Jayapura, Jubi – Praktek impunitas atau pembebasan dari hukuman terhadap pelaku-pelaku pelanggaran Hak Asasi Manusia di Tanah Papua telah terjadi sejak mula Papua diintegrasikan ke Negara Indonesia. Dan sejak saat itu, hak mendapatkan keadilan bagi korban pelanggaran HAM sering diabaikan, yang berdampak sangat menyakitkan pada hidup para korban pelanggaran HAM.
Koordinator Divisi Keadilan, Aliansi Demokrasi untuk Papua atau ALDP, Latifah Alhmid menyampaikan hal itu usai melaksanakan Diskusi Kelompok Terarah atau FGD bertajuk “Bagaimana Mewujudkan Keadilan Bagi Korban dan Mencegah Impunitas Melalui [Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi atau] KKR di [Tanah] Papua?” di Aula Sophie P3W GKI Padang Bulan, Kota Jayapura, Papua, Kamis (21/3/2024).
Alhamid menjelaskan FGD itu bermaksud untuk menghimpun masukan, saran, atau komentar dalam upaya mendorong KKR di Tanah Papua sebagai bagian dari realisasi amanah UU No 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua Pasal 45 dan 46. Tujuannya untuk mencegah impunitas seperti yang terjadi pada kasus-kasus pelanggaran HAM di Papua.
“Fungsi-fungsi KKR akan didorong [sesuai amanah UU Otsus Papua]. Jadi apa yang sudah dikerjakan dan bagaimana mau mendorong langkah formalnya hingga KKR ini disahkan dan dijalankan di Papua supaya bisa membentuk strategi advokasinya [untuk menyelesaikan kasus -kasus pelanggaran HAM non yudisial],” katanya.
Ia menambahkan pihaknya akan merumuskan dan menyandingkan hasil FGD tersebut dengan hasil penelitian dan wawancara sebelumnya mengenai isu KKR. Bagaimana KKR ini akan didorong dan dipublikasikan kepada masyarakat untuk menjadi pertimbangan dan sebagai salah satu pilihan alternatif penyelesaian masalah pelanggaran HAM.
“Kasus pelanggaran HAM yang ditetapkan Komnas HAM terindikasi pelanggaran HAM berat seperti kasus Wasior berdarah 2001, Wamena berdarah 2003, kasus Paniai berdarah 2014, dan kasus Abepura berdarah 2006. Dua diantaranya kasus Paniai berdarah dengan Abepura berdarah sudah disidangkan di pengadilan HAM, namun hasil pengadilan HAM dianggap belum memenuhi rasa keadilan korban, dan ada impunitas, pelakunya itu belum ada pertanggungjawaban tetapi divonis bebas,” kata Lafitah Alhamid.
Pada kesempatan itu Sekretaris Dewan Adat Papua atau DAP, Leo Imbiri mengatakan walau secara nasional payung hukum pembentukan KKR sudah dihapus, tetapi pihaknya akan mendorong KKR di Papua karena merupakan mandat UU Otsus Papua.
Menurut Imbiri tekad untuk mendorong KKR Papua tidak akan dipadamkan. “Pihak LSM, para aktivis sudah ada kesepahaman, tapi belum tentu dipihak TNI/Polri, BIN, negara, para birokrat yang tidak mau ada KKR itu, kita harus ada keberanian untuk mendekati mereka dan terus upayakan bangun kesepahaman bersama untuk mendorong pembentukan KKR di Papua,” ujar Leo.
Imbiri mengharapkan KKR dapat menjadi tempat bagi masyarakat Papua mendapatkan hak atas keadilan bagi orang yang menjadi korban pelanggaram HAM.
“Mekanisme KKR ini menjadi satu alat bagi masyarakat, Negara Indonesia, TNI/Polri untuk mengakhiri konflik di Tanah Papua dan memandang masa depan Papua yang lebih baik,” kata Sekretaris DAP itu.
FGD itu dilaksanakan dengan mengundang para aktivis HAM, Komnas HAM Papua, para akademisi, LSM, SKPKC Fransiskan Jayapura, dan beberapa komunitas lainnya.
Untuk diketahui Pasal 46 dalam UU No 21/2001 ayat (1) menjamin pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Tanah Papua.
Ayat (2) mencakup tugas Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yakni: a. melakukan klarifikasi sejarah Papua untuk pemantapan persatuan dan kesatuan bangsa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan b. merumuskan dan menetapkan langkah-langkah rekonsiliasi. Ayat
(3) terkait susunan keanggotaan, kedudukan, pengaturan pelaksanaan tugas dan pembiayaan KKR yang akan diatur dalam Keputusan Presiden setelah mendapatkan usulan dari Gubernur.(*)
Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!