*Oleh: Siorus Ewanaibi Degei
Tulisan ini hendak mengajak sidang pembaca untuk bersama-sama menyelami pemikiran filsafat politik yang orisinil, menantang dan menggangu dari filsuf kontemporer berkebangsaan Italia, Giorgio Agamben. Kita akan memakai pemikiran filosofisnya tentang homo sacer, demokrasi dan kedaruratan, untuk melihat situasi demokrasi di Indonesia.
Patokan yang akan dipakai adalah populasi penghargaan dan penghormatan demokrasi di Papua. Bahwa OAP (orang asli Papua) akan kita pandang sebagai homo sacer dalam bingkai kemerosotan dan pembungkaman, bahkan kematian ruang domokrasi di Papua.
Hemat penulis, salah satu cakupan atau referensi yang paling strategis dan fundamental dan ideal untuk mengukur kadar atau wajah demokrasi bangsa dan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) adalah Papua.
Bahwa demokrasi di NKRI akan terlihat indah, baik, rapi dan teratur jika demokrasi itu ada di Papua. Sebab—senada dengan Prof. Dr. Frans Magniz Suseno, SJ—bahwa Papua adalah luka paling membusuk dalam tubuh negara Indonesia yang belum tersembuhkan hingga hari ini. Sehingga memang dalam diskusi-diskusi nasional berwawasan kebangsaan dan kenegaraan itu, isu Papua mesti diangkat, digaungkan, dan dikampanyekan, agar mata hati dan telinga pemangku kekuasaan di Republik ini khususnya, dan komunitas internasional umumnya, terbuka untuk menyikapi persoalan Papua, dengan pendekatan-pendekatan resolusi konflik yang bermartabat, humanis, modern, damai, pancasilais dan demokratis.
Penulis menjadikan Papua sebagai ukuran suksesi praktik berdemokrasi NKRI dalam ilham pemikiran filsafat politik Agamben, karena adanya semacam kekurangan dalam “Diskusi Bedah Buku Demokrasi dan Kedaruratan: Memahami Filsafat Politik Giorgio Agamben” yang digelar Kaukus Muda Indonesia (KMI) bersama Teater Utan Kayu di Jakarta, Jumat (20/9/2022).
Diskusi tersebut akan menjadi referensi primer tulisan ini. Dalam diskusi tersebut Papua atau potret dan fenomena demokrasi NKRI di Papua itu tidak begitu mendapatkan tempat, sehingga penulis akan lebih banyak mengeksplorasi pemikiran Agamben tersebut, untuk menyikapi kebobrokan dan kemerosotan ruang demokrasi di Papua.
Siapa itu Giorgio Agamben?
Giorgio Agamben (bahasa Italia: aˈɡambɛn) yang lahir pada 22 April 1942, adalah filsuf asal Italia, yang mendalami pemikiran Aristoteles, Walter Benjamin, Martin Heidegger, Hannah Arendt, Carl Schmitt dan Aby Warburg. Banyak karyanya yang dipengaruhi oleh konsep biopolitik yang dikembangkan oleh Michel Foucault.
Pemikiran filsafat politik Agamben masuk dalam era filsafat kontemporer dengan cakupan filsafat Barat. Filsafat Agamben beraliran filsafat kontinental, pascamarxisme dan filsafat politik. Agamben meminati bidang estetika dan filsafat politik. Gagasan penting beliau dalam filsafat politik adalah homo sacer, bios, zoe, state of exception, form-of-life.
Agamben memperoleh pendidikan hukum dan filsafatnya di Universitas La Sapienza Roma. Di sana, ia menulis disertasi doktoral mengenai pemikiran politik Simone Weil. Ia pernah mengikuti seminar tentang Hegel dan Herakleitos yang dibawakan oleh Heidegger.
Agamben menjadi pengajar di beberapa universitas, di antaranya, Universitas Macerata dan Universitas Verona. Ia pernah menjadi kepala program di Collège Internationale de Paris dan dosen tamu di beberapa universitas di Amerika Serikat, serta dosen terhormat di New School, New York.
Salah satu sumber primer penulisan kita adalah diskusi buku KMI dan Teater Utan Kayu tadi—disertasi doktoral Agus Sudibyo pada STF (Sekolah Tinggi Filsafat) Driyarkara Jakarta, terbitan Marjin Kiri (2019). “Buku ini relevan dalam konteks Indonesia saat ini. Tesis Agamben yang menjadi pokok bahasan di buku ini adalah hubungan antara demokrasi dengan kedaruratan,” ujar moderator diskusi, Yustinus Prastowo.
Penulis buku tersebut, Agus Subidyo mengatakan, buku ini melalui pemikiran Agamben, sangat keras dalam mengkritik demokrasi. “Pemikirannya bisa kita gunakan dalam mengkritik rezim di negeri ini. Oleh karena itu, saya bersama beberapa rekan sepakat untuk menerbitkan buku ini setelah pemilu,” ujarnya.
Deskripsi buku “Demokrasi dan Kedaruratan: Memahami Filsafat Politik Agamben”
Pemikiran radikal Agamben semakin mengemuka belakangan, karena dipandang relevan untuk menjelaskan situasi dunia kontemporer, semisal krisis pengungsi global, diskriminasi yang dialami imigran; perang sepihak melawan terorisme.
Pemikirannya tentang state of exception (keadaan-darurat atau keadaan-perkecualian) serta homo sacer (manusia yang bisa dikorbankan dengan impunitas) membongkar politik yang selama ini kita pahami. Dan menunjukkan bagaimana di balik sistem demokrasi pun masih bersemayam suatu kekuasaan-berdaulat, yang merupakan kesinambungan dari kekuasaan pada era otoritarian.
