Jayapura, Jubi – Lembaga Bantuan Hukum atau LBH Papua menilai polisi melakukan tindakan represif dalam pembubaran demonstrasi menolak Otonomi Khusus dan pemekaran Papua di Kota Jayapura pada Selasa (10/5/2022). Polisi seharusnya mengawal penyampaian pendapat di muka umum, dan tidak membubarkan demonstrasi.
Direktur LBH Papua, Emanuel Gobay mengatakan massa demonstrasi penolakan Otonomi Khusus (Otsus) Papua dan pemekaran Papua di Kota Jayapura pada Selasa dibubarkan secara represif. Dalam pembubaran demonstrasi yang diserukan Petisi Rakyat Papua itu, polisi memakai water canon dan gas air mata.
“[Kami] sangat menyayangkan tindakan polisi yang membubarkan massa aksi. [Pembubaran demonstrasi itu] sangat represif, bisa kita lihat di lapangan. Itu tidak sesuai dengan perintah Undang-undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, kata Gobay kepada Jubi, Selasa.
Gobay menyampaikan pembubaran demonstrasi secara paksa itu membuat sejumlah demonstran terluka. Gobay menilai cara polisi menangani demonstrasi menolak Otsus Papua dan pemekaran Papua di Kota Jayapura lebih menyerupai cara menangani huru-hara ketimbang memenuhi hak warga untuk menyatakan pendapat di muka umum.
Padahal, demikian menurut Gobay, para demonstran menyampaikan aspirasi mereka secara damai. “Apa yang saya sampaikan itu berdasarkan apa yang saya lihat di lapangan. Sebagai contoh, di depan SMA Taruna Bakti, polisi tanpa bernegosiasi langsung memukul mundur massa memakai gas air mata dan water canon,” ujarnya.
Gobay menegaskan seharusnya Kepolisian Resor Kota (Polresta) Jayapura menerapkan Peraturan Kapolri. Peraturan itu menyatakan cara penanganan huru-hara hanya dapat diterapkan jika demonstrasi tidak berjalan secara damai, misalnya massa demonstran melempari polisi atau mengakibatkan luka-luka. “Itu menjadi catatan yang harus dievaluasi Kapolda Papua, secara khusus Kapolresta Kota Jayapura tentang penanganan massa aksi,” kata Gobay.
Di lain pihak, Kapolresta Jayapura, Kombes Gustav Urbinas, mengatakan pembubaran demonstrasi tolak Otsus Papua pada Selasa dilakukan karena tidak ada jaminan aksi akan berjalan damai. Urbinas menyatakan pihaknya telah menunggu penanggung jawab aksi untuk menjelaskan tujuan demostrasi, tapi tidak ada pihak yang datang ke kantor polisi.
“[Yang ada] hanya meninggalkan surat, dan kurir [pengantar] surat melarikan diri. Untuk mengurangi risiko, saya mengambil langkah tegas, tidak boleh ada aksi-aksi mobilisasi massa menyampaikan aspirasi di Kota Jayapura,” kata Urbinas pada Selasa.
Menurut Urbinas demonstrasi yang diserukan Petisi Rakyat Papua itu membuat masyarakat khawatir, dan mengganggu aktivitas perekonomian di Kota Jayapura. Ia menegaskan pembubaran demonstrasi yang dilakukan polisi terjadi di semua titik aksi. “Mulai dari Expo, Mega Waena, Kamkey, Uncen Abe, Perumnas 3 Waena dan lingkarkan Abepura. Kami bubarkan semuanya,” kata Urbinas.
Urbinas menegaskan pihaknya membubarkan massa secara paksa karena tidak ada pertanggung jawaban penyelenggara aksi, setelah surat pemberitahuan disampaikan tidak diikuti koordinasi teknis. Menurutnya, undang-undang mengatur agar ada koordinasi teknis terkait aksi yang hendak dilakukan warga.
“Menitipkan surat, kemudian polisi panggil orangnya lari. Jadi ini sama saja seperti aksi-aksi sebelumnya. Ini lebih parah, surat dikasih, orangnya langsung lari. Itu keterangan yang saya peroleh dari personil penjaga Polresta,” ujar Urbinas. (*)