal; 1) Dalam pidatonya di Istana Merdeka, 17 Juli 1959, Soekarno menyatakan bahwa sesuai tradisi sejak era Mataram Islam seorang raja dapat menjadi orang besar apabila menikah dengan Nyi Roro Kidul; 2) Dalam acara Musyawarah Nasional Maritim, 23 September 1963, nama Nyi Roro Kidul juga kembali disebut. Dalam mitologi orang Indonesia Jawa seorang raja Indonesia itu akan kuat jika ia menikah dengan Nyi Roro Kidul; 3) Soekarno mendirikan Istana Presiden Sukabumi di bibir Pantai Citepus, Jawa Barat, 1960, yang dikenal dengan nama Pesanggrahan Tenjores atau Hotel Ina Samudera.
Tradisi “nikah” dengan Nyi Roro Kidul ini atau “kawin dengan laut” ini sudah ada sejak zaman Panembahan Senopati, Sri Mangkunegara IX, Sunan Pakubuwono XIII. Bahkan berlanjut turun-temurun pada raja-raja keturunan Mataram (Kompas.com, 13/4/2022).
Filep Karma: “Kurban” KTT G-20 Bali dan dialog nasional?
Bahwa energi alam pantai Papua (Pantai Base-G) yang menolong Mansar Filep pada 12 Desember 2021 itu kini berhasil ditaklukkan oleh “Nyi Roro Kidul” dan pasukannya sebagai penguasa laut NKRI, yang terselip dalam skenario pembunuhan terstruktur, sistematis, dan profesional demi kesuksesan KTT G20 di Bali, 15-16 November 2022.
Papua akan menjadi salah satu komoditas pasar global empuk yang akan dikomersilkan oleh NKRI kepada negara-negara kapital, feodal, kolonial, imperial, borjuis, dan liberal yang mengikuti KTT G20 sesuai agenda “perburuan harta karun” di West Papua yang termuat dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) periode 2024.
Selain itu, dalam tenggang waktu yang sama pula negara hendak meloloskan dialog nasional. Negara sepertinya gentar dengan sosok seperti Filep Karma.
Hemat penulis supaya publik tidak tersesat, maka perlu ada;
Pertama, kunjungan Dewan Tinggi HAM PBB ke Papua sebagai tim investigasi dan advokasi independen asing yang tidak hanya menyelesaikan persoalan-persoalan HAM, tapi juga semua kejahatan kemanusiaan atas tokoh-tokoh Papua yang meninggal secara misterius dan tidak wajar, sebagaimana mendiang Filep Karma.
Kedua, jurnalis asing yang independen, netral, kredibel, dan par excellence mesti masuk ke Papua bersama KT HAM PBB guna menginvestasi, meneliti, mendokumentasikan dan mempublikasikan kronologi kematian Filep Karma dan semua tokoh Papua beserta semua peristiwa pelanggaran HAM secara paripurna.
Ketiga, perlindungan keluarga Filep Karma oleh lembaga kemanusiaan. Perlu juga rekonsiliasi internal keluarga inti Filep Karma.
Keempat, bangsa Papua mesti bersama dan bersatu dalam rencana dan kehendak Tuhan atas Papua. Bangsa Papua mesti bersatu dalam rekonsiliasi massal tiga tungku: adat, agama, dan pergerakan perjuangan, yang diprakarsai oleh Jaringan Doa Rekonsiliasi Untuk Pemulihan Papua (JDRP2) pada pertengahan November 2022, agar bangsa Papua bebas dari litani dan tirani kuasa gelap.
Kuasa kegelapan ini hanya bisa ditaklukkan dengan jalan perjuangan tanpa kekerasan sebagaimana teladan nasionalisme dan patriotisme Mansar Karma: berdoa, berpuasa, dan berjuang secara total, loyal, konsisten, setia, dan dilandasi dengan rasa cinta kasih yang besar.
Kelima, gagalkan KTT G20 di Bali oleh 56 negara atas dasar tumbal para pejuang kemanusiaan, kekayaan alam, dan kekuatan spiritual bangsa Papua.
Kita harus ingat bahwa 2023 adalah penentu mati-hidupnya bangsa Indonesia akibat lilitan utang luar negeri. Indonesia berada di ambang resesi ekonomi, sehingga dibuatlah pengalihan isu besar-besaran di Papua, yakni “pembunuhan” para pejuang sejati Papua dan pengumuman ihwal pemilihan uskup OAP (Orang Asli Papua) pertama secara bersamaan. Itu sebagai upaya gangguan psikologis massa di Papua. Ada rasa duka, tapi juga rasa suka.
Keenam, Filep Karma mengibarkan Bintang Fajar di Byak (1998) dan Jayapura (2004). Maka setelah kepergiannya, mesti ada 1.000 mahasiswa dan pemuda Papua yang siap mengibarkan Bintang Fajar. Sebab, untuk itulah perjuangannya.
Ketujuh, segala duka orang Papua akan dihapus oleh Komnas HAM RI melalui dialog damai Komnas HAM RI menjadi menjadi juru selamat. Percayakah bangsa Papua pada obat mujarab dialog damai versi Komnas HAM RI itu?
“Kalau saya harus mati sebelum Papua merdeka, maka saya akan ketemu Tuhan dan sampaikan bahwa orang Papua masih tertindas.” Memento Mori. (*)
Penulis adalah mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STFT) Fajar Timur Abepura-Papua