Jayapura, Jubi – Mama Anace Bongoibo sudah memasuki lansia, tapi kesetiaannya membersihkan sampah di Daerah Aliran Sungai (DAS) Emereuw selalu ia jalani dengan sabar.
Jubi menemui Mama Bongoiba di Jl Diponegoro, Kota Baru, Abepura, Kota Jayapura, Papua pada Senin (19/2/2024). Ia mengatakan sudah bekerja membersihkan sungai itu dari sampah lebih 20 tahun. Semula ia menjalaninya dengan suaminya. Setelah suaminya meninggal, ia melanjutkan pekerjaan itu dengan putranya.
“Mama punya anak laki-laki yang kerja di Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kota Jayapura, dia berstatus pekerja kontrak, ganti dia Bapa punya posisi. Kebetulan Mama kami tinggal di sini, jadi Mama punya anak dikasih tugas untuk bersih-bersih [sampah] di dekat gua batu, Emereuw-Konya,” ujarnya.
Setiap hari Mama Bongoiba memulai pekerjaan dengan membersihkan sampah di sekitar gua batu Emereuw. Ia berangkat setelah makan pagi dan bekerja hingga pukul 5 sore. Ia melakukan pekerjaan itu untuk membantu anaknya.
“Mama sendiri yang berinisiatif buat bantu Mama punya anak, untuk kasih bersih kali ini,” ujarnya.
Sebenarnya, jelas Mama Bongoiba, terlepas dari ia membantu pekerjaan anaknya, membersihkan lingkungan tempat tinggal merupakan tanggung jawab semua orang.
“Tidak hanya kami warga Emereuw-Konya saja, tapi setiap orang yang tinggal di daerah-daerah, yang nanti mereka punya sampah tiba di sini, mereka juga harus sadar diri untuk kelola sampah, di mereka punya lingkungan, bukan buang sampah sembarangan ke kali dan ujung-ujungnya tiba di sini,” ujarnya.
Mama Bongoiba menceritakan pengalaman setiap hari membersihkan kali. Terkadang ia ketemu bangkai hewan, seperti babi atau anjing. Padahal, menurutnya bangkai hewan seharusnya dikuburkan, bukan dibuang ke kali.
“Kadang ada popok bayi juga atau dahan pohon yang dipangkas tidak di potong baik-baik buat kayu api, tapi di buang ke dalam kali,” ujarnya.
Menurut Mama Bongoiba jaring yang dipasang untuk menahan sampah di kali itu sebenarnya tidak layak lagi. Jika datang hujan deras, tidak butuh waktu lama, 30 menit saja air sudah naik lewat jaring penahan sampah dan sampah langsung masuk ke dalam Gua Lembah Emereuw-Konya menuju kali Acay hingga Teluk Youtefa.
“Mama punya anak mantu pernah masuk ke dalam gua untuk ambil sampah di dalam gua, dia bilang kalau gua lumayan luas dan airnya dingin sekali, tapi sayang sampah banyak juga di dalam gua,” ujarnya.
Tiga kali banjir
Kores Awom, ketua RT 002/RW 006, Kota Baru, Abepura, Kota Jayapura mengatakan warga yang tinggal di sepanjang DAS Emereuw sudah tiga kali mengalami banjir. Banjir paling parah pada 1999 di mana air naik sampai melewati pohon sagu dan satu warga meninggal akibat bencana itu.
Waktu itu warga yang tinggal di sepanjang DAS Emereuw menunggu pertolongan dari BPBD yang mengevakuasi dengan perahu karet.
“Peristiwa banjir 1999 itu seperti mata air keluar dari dalam tanah, tiba-tiba saja air naik kasih tenggelam Emereuw-Konya sini sampai ke Uncen depan,” ujarnya.
Sedangkan dua korban lainnya adalah seorang laki-laki dewasa dan seorang anak kecil laki-laki. “Kalau anak kecil itu hanyut sampai di sini baru ada warga yang turun cek dan pastikan itu anak kecil atau bukan, kejadian itu tahun 2000,” ujarnya.
Menurut Kores Awom sampah yang tiba kampungnya terbawa arus kali dari Organda, belakang Kampus USTJ, dan Padang Bulan IV.
“Dulu sebelum banjir 1999 itu air di dekat lubang batu dari Gua Lembah Emereuw-Konya ini dalam sekali, kita bisa lompat mandi, jembatan yang lama itu persis ada di bawah jembatan yang baru ini,” ujarnya.
Karena hujan dan material tanah, ditambah sampah menutup lokasi tersebut maka air tidak sedalam dulu lagi. “Sekarang airnya dangkal sekali dan sangat kotor,” ujarnya.
Sebenarnya, kata Kores Awom, hal-hal seperti itu tugas dan tanggung jawabnya Balai Wilayah Sungai.
Awom juga mempertanyaan dampak pembangunan Rumah Sakit Pendidikan Kedokteran Universitas Cenderawasih. “Apa nanti pengelolaan limbahnya itu sudah dipertimbangkan baik-baik atau tidak, jangan sampai limbah medis nanti juga tiba di sini,” ujarnya.
Awom menjelaskan RT 002/RW 006, Kota Baru, Abepura, Kota Jayapura memiliki penduduk 198 jiwa dengan 40 kepala keluarga. Nama Konya berasal dari singkatan “Kolam Nyamuk”, sebab tempat ini dulunya endemik nyamuk malaria. Habitat nyamuk malaria bertebaran di sekitar wilayah itu.
Ia juga menyebutkan dulu mulai dari Perumnas IV, Kompleks Konya, Abepura, sampai pasar tradisional Youtefa Jayapura adalah hutan sagu. Hutan sagu itu menjadi daerah resapan air Sungai Emereuw. Sungai itu dulu memiliki air yang jernih.
“Sangat disayangkan, hutan sagu itu sudah ditebang habis, sekarang diganti dengan banyaknya perumahan, bangunan milik para pengusaha,” katanya. (*)
Discussion about this post