Oleh: Nico Syukur Dister
“Papua Bukan Tanah Kosong”, demikianlah judul sebuah buku yang tiga tahun lalu diterbitkan oleh “Sekretariat Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan” (SKPKC) – Fransiskan Papua.” Di dunia sekarang ini tidak kurang dari 370 juta orang termasuk dalam apa yang disebut “masyarakat adat” atau penduduk asli (indigenous people), seperti orang asli Papua (OAP) di Bumi Cenderawasih (bdk. Aksi Puasa Pembangunan 2022 di Negeri Belanda dalam majalah keuskupan Roermond, “De Sleutel”, 49 (Musim Semi 2022) hlm. 32-34).
Penduduk asli mendiami 30 persen permukaan bumi dan sering telah tinggal di tanah leluhur mereka untuk waktu yang lama; turun-temurun. Namun, hak-hak mereka sering diinjak-injak ketika daerah tempat mereka tinggal diklaim oleh perusahaan besar atau pemerintah–sebagaimana dialami oleh OAP. Tiada syak lagi situasi ini berpengaruh besar terhadap mereka itu, dan juga terhadap alam dan lingkungan hidup.
Pasar pangan sedunia, kebutuhan energi negara berkembang dan permintaan akan bahan baku untuk, misalnya, elektronika menuntut bidang-bidang tanah yang luas. Seringkali bidang tanah seperti itu ditemukan di daerah-daerah yang alamnya belum tersentuh.
Di Papua terdapat “Blok Wabu” yang kaya akan mineral seperti emas, maka perusahaan-perusahaan besar berebutan untuk memilikinya. Sayangnya kepentingan ekonomi biasanya dipandang lebih besar daripada hak-hak masyarakat yang mendiami daerah tersebut.
Tidak jarang para penduduk dirampok dari rumah dan tanah mereka. Dan dengan demikian dari habitat, identitas dan nafkah mereka.
Ned Tapa, seorang Maori dari Selandia Baru menjelaskan dalam film dokumenter pendek: “Akulah sungai. Sungai adalah aku. Tanpa sungai, aku tidak siapa-siapa.” Siapa pun yang menentang adikuasa pemerintah dan multinasional menempuh jalan yang mengancam jiwa. Pada tahun 2020 dibunuh sekurang-kurangnya 331 orang aktivis yang membela hak-hak masyarakat adat dan berjuang demi lingkungan hidup; ratusan aktivis lain diancam, diintimidasi dan dikriminalisasi. Di sini, baik hak asasi manusia, maupun alam dan lingkungan dikorbankan demi keuntungan ekonomi.
Keanekaragaman hayati di bawah tekanan
Lingkungan dan perlindungannya berkaitan erat dengan hak-hak atas tanah: masyarakat adat merupakan 6 persen dari populasi dunia, tetapi mereka mengelola 80 persen dari keanekaragaman hayati yang tersisa. Ingat akan hutan-hutan rimba, dan juga akan sungai-sungai dan pantai-pantai, yang menjadi habitat tanaman dan hewan yang tak terbilang banyaknya.
Para produsen pangan yang raksasa menggantikan ekosistem yang beraneka ragam dengan monokultur, di mana, cuma satu jenis tanaman saja bertumbuh; tumbuhan ini pun menjadi rapuh dan melemah akibat pupuk kimia dan pestisida berat. Misalnya perkebunan kelapa sawit (yang di Papua ini banyak), kopi dan kedelai. Lagipula lapangan rumput yang amat luas, tempat piara sapi untuk industri daging.
Di tempat lain air disita, misalnya untuk membangun pembangkit listrik tenaga air atau pun untuk mengairi perkebunan atau ladang pertanian. Akibatnya para penduduk asli hampir tidak lagi memiliki akses ke pasokan air alami dan makanan yang disediakan olehnya. Bahkan ada ahli yang mengatakan bahwa diskusi tentang hak-hak atas tanah itu, pokok pembicaraannya sebenarnya menyangkut akses pada air, sebab pada dasarnya tanah-tanah suburlah yang dilirik oleh para pihak dan di sana selalu terdapat air.
