Jayapura, Jubi – Sebanyak 133 kasus menimpa pembela lingkungan hidup di Indonesia dalam sepuluh tahun terakhir atau dari 2014 hingga 2023. Demikian data yang dirilis Auriga Nusantara pada Jumat (19/1/2024).
Berbicara pada talkshow yang diadakan Auriga Nusantara secara daring, Ketua Auriga Nusantara Timer Manurung menyimpulkan negara tidak terlalu melindungi atau gagal melindungi hak-hak masyarakat sipil.
“Tampaknya memang masyarakat sipil harus membangun sendiri perlindungan terhadap dirinya, membangun protokol keamanan pembela lingkungan, jadi kita berkonsultasi dengan teman-teman masyarakat sipil di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua,” kata Timer.
Timer menjelaskan, kriminalisasi merupakan jenis ancaman terbanyak yang dialami pembela lingkungan di Indonesia. Kasusnya mencapai 62 persen atau 82 dari 133 kasus.
“Kriminalisasi ini tidak selalu berupa vonis majelis hakim melalui pengadilan, tapi juga penetapan sebagai tersangka oleh kepolisian,” ujarnya.
Padahal, kata Timer, perjuangan yang dilakukan pembela lingkungan mestinya dilihat sebagai upaya mempertahankan dan melindungi lingkungan agar tidak terjadi kerusakan lingkungan yang lebih parah.
Timer membeberkan, dari 133 kasus tersebut terbanyak terjadi di Pulau Jawa (36 kasus), kemudian Sumatera (30 kasus), Sulawesi (23 kasus), Kalimantan (22 kasus), Bali dan Nusa Tenggara (15 kasus), Kepulauan Maluku (5 kasus), dan Tanah Papua (2 kasus).
“Tanah Papua menurut kami tidak banyak terekam karena informasinya minim, maluku lima kasus yang terekam, kita tahu bahwa sekarang ini banyak tambang yang bergerak terutama nikel,” ujarnya.
Jenis-jenis ancaman yang terekam paling banyak, kata Timer, adalah kriminalisasi, kekerasan fisik, dan intimidasi. Berdasarkan rekaman data sepanjang 2014-2023 itu, pembunuhan cukup tinggi.
“Hampir ada setiap tahun kalau secara statistik, perusakan property, lalu yang menarik bahkan imigrasi dan deportasi,” katanya.
Sedangkan Indonesianis atau orang luar yang peduli Indonesia, ada dua yang terekam oleh media. Ada penulis atau peneliti yang mempublikasikan data kebakaran dan ada jurnalis yang sedang mendalami kasus korupsi sumber daya alam.
“Ternyata banyak peneliti spesies dari luar Indonesia yang kesulitan beraktivitas di Indonesia, jadi masalahnya bukan karena dideportasi, tapi tidak diperpanjang izinnya,” ujarnya.
Menurut Timer undang-undang yang dipakai untuk menjerat pembela lingkungan adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau KUHP, UU Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, UU Darurat 12/1951, UU Informasi dan Transaksi Elektronik atau ITE, UU Keimigrasian, UU Anti-Demontrasi, UU Minerba [isinya yang memprotes pertambagan adalah kriminal], dan UU Panas Bumi.
Sedangkan korban-korban yang dibunuh Maradam Sianipar, Golfrid Siregar, Erni Pinem, dan Martua Siregar (Sumatera Utara), Indra Pelani (Jambi), Jopi Peranginangin (DKI Jakarta), Salim Kancil (Jawa Timur), Gijik (Kalimantan Tengah), Jurkani (Kalimantan Selatan), Erfaldi, Erwin Lahadado dan Arman Damopolii (Sulawesi), dan Marius Batera (Papua). “
Jadi pembunuhan terjadi di semua pulau, kecuali Maluku,” katanya. “Ini catatan sangat serius dan kalau kita lihat apakah orang-orang yang melakukan pembunuhan dihukum? Menurut kami hukumannya tidak setimpal dan bahkan banyak yang tidak ketahuan. Golfrid misalnya sampai sekarang kita tidak tahu siapa yang membunuhnya,” ujarnya.
Catatan tersebut, tambah Timer, memperlihatkan bagaimana pembela lingkungan tidak dilindungi. Tidak ada efek jera kepada para pelaku kekerasan.
Menurut Timer jumlah dan akumulasi kasus per tahun terjadi peningkatan dan paling signifikan pada 2017. Tahun itu di mana kasus meningkat karena proyek strategis nasional ditetapkan.
“Ini perlu penelitian lebih lanjut, kami lihat ada korelasinya, tapi data yang kami miliki bisa jadi pemantik selanjutnya 2018 menurun dan naik lagi 2019 sampai sekarang terus meningkat,” katanya.
Sedangkan 2020 dan 2021 meningkat 10 kali, yaitu saat pemerintah menetapkan Undang – Undang Omnibus Law. “Total ada 133 kasus selama 10 tahun. Jadi kalau kita bilang rata-ratanya 13,3 kasus per tahun. Sangat tinggi,” ujarnya.
Ancaman berdasarkan sektor, menurut Timer, pada periode Presiden Jokowi adalah periode yang sangat pro kepada tambang dan energi, seperti PLTU, batu bara, dan nikel.
“Atas nama hilirisasi kita patut bertanya, hilirisasi yang dimaksud itu apa? Karena tambang energi menyumbang 60 kasus, lalu perkebunan 34 kasus, kehutanan 14 kasus, sengketa tanah adat 9 kasus, perikanan dan maritim 9 kasus, dan lingkungan hidup (pencemaran) 7 kasus [pencemaran],” ujarnya.
Kemudian dari 107 korporasi, sembilan di antaranya melakukan kekerasan berulang terhadap pembela lingkungan. Hal itu menurut Timer terjadi karena tidak ada efek jera.
“Lagi-lagi hukum administrasi kita tidak dipakai secara maksimal dan pelaku masih bebas melakukan kekerasan dan tidak ada sanksi sama sekali kepada korporasi,” katanya. (*)