Oleh: Siorus Degei
Lima orang yang diberikan grasi oleh Presiden Jokowi pada 2015 adalah para pelaku serangan di gudang senjata di markas Kodim Wamena tahun 2003. Filep Karma menolak tanda tangan proses grasi bersama lima tapol tersebut.
Karma berkata kepada BBC bahwa dirinya tidak mau mengajukan grasi, karena itu berarti dia mengaku bersalah, dan meminta presiden mengampuninya. Filep menginginkan amnesti, karena menurutnya dia tidak bersalah. Pada 19 November 2015, Filep Karma dibebaskan dari penjara Abepura, setelah menjalani 11 tahun penjara dari 15 tahun vonis yang dijatuhkan (BBC, 1/11/2022).
Sebenarnya pengalaman tenggelam di pantai sudah dialami almarhum pada 12 Desember 2021. Kala itu dia dikabarkan hilang di perairan Base-G, dan ditemukan oleh warga di Skouw Yambe, Distrik Muaratami, Kota Jayapura.
Sedianya kejadian tersebut menjadi pengalaman bagi almarhum untuk selalu waspada saat hendak menyelam. Bahwa alam Pantai Base-G yang adalah manifestasi “pertolongan otoritas langit” (Tuhan) sudah menegur Mansar Filep, untuk tidak menyelam lagi.
Ada satu foto yang cukup kontroversial ketika Filep berpose bersama empat orang amber (tiga pria satu wanita). Belum diketahui jenis kelamin si pemotret. Jadi kira-kira mereka ada enam orang. Dalam foto itu terlihat Mansar Filep sedang mempersiapkan peralatan menyelam.
Penulis menaruh besar hipotesis bahwa lima orang yang pergi menyelam bersama Mansar Filep itu adalah utusan dari Badan Intelijen Nasional atau BAIS. Sebab, terlihat sekali ciri khas dan karakteristik mereka dalam foto tersebut. Kita pasti sudah memiliki foto tersebut, dan besar kemungkinan kita semua menyangsikan bahwa kelima orang yang bersama dengan Mansar Filep itu adalah para intelejen terlatih, yang memang ditugaskan untuk “melenyapkan” Mansar Filep di Pantai Base-G.
Penulis sangat yakin bahwa kematian Filep Karma ini merupakan suatu perencanaan intelijen yang masak. Hal ini diindikasi pasca kejadian. Dalam tempo yang sesingkat-singkatnya Polsek Jayapura Utara dan Kapolresta Jayapura tiba di tempat kejadian, guna mengklarifikasi dan mengevakuasi jazad Mansar Filep.
Di sini tercium sekali bau konspirasi licik yang sudah dipersiapkan matang-matang. Kapolresta Jayapura bisa saja tidak tahu-menahu, tapi kita tunggu saja kenaikan pangkat besar-besaran di dalam tubuh TNI/Polri beberapa waktu ke depan.
Sebagai pejuang kharismatik Papua yang mendasari perjuangannya dengan jalan damai (non violence), Mansar Filep seharusnya bisa membaca dan menafsirkan “teguran alam” tahun lalu. Pada titik inilah penulis melihat bahwa rupanya Mansar Filep Karma melalaikan peringatan “alam, leluhur, dan Tuhan” untuk tidak lagi pergi menyelam sendirian bersama orang-orang misterius.
Kendati pun demikian, kita semua mesti optimistis bahwa konsekuensi logis atas pilihan menjadi pejuang, nasionalis, dan patriot selalu berhadapan dengan kematian. Bahwa kematian bagi para pejuang keadilan, kebenaran, dan kedamaian itu adalah hal wajar dan lumrah, apalagi ketika mereka berada dalam lilitan, litani dan tirani penderitaan, penindasan dan penjajahan. Darah yang mereka tumpahkan dan nyawa yang mereka persembahkan itu adalah penyubur api revolusi, api perjuangan, dan api perlawanan untuk merebut kemenangan, kedaulatan dan kemerdekaan bagi West Papua.
Leoni Tanggahma, Yonah Wenda, Zode Hilapok, Mansar Filep Karma, dan semua pejuang keadilan, kebenaran dan kedamaian di Bumi Cenderawasih yang mendahului kita, adalah tanda bahwa Tuhan selalu hadir bersama bangsa terjajah. Tuhan tidak jauh dan transenden bagi bangsa pribumi Papua yang tersalib oleh neokapitalisme, neofeodalisme, neoimperialisme, neokolonialisme, dan neoliberalisme. Bersambung. (*)
Penulis adalah mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STFT) Fajar Timur Abepura, Jayapura