Oleh: Siorus Degei
Mansar Filep Karma adalah anak dari mantan Bupati Wamena dan mantan Bupati Yapen Waropen, Andarias Karma. Nama yang akrab dipanggil Filep Karma ini adalah pejuang Papua merdeka tanpa kekerasan.
Semenjak Reformasi 1998, Filep Karma memimpin pengibaran bendera di tower PDAM Biak dan sempat ditembak kakinya oleh aparat keamanan. Peristiwa itu dikenal dengan Biak Berdarah.
Seorang ASN dan anak dari mantan pejabat nomor wahid di tingkatan kabupaten ini meninggalkan kemewahan dan kenyamanan, untuk berjuang bersama rakyatnya demi sebuah cita-cita yang luhur yaitu kebebasan.
Memilih jalan damai dan berjuang tanpa kekerasan adalah prinsipnya, menyampaikan aspirasi dengan cara santun adalah pilihannya. Bagi Filep kekerasan hanya melahirkan kekerasan, maka ia berjuang dengan cara damai.
Walau sudah ditembak kakinya, walau divonis penjara 15 tahun, ia tidak menyurutkan semangat perjuangannya untuk membebaskan tanah leluhurnya yang masih terjajah. Ia bernazar, selama perjuangan belum tercapai jenggotnya tidak akan dicukurnya. Jika Papua merdeka, maka ia akan mencukur jenggotnya.
Di depan dadanya selalu melekat bendera bintang kejora. Ia secara terang-terangan menggunakan simbol bendera yang selalu dianggap bertentangan oleh negara Indonesia itu.
Berbagai tawaran jabatan dan fasilitas oleh pemerintah agar ia berbalik dari perjuangan ditolaknya. Itu karena ia tidak mau mengkhianati hati nuraninya, demi cita-cita yang luhur dan mulia.
Filep juga dengan lantang mengatakan bahwa lebih baik berjuang untuk pemekaran negara, sehingga orang Papua bisa jadi presiden dan menteri, dari pada pemekaran provinsi yang hanya menjadi budak Jakarta, dan makan tulang-tulang saja.
Filep Karma selalu konsisten memperjuangkan kemerdekaan Papua dengan cara damai. Ketika Pemerintah Indonesia hendak memberikan grasi ia menolaknya dan tetap menjalani hukumannya hingga tuntas di penjara dan keluar dari penjara disambut meriah oleh rakyat Papua sebagai seorang pahlawan.
Filep menulis sebuah buku yang sangat bagus dan menjadi opus magnum-nya yang par excellence bagi bangsa Papua, yaitu, “Seakan Kitorang Setengah Binatang: Rasialisme Indonesia di Papua” (2014).
Buku ini menjelaskan 52 tahun salah penanganan Papua Barat oleh pemerintah Indonesia. Faktanya, hingga hari ini, orang Papua Barat diperlakukan ‘setengah binatang’, bahkan hemat penulis sudah melampaui “binatang buas”.
Hal ini sangat konkret dalam purna karya misi keselamatan bangsa Papua yang diemban oleh Mansar Filep sendiri, di mana layaknya “binatang buas” tubuhnya terdampar mengenaskan di bibir Pantai Base G.
Menyoal kronologi kematian yang ambigu
Patut diduga kronologi kematiannya terbungkus secara sistematis dan profesional. Bahwa ada upaya pembungkaman fakta kronologi kematiannya di bawah todongan senjata.
Pasca kejadian hingga kini belum satu pun media yang mampu mengungkapkan secara terperinci, detail dan valid atas informasi kematian Filep Karma. Hanya mentok pada kronologi seputar penemuan mayat, lokasi kejadian, alasan kematiannya, yakni tenggelam, dan hal-hal seputar saksi dan keluarga.
Mansar Filep Karma keluar rumah jam berapa? Dengan siapa-siapa saja? Orang-orang atau pihak itu darimana? Enam orang yang beredar di foto persiapan penyelaman itu apakah keluarga kenal? Apakah itu foto yang benar atau tidak? Apakah mereka anggota keluarga atau teman atau kenalan Bapak Filep? Mereka dari mana? Saat itu mereka kemana, buat apa, dan makan apa? Untuk apa? Menyelam dalam rangka apa? Dan informasi-informasi sejenisnya yang paling kurang secara naratif mengisahkan kronologi misteri kematian Filep Karma sebelum ia meninggal hingga akhirnya ia benar-benar meninggalkan Bumi Papua.
Dari sinilah muncul beberapa kecurigaan; ini murni dan urgen pembunuhan berencana dan dieksekusi oleh orang-orang profesional. Dari keterangan keluarga korban yang beredar terkesan bahwa ada upaya penyederhanaan dan penutupan fakta kematian Filep yang sebenarnya.
Ada dua kemungkinan yang melatarbelakangi ini. Pertama, keluarga berada di bawah dua tekanan ekstrem di satu sisi pihak aparat keamanan mengintimidasi dan meneror keluarga, dan di sisi lain emosi massa bangsa Papua yang terus menuntut pengungkapan kebenaran atas kematian Filep Karma.
Kemungkinan kedua adalah bahwa ada oknum “pengkhianat”. Kita tidak bisa menafikan bahwa ada aktor “orang dalam” dalam kematian Filep Karma. Kita juga mesti sadar bahwa semua pejuang besar bangsa Papua, bahkan dunia terbunuh lantaran dikhianati: Yesus dikhianati Yudas Iskariot, Soekarno dikhianati Soeharto, dan lain-lain.
Penulis menyangsikan bahwa ada “musuh dalam selimut” dalam kematian Filep Karma. Bila mengikuti dan merefleksikan keterangan-keterangan dari pihak keluarganya, tampaknya ada upaya penyederhanaan kejadian tersebut.
Apakah benar bapak Filep Karma tenggelam karena kecelakaan? Apakah sebagai orang Byak sejati, yang nenek moyangnya adalah para navigator dan pelaut sejati Mansar Karma kurang cakap menyelam dan berenang di laut/pantai? Apakah Mansar Karma adalah orang gunung yang baru belajar menyelam dan berenang di pantai sehingga mengalami kecelakaan yang mengenaskan dan misterius? Di manakah wajah-wajah oknum dan pihak yang pergi menyelam bersama Mansar Karma?
Penulis tidak menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan substansial seperti di atas ini.
Pasalnya, narasi yang dikemukakan oleh Kapolres Kota Jayapura bahwa rakyat Papua jangan terpancing dan keterangan dari keluarga tidak beda-beda tipis. Sehingga terlihat suatu upaya pembungkaman fakta pembunuhan yang sistematis dan terstruktur. (*)
Penulis adalah mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STFT) Fajar Timur Abepura