Manokwari, Jubi – Anggota Dewan Perwakilan Daerah atau DPD RI dari Papua Barat, Filep Wamafma menyayangkan semakin tertutupnya ruang demokrasi di Tanah Papua. Hal itu terlihat dari polisi yang menghadang para demonstran yang berunjuk rasa di berbagai kota pada Selasa (10/5/2022).
Unjuk rasa untuk menolak Otsus Papua dan pemekaran Papua terjadi di sejumlah kota pada Selasa. Unjuk rasa itu diserukan oleh Petisi Rakyat Papua yang menginginkan adanya referendum solusi demokratis atas persoalan Papua.
Di Kota Jayapura, demonstrasi itu dibubarkan oleh polisi sebelum para demonstran bisa menyampaikan aspirasi mereka kepada DPR Papua. Di Manokwari, ibu kota Provinsi Papua Barat, para pengunjuk rasa juga dihadang oleh polisi, sehingga mereka gagal mendatangi Kantor DPR Papua Barat. Akan tetapi, untuk rasa itu di Manokwari itu berlangsung dengan damai, dan para peserta membubarkan diri setelah berunjuk rasa selama 6 jam.
Filep Wamafma menyayangkan langkah polisi yang menghadang massa demonstrasi menolak Otonomi Khusus atau Otsus Papua dan pemekaran Papua di berbagai kota pada Selasa. Ia menilai ruang demokrasi di Tanah Papua benar-benar ditutup rapat pada masa pemeritahan Presiden Joko Widodo.
“Ruang demokrasi maupun ruang aspirasi benar-benar ditutup pada masa rezim Joko Widodo. Itu hal yang besar. Lebih baik pada era Presiden SBY, [karena Susilo Bambang Yudhoyono] lebih condong menjaga nilai-nilai kemanusiaan dan demokrasi di Papua dengan baik,” kata Wamafma saat dihubungi Jubi melalui layanan pesan WhatsAap, Selasa.
Menurut Wamafma, rezim Jokowi kerap menggunakan polisi dan tentara sebagai alat kekuasaan, dan hal itu sangat disayangkan. Wamafma bahkan menilai cara rezim Jokowi memakai polisi untuk menangani demonstrasi memundurkan demokrasi di Indonesia
Wamafma menyatakan ia heran, karena pemerintah pusat terus mengabaikan aspirasi Orang Asli Papua. “Sampai dengan saat ini, kita melihat pemerintah mengesampingkan aspirasi [Orang Asli Papua], dan menggunakan cara otoriter, [memakai] kekuasaan negara dan mengabaikan aspirasi daerah” ujarnya.
Wamafma menyatakan pengabaian aspirasi daerah itu merupakan persoalan besar, karena membuat Indonesia seperti kembali pada masa Orde Baru. “Itu merupakan persoalan besar, dan pemerintah pusat sedang merekayasa kebijakan dengan menggunakan cara-cara Orde Baru,” tuturnya.
Ia menilai pelaksanaan demokrasi Indonesia semakin memburuk, khususnya di Tanah Papua. “Sudah seharusnya kita mempertanyakan peran reformasi, dan apakah Negara kita masih menjunjung demokrasi? Ataukah, demokrasi itu hanya berlaku dari Sabang sampai Maluku, lalu di Papua masih menganut sistim Orde Baru?” tanya Wamafma.
Dia menyayangkan mengapa rakyat sipil menjadi korban hanya karena ingin menyampaikan pendapat di muka umum. “Sebagai senator saya sangat sayangkan, dinamika politik di daerah diselesaikan dengan cara-cara pendekatan keamanan. Saya pikir demokrasi di Papua sudah mati suri,” ujarnya.
Sebelumnya, Kepala Kepolisian Resor Manokwari, AKBP Parisian Herman Gultom mengatakan demonstrasi Solidaritas Mahasiswa dan Rakyat Papua di Manokwari berlangsung dengan baik, dan para pengunjuk rasa menyampaikan pendapat dengan baik. Akan tetapi, Gultom mengakui pihaknya melarang mahasiswa longmarch. “Dengan pertimbangan keamanan [dan] hukum, kami tidak mengizinkan massa melakukan longmarch” kata Gultom di Manokwari, Selasa.
Di Kota Jayapura, Kepala Kepolisian Resor Kota Jayapura, Kombes Gustav Urbinas, mengatakan pihaknya membubarkan demonstran tolak Otsus Papua pada Selasa karena tidak ada jaminan aksi massa berjalan damai. Urbinas menyatakan pihaknya telah menunggu penanggung jawab aksi untuk menjelaskan tujuan demostrasi, tapi tidak ada pihak yang datang ke kantor polisi.
“[Yang ada] hanya meninggalkan surat, dan kurir [pengantar] surat melarikan diri. Untuk mengurangi risiko, saya mengambil langkah tegas, tidak boleh ada aksi-aksi mobilisasi massa menyampaikan aspirasi di Kota Jayapura,” kata Urbinas pada Selasa. (*)
Discussion about this post