Jayapura, Jubi – Keadilan dan perdamaian di Tanah Papua agaknya masih harus menempuh jalan yang panjang untuk mewujudkannya. Meski sudah 77 tahun, negara dinilai belum mampu menghapus luka-luka masa lalu orang asli Papua, justeru terus menambah panjang daftar pelanggaran Hak Asasi Manusia atau HAM di Bumi Cenderawasih.
“Itu yang kalau kita bicara soal keadilan dan perdamaian di Papua dalam tong [kita] punya refleksi, di seri ke-40 ini masih jalan panjang karena situasi sekarang masih seperti ini,” kata Direktris SKPKC Fransiskan Papua, Yuliana Langowuyo kepada Jubi, Senin (19/12/2022).
Dari tujuh bab yang disajikan, dua di antaranya adalah pendidikan dan kesehatan yang dipaparkan masih jauh dari jangkauan orang asli Papua. Bahkan di era otonomi khusus yang telah mengalokasikan dana khusus untuk dua hak dasar tersebut, pun belum mampu menunjukkan perubahan yang signifikan.
Langowuyo menuturkan, di tengah-tengah pemberlakuan Otonomo Khusus di Papua, pihaknya masih menemukan kasus-kasus seperti sekolah yang hanya memiliki satu orang guru, temuan anak buta aksara di usia sekolah, hingga angka kematian ibu dan anak yang masih tinggi.

“Misalnya dana otonomi khusus itu mengamanatkan 80 persen untuk pendidikan dan kesehatan. Jadi, dari kebijakan uang dikasih. Tapi dalam implementasi dalam fakta di lapangan, dalam realita itu tidak semua sekolah gurunya lengkap. Ada satu guru mengajar dari kelas 1-3 Senin-Rabu, baru nanti Kamis-Jumat dia mengajar yang kelas 5, kelas 6,” kata Langowuyo.
“Itu contoh kasus dalam laporan SKPKC yang baru saja diterbitkan tahun ini [2021], situasi kesehatan, pendidikan di Tapal Batas RI-PNG dan ada situasi di Oksibil juga dan ada situasi yang dekat sekali di Jayapura sini, di Kampung Siporo. Soal sekolah yang minim guru dan soal buta aksara. Sudah seri ke-40 tapi kita masih bisa menemukan situasi kesehatan dan pendidikan yang belum bagus,” jelasnya.
Dalam buku bercover hijau ini memuat 7 bab laporan yang ditulis berdasarkan hasil investigasi SKPKC Fransiskan Papua serta rujukkan sejumlah media mainstream di Papua dan para pihak lain dalam memberikan analisa per topik.
Berikut ringkasan penjelasan per tema dari SKPKC Fransiskan Papua. Pada bab 1 tentang Pendidikan Papua: Persoalan Klasisk yang Lambat Diselesaikan–menarasikan situasi pendidikan formal di Papua. Mandeknya pendidikan di Papua merupakan persoalan klasisk yang hingga saat ini terus dialami dan dirasakan. Persoalan kekuarangan tenaga pengajar, ketidakdisiplinan tenaga pengajar dan situasi sosial politik di Papua sangat memperngaruhi proses pendidikan formal di beberapa daerah di Papua.
Pada bab 2, buku ini menarasikan persoalan klasisk yang sama yakni kesehatan. Namun, pada kesempatan ini, penulis fokus pada persoalan HIV/AIDS. Banyak generasi muda dan usia produktif di Papua terpapar dengan HIV/AIDS. Pola laku hidup yang tidak sehat menjadi salah satu faktor utama menjalarnya HIV/AIDS di Papua.
Kemudian pada bab 3 tentang Revisi Otonomi Khusus 2001, Pemekaran Daerah Otonomi Baru dan Melemahnya Peran Majelis Rakyat Papua. Materi yang ditulis oleh Alexandro Rangga OFM ini menggambarkan derasnya gelombang penolakan dari masyarakat Papua terhadap keberlanjutan Otsus Papua dan pemekaran DOB tidak juga menyurutkan ambisi para pengambil kebijakan untuk tetap mendorong dan menetapkannya.
Masih dalam masa Otsus Papua, eskalasi kekerasan dan konflik bersenjata, aksi baku tembak antara TPN PB dan TNI Polri cenderung meningkat. Korban yang berjatuhan bukan saja dari kedua belah pihak tetapi juga dari warga sipil. Korban nyawa manusia, khususnya warga sipil sudah menjadi tidak berarti.
“Konflik ini juga berdampak pada warga di daerah konflik yang harus dan terpaksa keluar dari kampung halamannya demi mencari keamanan dan kedamaian,” jelas penulis.
Selanjutnya, pada Bab 5 menunjukkan persoalan perampasan lahan, hutan atau tanah masyarakat adat Papua. Derasnya investasi ke Tanah Papua yang secara “rakus” menghilangkan banyak sumber makanan dan kehidupan bagi masyarakat adat Papua.
“Walaupun demikian, masyarakat adat Papua tidak menyerah. Mereka tetap melawan ketidakadilan terhadap ada yang selama ini melekat dan menghidupinya. Tak jarang masyarakat adat Papua harus berurusan dengan para tangan besi ketika masyarakat mempertahankan sumber kehidupannya, yakni hutan atau tanah tersebut,” ujar penulis.

Berikutnya pada bab 6, menarasikan suara masyarakat adat Papua yang menuntut keadilan, kelestarian lingkungannya, selalu saja dieprhadapkan dengan tangan besi. Menurut penulis, negara menilai bahwa suara-suara rakyat tersebut sebagai makar yang harus cepat dibungkam dan dihilangkan. tak jarang, banyak masyarakat adat Papua dari berbagai lapisan yang menyuarakan keadilan, penentuan nasib sendiri dan penyelesaian pelanggaran ham yang ditangkap dan mendapatkan kekerasan fisik. Juga persoalan pembungkaman ruang demokrasi dibahas dalam bab ini.
Terakhir atau pada bab 7, menarasikan bagaimana “utang” atau janji dari negara Indonesia untuk menyelesaikan pelanggaran ham di Papua. sudah banyak pihak baik korban, solidaritas korban pelanggaran ham, maupun lembaga negara yang mendesaknya, tetapi negara sampai saat ini belum bisa menyelesaikannya. Negara membangun narasi lainnya dengan segala proses pembangunan yang sudah dan akan dilakukan di Tanah Papua.
Yuliana Langowuyo berharap laporan situasi ham di Papua melalui buku ke-40 ini dapat bermanfaat bagi berbagai pihak terutama dalam upaya menciptakan situasi yang lebih baik.
“Ini merupakan bagian upaya SKPKC Fransiskan Papua menjaga agar mata dan hati perjuangan ham tetap terbuka,” harapnya.
Berikut mereka yang terlibat dalam penulisan laporan buku Seri Memoria Passionis No.40 berjudul, “Jalan Panjang Keadilan dan Perdamaian di Tanah Papua: Analisis dan Kronik Hak Asasi Manusia 2021”: Direktur ALDP Anum Siregar, Peneliti dan Penulis Buku di Pusat Riset Kependudukan Badan Riset dan Inovasi Nasional Mochammad Wahyu Ghani dan Pegiat HAM Papua Petrus Supardi. Serta Bernard Koten dan Alexandro Rangga OFM dari SKPKC Fransiskan Papua. (*)