Kerja filsafat Agamben berguna bagi siapa pun yang mempertanyakan kelembagaan sosial-politik-hukum yang melingkupi masyarakat.
Mereviu seminar
Empat pembicara dalam diskusi tersebut adalah Rocky Gerung, Akhmad Sihal, Romo Setyo Wibowo, dan Yustinus Prastowo. Tiga lainnya sebagai pembicara atau penanggap buku, sedangkan Yustinus Prastowo sebagai moderator.
Saya mencoba dengan semena-mena meringkas intisari dari pandangan ketiga penanggap.
Pertama, Romo Dr. Agustinus Setyo Wibowo SJ, filsuf dan pengajar filsafat di STF Driyarkara Jakarta, spesialis filsafat Yunani klasik, terutama spesialis filsafat Platon dan kontemporer. Dalam tanggapan, kritikan dan sarannya berjudul “Demokrasi Adalah Kamp Konsentrasi” dalam terang pemikiran filsafat politik Agamben seputar homo sacer, zoe dan bios (bios politikos), Romo Wibowo lebih banyak menekankan bagaimana demokrasi itu, terutama pada rezim Nazi Hitler hingga semakin ke sini, yakni, demokrasi liberal tampil sebagai “kamp konsentrasi”.
Kedua, Rocky Gerung banyak berbicara dengan kacamata analisis politiknya terkait pemikiran politik Giorgio Agamben. Rocky juga memakai kacamata politik Agamben terkait homo sacer untuk menjelaskan situasi dan kondisi demokrasi Indonesia;
Ketiga, Akhmad Sahal. Sebagai filsuf muslim, Sahal melihat Agamben sebagai pemikir yang hendak memperjuangkan kedaulatan yang replikisme. Melalui pemikirannya terkait demokrasi dan kedaruratan, Agamben hendak mempromosikan suatu keadaan masyarakat yang berkedaulatan.
Saya melihat bahwa setiap pembicara dalam diskusi melihat Giorgio sebagai pemikir filsafat politik, yang mengkritisi potret demokrasi global dewasa ini, yang membuat manusia berdiri pada posisi abu-abu, yakni, berada dalam posisi sebagai bios atau mahkluk politik yang melakukan aktivitas politik sebagai warga negara dan posisi zoe—manusia berada dalam posisi alamiah, atau ketertelanjagan sebagai bahasa Agamben sendiri.
Apa itu homo sacer, zoe, bios, demokrasi dan kedaruratan?
Sebelum melihat konteks pemikiran filsafat politik Agamben di Papua, perlu dijelaskan terlebih dahulu secara ringkas kira-kira apa yang dimaksudkan oleh Agamben dengan homo sacer, zoe, bios, state of exception demokrasi dan kedaruratan.
Pertama, Homo Sacer. Homo sacer berasal dari bahasa Latin, homo (manusia) dan sacer (suci dan terkutuk). Atau dalam hukum Romawi disebut sebagai hominus sacri – mereka yang boleh dibunuh tanpa pembunuh yang dianggap sebagai pembunuh, namun tidak boleh dikorbankan dalam ritual keagamaan.
Secara politis, homo sacer adalah mereka yang termarjinalkan dalam tatanan politik, mereka yang miskin (secara ekonomis) atau kaum minoritas (secara sosial);
Kedua, zoe. Bahasa Yunani zoe (ζωή) adalah hidup. Zoe menurut Agamben adalah keadaan alamiah seseorang sebelum masuk atau terdaftar sebagai warga polis (warga negara), sebuah keadaan keterlanjangan seorang manusia. Zoe menurut Agamben adalah bahasa simbolik, yang berarti kehidupan alamiah manusia dan binatang yang sekadar hidup, telanjang;
Ketiga, bios. Bios berarti cara hidup yang khas pada individu dan kelompok yang berkuasa (bios politikos). Masuknya zoe ke bios politikos yang mempolitisasi kehidupan yang “telanjang” menjadi “modernitas”;
Keempat, demokrasi. Demokrasi adalah suatu naturalitas dalam kehidupan politik. Menurut Agamben demokrasi adalah suatu keadaan yang kondusif—tidak ada kedaruratan. Kedaruratan di sini dipahami sebagai keadaan tidak natural, aman atau tidak kondusif, seperti konfrontasi, perang, revolusi, reformasi, dan sebagainya;
Kelima, kedaruratan. Kedaruratan di sini adalah lawan dari demokrasi, suatu keadaan yang tidak stabil, tidak seimbang, kesenjangan, timpang-tindih dan krisis.
Menurut Agamben, kedaruratan ini selalu melahirkan atau pontensial mewujudkan suatu masyarakat yang demokratis. Semisal, perlu ada suatu revolusi atau reformasi, guna menciptakan tatanan masyarakat yang adil, sejahtera dan demokratis. Maka, beliau menitikberatkan pemikiran politis dengan menggunakan demokrasi dan kedaruratan sebagai variabel, yang mendukung pembentukan dan pembangunan masyarakat;
Keenam, state of exception. Keadaan-darurat atau keadaan-perkecualian. State of exception merupakan keadaan pengecualian, di mana negara dapat membentuk hukum baru dan tidak mematuhi hukum yang telah ada. Negara dapat melakukan pengecualian ketika terjadi keadaan genting yang memicu kedaruratan, seperti bencana atau perang. Bersambung. (*)
*Penulis adalah mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STFT) Fajar Timur Abepura-Papua