Pertambangan
Hak-hak atas tanah juga memegang peranan berkaitan dengan apa yang disebut “industri ekstraksi”, di mana bahan baku berharga diambil dari bumi. Contoh terkenal, tentunya, berlian, emas, perak, tembaga dan minyak, tetapi karena otomatisasi dan digitalisasi semakin bertambah, maka juga ada permintaan tinggi akan bahan baku untuk chip komputer dan untuk, misalnya, ponsel. Ini menyangkut logam seperti indium, neodymium, tembaga dan emas.
Untuk mendapatkan gambaran tentang tingginya permintaan bahan baku tersebut, ada baiknya mengetahui bahwa satu ponsel saja mengandung 20 mg emas. Bisa dibayangkan bahwa bagi tambang Freeport – Copper and Gold tidak ada masalah untuk memasarkan hasilnya yang diambil dari tanah OAP yang pernah tinggal di areal Freeport.
Industri ekstraksi makin lama makin membutuhkan berbagai macam logam, mengingat bahwa ponsel generasi terbaru mengandung antara 30 dan 40 logam yang berbeda! Untuk baterai, kobalt merupakan unsur yang penting, sehingga di seluruh dunia ada permintaan besar akan bahan baku ini.
Deforestasi
Tidak hanya berkurangnya keanekaragaman hayati, deforestasi skala besar juga berdampak besar pada iklim dan lingkungan. Pada tahun 2020, di seluruh dunia ditebang 2,2 juta hektar hutan, meningkat 12 persen dibandingkan tahun 2019. Pada tahun 2020, 12,2 juta hektar hutan ditebang di seluruh dunia, meningkat 12 persen dibandingkan tahun 2019. Padahal hutan-hutan amat penting untuk usaha menentang perubahan iklim, karena mengekstrak CO2 dari atmosfer, mempertahankan air dan meredam panas kota.
Hutan yang paling penting untuk penyimpanan CO2 – wilayah Amazon dan hutan Republik Demokratik Kongo – justru merupakan daerah di mana penebangan terbesar terjadi. Penelitian mutakhir memprediksi bahwa pada tahun 2035 Amazon akan memancarkan lebih banyak CO2 daripada yang diserapnya. Dan pada tahun 2021, dinyatakan oleh publikasi yang lain bahwa sekarang sudah demikian halnya untuk sebagian hutan.
Dampak yang besar
Permintaan global akan bahan baku dan makanan, serta perusahaan multinasional dan pemerintah yang dengan senang hati memenuhi permintaan itu, memiliki dampak besar pada kehidupan di bumi. Terutama komunitas dan ekosistem lokal yang mengalami dampak terbesar dari perkembangan ini. Sebelumnya, sebagian besar orang di daerah yang bersangkutan mampu mengelola diri mereka dengan baik: mereka memiliki tanah untuk diolah, air di dekatnya dan juga dapat menjual hasil panen yang tidak mereka butuhkan sendiri di pasar lokal.
Sekarang mereka tidak lagi memiliki tanah subur dan tiada lagi air tersedia. Terpaksa mereka mencari pekerjaan untuk mencari nafkah. Seringkali mereka berakhir sebagai pekerja harian yang dibayar rendah di perkebunan dan di tambang, atau mereka pindah ke kota, sambil berharap untuk mendapatkan pekerjaan di sana.
Selain itu, makanan yang diproduksi di perkebunan sering dimaksudkan untuk ekspor. Akibatnya, negara-negara yang sudah kekurangan bahan makanan, akan lebih kekurangan lagi. Dengan demikian ketahanan pangan jutaan orang terancam.
Semoga data dan refleksi yang dikemukakan di atas ini dan yang diumumkan pula oleh LSM-LSM yang bergerak di bidang Hak Asasi Manusia pada umumnya dan hak atas tanah pada khususnya, didengarkan oleh pemerintah di Papua dan Jakarta, baik demi keselamatan masyarakat adat, maupun demi kesejahteraan semua orang. (*)
Penulis adalah mantan dosen Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi (STFT) “Fajar Timur”, Abepura, Jayapura