Jakarta, Jubi – Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih mempertanyakan bukti hasil penghitungan suara sistem noken di tempat pemungutan suara di Papua Tengah. Dia mempertanyakan kenapa pihak Komisi Pemilihan Umum atau KPU tidak membawa dokumen tersebut karena berkaitan dengan dalil pemohon.
“[Formulir] C Hasil Ikat [noken]-nya ada enggak buktinya? Supaya bisa kita cocokkan,” kata Enny dalam sidang lanjutan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) untuk perkara dengan nomor registrasi 04-01-03-36/PHPU.DPR-DPRD-XXII/2024, Senin (6/5/2024).
Menurutnya, formulir C hasil penghitungan suara sistem noken menjadi bagian penting dari rekapitulasi berjenjang. “Inikan mestinya harus ada hasilnya [penghitungan suara secara berjenjang]. Jadi, [Formulir] C Hasil Ikat, D Hasil Kecamatan, atau Distrik, dan D Hasil Kabupaten.”
Anggota KPU Yulianto Sudrajat menyatakan mereka sedang mempersiapkan Formuliar C Hasil Ikat tersebut sebagai bukti tambahan. Merespons jawaban Yulianto, Enny meminta KPU memeriksa hasil penghitungan suara secara berjenjang, mulai dari C Hasil Ikat tersebut.
“Jadi yang dimasukkan di sini sama sekali belum ada [Formulir] C Hasil Ikat-nya, ya? Tolong tolong nanti bisa dilihat penghitungan secara berjenjangnya, mulai dari [Formulir] C Hasil Ikat, ya,” kata Enny.
Perkara bernomor registrasi 04-01-03-36/PHPU.DPR-DPRD-XXII/2024 diajukan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), dengan KPU RI sebagai Termohon. PDIP mempersoalkan hasil penetapan suara untuk pemilihan anggota DPR Provinsi Papua Tengah pada daerah pemilihan 3 dan 5.
Hakim Konstitusi Arief Hidayat yang menjadi ketua sidang panel atas perkara tersebut juga meminta KPU menghadirkan bukti Formulir C Hasil Ikat pada Senin siang ini. Namun, Yulianto menyatakan mereka belum bisa memenuhinya.
“Kayaknya belum bisa, Yang Mulia. Nanti saya koordinasikan terlebih dahulu,” katanya.
Sempat disandera
Sementara itu, anggota Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Kabupaten Intan Jaya, Papua Tengah Otniel Tipagau mengaku sempat disandera Organisasi Papua Merdeka (OPM) ketika hendak melaksanakan pemungutan suara Pemilu 2024. Pengakuannya itu menjawab pernyataan Arief Hidayat.
Tipagau menyatakan pemungutan suara di Intan Jaya ditunda hingga 23 Februari. Penundaan itu karena mereka disandera sekitar delapan jam oleh OPM, yakni sejak pukul 07:00–15:00 Waktu Papua.
“Waktu itu memang terjadi penyanderaan pesawat. Kami pun bernegosiasi karena pihak maskapai ini harus punya bukti surat yang ditandatangani OPM agar bisa masuk ke wilayah,” kata Tipagau.
Menurutnya, pihak menyandera meminta sejumlah uang sebagai tebusan. Namun, mereka salah memberi uang sehingga dimintai kembali oleh kelompok OPM yang lain.
“[OPM] yang pertama kami kasih Rp150 juta. Kemudian, [OPM kedua] kami kasih sekitar Rp25 juta,” kata Tipagau, menjawab pertanyaan Arief.
Dia menyatakan uang untuk para penyandera itu dikumpulkan dari berbagai pihak, termasuk pemberian calon anggota legislatif. Penyanderaan tersebut kemudian dilaporkan Tipagau ke Bawaslu Intan Jaya, Bawaslu Provinsi Papua Tengah, hingga Bawaslu RI.
Mendengar penjelasan Tipagau, Arief pun menilai alasan pengunduran pemungutan suara tersebut masih masuk akal. “Jadi, memang suasananya tidak aman, ya. Jadi, pengundurannya masih bisa diterima akal sehat dan mendapat persetujuan semua pihak,” ujarnya. (*)
Discussion about this post