Jayapura, Jubi- Bahasa Sentani dikuatirkan akan hilang dalam waktu 20 tahun ke depan, akibat terjadinya degradasi penutur yang fasih berbahasa Sentani. Hal ini diakui oleh salah satu tokoh masyarakat adat Sentani asal Kampung Ayapo, Lewi Puhili, ketika ditemui Jubi di Kampung Ayapo, Jumat(26/04/2024).
Lewi Puhili yang juga sebagai juru bicara Ondoafi Heram Ayapo ini menjelaskan, generasi muda saat ini, terlebih khusus di Kampung Ayapo sudah tidak bisa berbicara menggunakan bahasa ibunya [bahasa sentani]. Hal ini menurutnya dipengaruhi oleh faktor pendidikan dan lingkungan sekitar yang tidak mendukung.
“Guru-guru yang mengajar di sekolah menggunakan bahasa Indonesia, di rumah orang tua bicara bahasa Indonesia, bermain dengan teman menggunakan bahasa Indonesia. Akibatnya, penutur bahasa Sentani mulai hilang perlahan-lahan seiring berjalannya waktu,” jelasnya.
Khusus di kampung Ayapo, dari pengamatannya terlihat bahwa generasi 60 dan 70 -an masih lancar dan fasih berbahasa Sentani, tapi memasuki generasi 80 hingga 90-an hanya bisa mengerti, namun sulit bertutur. Sedangkan generasi 2000-an ke atas, banyak yang tidak mengerti bahasa Sentani.
Dengan melihat kondisi ini, Lewi Puhili yakin bahasa Sentani sedang dalam ancaman serius dan kemungkinan dalam kurun waktu 20 tahun bisa saja punah. Situasi ini bukan hanya terjadi di Kampung Ayapo, tapi dari pengamatannya di kampung-kampung lain di sekitar Danau Sentani, menghadapi situasi yang sama.
“Jadi tong pu bahasa ini sudah mulai terkikis dan ini juga disebabkan dari dalam keluarga sendiri tidak terapkan kepada anak-anak menggunakan bahasa ibu dari kecil, sehingga mereka terbiasa menggunakan bahasa Indonesia. Ini ancaman yang sangat serius, jadi kita harus mulai hidupkan kembali,”katanya.
Lewi Puhili yang juga sebagai Kepala Kampung Ayapo menyebutkan beberapa upaya yang harus segera dilakukan, terutama dari dalam keluarga maupun di sekolah-sekolah.Mulai dari memasukan bahasa ibu sebagai mata pelajaran muatan lokal atau mulok dari tingkat Paud, TK, SD, SMP, dan SMA. Lalu yang paling penting di rumah atau dalam keluarga masing-masing sudah harus mulai menggunakan bahasa ibu dalam komunikasi sehari-hari.
“Di Sekolah Dasar Ayapo sudah mulai melakukan itu. Ini sangat positif, harus dipertahankan dan ditingkatkan,” harapnya.
Selain itu kata Lewi, pihak gereja juga harus mengambil peran ini, dengan memprogramkan bahasa Sentani dalam kegiatan ibadah dan kegiatan gereja lainnya.
“ Misalnya setiap satu minggu ibadah harus dilakukan dengan bahasa ibu mulai dari nyanyian puji-pujian, liturgi dan khotbah semuanya harus dengan bahasa ibu sehingga mengembalikan bahasa ibu. Memang ini tidak menjamin, tapi kita harus mencoba, daripada tidak sama sekali,” jelasnya.
Sementara itu Kepala Balai Bahasa Provinsi Papua Sukardi Gau, belum lama ini kepada Jubi juga mengakui, bahwa secara umum semua bahasa daerah berpotensi menuju kepunahan, terutama bahasa daerah yang jumlah penuturnya kecil. Di Papua jumlah bahasa daerahnya banyak, mencapai 428 bahasa tetapi sebagian bahasa daerah yang penuturnya kecil atau sedikit, dikhawatirkan akan punah jika tidak dilestarikan dan diwariskan kepada generasi selanjutnya.
“Contoh nyata itu di Waena, apakah masih bisa kita melihat orang berbahasa Sentani, tidak? Tidak ada lagi, padahal ini wilayah penutur bahasa Sentani sebenarnya. Apalagi di Kota Jayapura, Entrop, di kota sana, atau di Abe sana, kita akan sangat sulit sekali menemukan orang-orang Papua yang bertutur dalam bahasa daerah,” jelasnya.
Karena itu, pihaknya berharap kepada generasi-generasi muda Papua di setiap daerah agar mempelajari bahasa daerahnya masing-masing. Juga kepada keluarga, karena keluarga adalah benteng terakhir pertahanan bahasa daerah. “Kalau keluarga memiliki sikap positif, bangga, rasa cinta pada bahasa daerahnya maka orang tua akan mengajarkan bahasa daerahnya kepada anak-anaknya,” ucapnya. (*)
Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!