Jayapura, Jubi – Koalisi Penegakan Hukum dan Hak Asasi Manusia Papua selaku kuasa hukum keluarga korban pembunuhan dan mutilasi empat Nduga di Mimika mengeluhkan kebijakan majelis hakim Pengadilan Negeri Kota Timika yang membatasi kuasa hukum dan keluarga korban mendokumentasikan dan menyiarkan persidangan kasus itu. Koalisi mendesak majelis hakim perkara mutilasi Mimika itu bersikap terbuka dan mencontoh transparansi persidangan kasus mutilasi di Pengadilan Militer III-19 Jayapura dan sidang kasus Ferdi Sambo di Jakarta.
Dalam keterangan pers tertulis yang diterima Jubi pada Sabtu (11/2/2023), advokat Weltermans Tahulending selaku kuasa hukum korban menyatakan pembatasan bagi keluarga korban untuk mendokumentasikan dan menyiarkan sidang telah diberlakukan majelis hakim sejak sidang pembacaan dakwaan bagi empat warga sipil yang menjadi terdakwa perkara mutilasi itu pada 26 Januari 2023. Pembatasan serupa kembali diberlakukan pada Kamis (9/2/2023).
“Pada Kamis, Ketua Majelis Hakim tetap melarang dan tidak memberikan akses bagi kami kuasa hukum keluarga korban untuk melakukan pengambilan foto, video, dan juga melakukan siaran langsung. Ketua Majelis Hakim hanya memperbolehkan kami mengambil foto dan video sebelum persidangan dimulai dan setelah persidangan ditutup,” kata Weltermans Tahulending.
Persidangan yang dikeluhkan Tahulending itu adalah persidangan perkara empat terdakwa kasus pembunuhan dan mutilasi empat warga Nduga yang terjadi di Satuan Pemukiman 1, Distrik Mimika Baru, Kabupaten Mimika pada 22 Agustus 2022. Keempat warga sipil yang menjadi terdakwa kasus pembunuhan dan mutilasi itu adalah Roy Marten Howay (berkas perkaranya terdaftar dengan nomor perkara 8/Pid.B/2023/PN Kota Timika), Andre Pudjianto Lee alis Jainal alias Jack, Dul Umam alias Ustad alias Umam, dan Rafles Lakasa alis Rafles (berkas perkara ketiganya terdaftar dengan nomor perkara 7/Pid.B/2023/PN Kota Timika).
Kedua perkara itu diperiksa majelis hakim yang diketuai Putu Mahendra SH MH, dengan hakim anggota M Khusnul F Zainal SH MH dan Riyan Ardy Pratama SH MH. Dalam persidangan di PN Kota Timika pada 28 Januari 2023, keempat warga sipil yang menjadi terdakwa dalam kasus mutilasi itu didakwa delik pembunuhan berencana, dan terancam hukuman maksimal pidana mati.
Kasus pembunuhan dan mutilasi itu menjadi sorotan publik, karena keterlibatan enam prajurit enam prajurit Brigade Infanteri Raider 20/Ima Jaya Keramo. Dalam persidangan di Pengadilan Militer III-19 Jayapura, Kota Jayapura, pada 24 Januari 2023, majelis hakim Pengadilan Militer Tinggi III Surabaya menjatuhkan hukuman pidana penjara seumur hidup dan pemecatan dari dinas TNI AD kepada Mayor Inf Helmanto Fransiskus Dakhi. Sementara empat prajurit Brigade Infanteri Raider 20/Ima Jaya Keramo masih menjalani persidangan di Pengadilan Militer III-19 Jayapura.
Tahulending menyatakan pembatasan yang diberlakukan majelis hakim Pengadilan Negeri Kota Timika bahkan lebih ekstrem dibandingkan tata tertib persidangan yang diberlakukan majelis hakim Pengadilan Militer Tinggi III Surabaya dan Pengadilan Militer III-19 Jayapura yang juga memeriksa perkara pembununan dan mutilasi itu. Ruang persidangan di Pengadilan Negeri Kota Timika juga tidak menyediakan mikrofon dan pelantang yang memadai untuk membantu pengunjung sidang mengikuti isi persidangan itu.
Menurut Tahulending, pada 27 Januari 2023 kuasa hukum keluarga korban telah memasukkan surat permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri Kota Timika. Permohonan itu berkaitan kebijakan Majelis Hakim perkara mutilasi yang melarang pengambilan foto dan video, serta penyiaran persidangan melalui media sosial.
Melalui permohonan itu, kuasa hukum keluarga korban juga meminta Pengadilan Negeri Kota Timika menyediakan mikrofon dan pelantang, agar isi persidangan mudah diikuti pengunjung sidang. Pada Senin (6/2/2023), kuasa hukum kembali memasukkan surat permohonan yang sama.
“Kami memohon persidangan dilakukan dua kali dalam seminggu. [Kami memohon pengadilan] menyediakan mikrofon untuk digunakan dalam persidangan, dan mengizinkan keluarga korban atau kuasa hukum untuk mengambil foto, video, maupun melakukan siaran selama proses persidangan berlangsung, mengijinkan keluarga korban untuk membentangkan spanduk yang berisi tuntutan keadilan, dan mencabut larangan bagi keluarga korban untuk masuk ke dalam lingkungan pengadilan untuk mengawal, memantau serta menyaksikan persidangan. Pada 6 Februari 2023, [kami kembali memasukkan surat] dengan permohonan yang sama,” kata Tahulending.
Selain membandingkan pembatasan PN Kota Timika dengan kebijakan pengaturan persidangan oleh majelis hakim Pengadilan Militer Tinggi III Surabaya dan Pengadilan Militer III-19 Jayapura, Tahulending juga membandingkan pembatasan itu dengan persidangan kasus pembunuhan berencana dan obstruction of justice Ferdi Sambo dan kawan-kawan. “Kami harap majelis hakim mengabulkan permohonan kami dan keluarga korban, dengan mengambil contoh proses persidangan di Pengadilan Militer III-19 Jayapura atas perkara yang sama, serta persidangan kasus Sambo yang diberi akses baik dalam [bentuk] pengambilan foto, video dan persidangan tersebut juga disiarkan secara langsung lewat stasiun televisi, tanpa mengganggu jalannya proses persidangan,” kata Tahulending.
Advokat Yoksan Balan selaku kuasa hukum keluarga korban mutilasi berharap Mahkamah Agung turut mengawal proses persidangan perkara itu di Pengadilan Negeri Kota Timika. Balan juga meminta Komisi Yudisial aktif mengawal persidangan perkara itu. “Ketua Komnas HAM RI maupun Komnas HAM Perwakilan Papua dapat hadir untuk mengawal proses persidangan perkara itu,” harapnya. (*)