Jayapura, Jubi – Pengadilan Negeri Jayapura pada Jumat (3/3/2023) menunda sidang Pra Peradilan yang diajukan Pelaksana Tugas Bupati Mimika, Johannes Rettob bersama Direktur Asian One, Silvi Herawati selaku tersangka korupsi pengadaan helikopter dan pesawat Pemerintah Kabupaten Mimika. Sidang Pra Peradilan itu ditunda karena jaksa dari Kejaksaan Tinggi Papua tidak menghadiri sidang.
Menurut Sistem Informasi Penelusuran Perkara atau SIPP Pengadilan Negeri Jayapura, Pra Peradilan itu diajukan Johannes Rettob dan Silvi Herawati pada 24 Februari 2023. Pra Peradilan itu terkait dengan keabsahan penetapan Rettop dan Silvi sebagai tersangka korupsi oleh penyidik Kejaksaan Tinggi Papua.
Perkara itu terdaftar dengan nomor perkara 1/Pid.Pra/2023/PN Jap. Sidang diperiksa dan akan diadili Hakim Tunggal Zaka Talpaty.
Dalam sidang Jumat, Talpaty menyatakan Kejaksaan Tinggi Papua menyampaikan surat permohonan penundaan sidang Pra Peradilan. “Jadi ini ada surat permohonan untuk menunda persidangan pra peradilan, karena belum ada surat kuasa [penunjukan jaksa],” kata Talpaty menjelaskan isi surat dari Kejaksaan Tinggi Papua itu.
Atas dasar itu, Talpaty menyatakan sidang Pra Peradilan tidak bisa dilanjutkan. Talpaty kemudian menunda sidang hingga Rabu (8/3/2023).
Pada 26 Januari 2023 Kejaksaan Tinggi Papua menetapkan Pelaksana Tugas Bupati Mimika, Johannes Rettob dan Direktur Asian One, Silvi Herawati sebagai tersangka korupsi kasus pengadaan pesawat jenis Cessna Grand Carawan dan helikopter Airbush H-125. Akan tetapi Kejaksaan Tinggi tidak menahan keduanya.
Usai sidang pada Jumat, Tim Kuasa Hukum Johannes Rettob dan Silvi Herawati, Juhari SH MH menyatakan pihaknya hanya memiliki waktu tujuh hari untuk sidang Pra Peradilan. Ia berharap jaksa bisa hadir, sehingga sidang Pra Peradilan bisa berjalan. “Kami harap hari Rabu [depan jaksa] agar hadir, sehingga sidangnya bisa cepat,” kata Juhari kepada wartawan di Kota Jayapura.
Juhari menyatakan sala satu alasan klien mereka mengajukan Pra Peradilan lantaran belum ada perhitungan kerugian negara atas kasus yang menjerat Johannes Rettob dan Silvi Herawati itu. Menurut Jahuri sampai saat ini belum ada perhitungan kerugian negara yang dilakukan Badan Pemeriksa Keuangan RI, sehingga ia menilai penetapan tersangka terhadap klien tidak sah.
“Yang berhak mengajukan kerugian negara itu hanya BPK. Walaupun dia (Kejati Papua) memiliki alat bukti dua atau tiga, tetapi [jika] dalam kasus tindak pidana [korupsi] tidak ada kerugian negara yang dihitung Badan Pemeriksa Keuangan, itu bukan pegangan [untuk menetapkan tersangka],” jelas Juhari.
Kejati Papua menemukan dugaan penyimpangan dan korupsi dalam proses pengadaan itu. Pengadaan Helikopter Airbus H125 senilai Rp43.890.000.000 misalnya, menggunakan izin impor sementara. Akibatnya, setiap tiga tahun sekali helikopter itu harus direekspor untuk kemudian diimpor ulang.
Dugaan penyimpangan dan korupsi juga ditemukan dalam pengelolaan dana operasional pesawat dan helikopter itu. Penyidikan Kejati Papua menemukan dugaan PT Asian One Air belum membayarkan hasil operasional kedua pesawat yang nilainya mencapai Rp21.848.875.000.
Penyidikan Kejati Papua telah merinci berbagai pengeluaran Dinas Perhubungan Mimika dalam pengadaan pesawat dan helikopter itu. Biaya pengadaan pesawat terbang Cessna Grand Caravan C 2088 EX mencapai Rp34.015.415.000. Sementara biaya pengadaan helikopter Airbush H125 termasuk mobilisasi (feery flight) Rp43.890.000.000.
Biaya mobilisasi pesawat terbang Cessna dari Wichita, Amerika Serikat, menuju Singapura menelan dana Rp530.670.000. Sementara biaya pengadaan dan pemasangan AP, STOL sesuai quete number 0615-2CS menelan dana Rp477.589.700. Biaya operasional kedua pesawat itu mencapai Rp295.316.500.
Selain itu, Dinas Perhubungan Mimika juga mengeluarkan penambahan biaya atau Adendum II senilai Rp6.500.000.000. Total nilai anggaran dalam pengadaan kedua pesawat itu mencapai Rp85.708.991.200. (*)
