Asmat, Jubi – Kabupaten Asmat, Papua cukup ternama karena seni, budaya dan harkat hidup masyarakatnya. Budaya yang dimiliki masyarakat di sana sangat menarik.
Hal yang menonjol ketika membicarakan Asmat ialah ukiran patung dan panel yang sangat unik, artistik dan mempesona.
Ukiran Asmat punya ciri khas tersendiri. Pengerjaan yang rapi dan detail-detail ukiran yang rumit menjadikan ukiran daerah ini begitu tersohor. Motif ukirannya berhubungan dengan alam, makhluk hidup dan aktivitas kehidupan sehari-hari.
Keunikan dan daya tarik yang dimiliki tidak hanya pada kerumitan motif yang tercipta dari tangan-tangan pengukirnya, tapi juga unsur spiritual yang tersirat dengan apik yang menggambarkan alam dan kehidupan para leluhur yang sangat dihormati.
Bagi para pengukir (wow ipits atau wow iwir) Asmat, ukiran bukan hanya sekedar sebuah karya seni. Mahakarya tersebut menggambarkan relasi dengan leluhur, alam, makhluk hidup dan aktivitas kehidupan sehari-hari.
Para seniman di sana menjadikan kegiatan mengukir sebagai media untuk berkomunikasi dengan para leluhur. Karena itulah kegiatan tersebut tidak terpisahkan dari kehidupan mereka.
Keunikan seni ukir masyarakat Asmat dapat dilihat pada salah satu sanggar seni ukir di Distrik Atsy, yakni Sanggar Acakap. Sanggar yang beranggotakan 50 pria paruh baya itu didirikan pada 2002 silam.
Ketika mampir di sanggar tersebut, dapat dilihat dari dekat bagaimana para wow ipits atau wow iwir mengekspresikan imajinasi mereka pada gelondongan kayu dan bilah papan. Para pengukir itu begitu asyik memainkan mata pahat pada obyeknya.
Ada pula yang tengah menyempurnakan hasil ukiran patung dan panel dengan cara menggosoknya dengan berbagai peralatan yang disediakan, seperti batu dengan permukaan yang halus dan taring babi hutan.
Di sanggar itu terlihat setiap ukiran yang berbeda. Begitu pun motifnya, selalu berbeda. Motif beragam yang digunakan umumnya terinspirasi dari alam dan menggambarkan kehidupan para leluhur seperti orang mendayung perahu, berkebun, hewan dan sebagainya.
Ketua Sanggar Acakap, Yohanis Tuanban menyatakan seorang pengukir di sanggar tersebut bisa menghasilkan empat hingga lima ukiran dalam sebulan, seperti tiang teras rumah, panel (hiasan dinding) dan patung-patung besar.
“Kalau ukiran kecil seperti asbak dan patung kecil bisa dikerjakan dalam waktu dua hingga tiga hari,” kata Tuanban saat dikunjungi pekan lalu.
Tuanban mengatakan mereka menggunakan bahan lokal untuk membuat ukiran, seperti kayu besi dan kayu putih (pala hutan). Bahan utama itu ditentukan atau dipilih sendiri oleh pengukirnya. Mereka mengukir sesuai ide dan inspirasi yang dimiliki.
“Itu sebabnya motif dan bentuk ukiran yang dihasilkan berbeda. Ukiran dibuat secara spontan tanpa membuat sketsa atau konsep obyek yang mau ukir terlebih dahulu,” tuturnya.
Tuanban mengaku dia berinisiatif mendirikan sanggar tersebut pada 2002 silam, untuk mengakomodir para pengukir di Kampung Atsy agar bisa melanjutkan tradisi yang diturunkan dari generasi ke generasi.
Terkendala Pemasaran
Salah satu anggota Sanggar Acakap Atsy, Laurensius Bumereu mengungkapkan pihaknya sulit memasarkan hasil ukiran ke luar wilayah Asmat.
Selama ini karya tangan mereka hanya dipasarkan seputar Distrik Atsy maupun di Agats, Ibukota Kabupaten Asmat.
Menurut dia, anggota kelompok saban hari menekuni kegiatan mengukir di sanggar tersebut. Dengan aktivitas sehari-hari itu banyak ukiran yang dihasilkan, namun tidak terpasarkan dengan baik atau terjual.
“Kami inisiatif menuangkan pikiran pada kayu-kayu setiap hari. Biar sanggar ini juga tidak kosong. Kalau pesanan itu sesekali seperti asbak, panel dan patung kecil,” kata Bumereu.
Ia berharap agar pemerintah setempat membantu para pengukir di Atsy untuk memasarkan hasil ukiran mereka ke luar Asmat. Dengan demikian mereka dapat mencukupi kebutuhan keluarga dan menyekolahkan anak.
“Selama ini pemerintah daerah cukup membantu. Tapi kami ingin juga agar bisa bantu memasarkan,” tuturnya.
Ia menambahkan harga ukiran dijual bervariasi. Harga tergantung motif, ukuran dan posisi tawar antara pembeli dan penjual. Namun yang pasti satu ukiran nilainya berkisar 200 ribu rupiah hingga satu juta rupiah.
“Anak-anak saya bisa sekolah karena hasil dari ukiran ini. Makanya kami mau agar hasil ukiran bisa dipasarkan keluar,” tutup Bumereu.
Sementara Bupati Asmat, Elisa Kambu menyatakan bahwa pemerintah daerah setempat memiliki perhatian yang cukup besar di bidang seni budaya. Salah satu bentuk perhatian pemerintah daerah adalah mendorong pelaksanaan festival budaya Asmat secara rutin setiap tahun.
“Selain di dalam Papua, kita juga banyak promosikan hasil kerajinan masyarakat Asmat ke luar daerah, bahkan ke Eropa juga pernah dilakukan,” kata Kambu.
Kambu menambahkan, Kabupaten Asmat sangat terkenal dengan keunikan budaya, seni ukir dan harkat hidup masyarakatnya. Banyak orang yang ingin ke Asmat untuk melihat dari dekat keindahan budaya daerah tersebut.
“Makanya selama kepemimpinan saya dengan Pak Tom (wakil bupati), kami konsen membangun infrastruktur dan membuka akses. Biar memudahkan orang datang ke Asmat. Di samping itu sektor lainnya juga kita dorong,” tutup Kambu. (*)