Jayapura, Jubi – Tim siber Kepolisian Daerah Papua diminta serius untuk menangani laporan kasus kekerasan gender yang terjadi secara daring atau Kekerasan Berbasis Gender Online. Proses hukum dinilai penting untuk memberikan keadilan bagi korban dan efek jera bagi pelaku.
Bidang Pendamping Perempuan dan Anak Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan atau LBH APIK Jayapura Novita Opki menyatakan sepanjang April hingga Juni 2023 pihaknya menangani enam kasus Kekerasan Berbasis Gender Online atau KBGO. Kasus KBGO itu berupa penyebaran foto dan video yang bersifat pribadi dari sejumlah korban.
“Motif atau latar belakangnya adalah upaya pengancaman, ataupun alasan balas dendam. Vdeo yang disebarkan berdampak terhadap perempuan korban. Salah satu kasus KBGO [berawal dari] transaksi pinjaman online. Mereka meminta [atau menagih] uang mereka [dengan] melakukan pengancaman, melakukan pengeditan foto korban tersebut dengan foto berbau pornografi,” kata Novita pada Senin (12/6/2023).
Novita menyatakan selama ini kasus KBGO telah dilaporkan ke Siber Kepolisian Daerah (Polda) Papua. Akan tetapi, Novita menilai penanganan kasus itu terhenti tanpa ada tindak lanjut dari Polda Papua. Menurut Novita, polisi tidak peka dan sensitif menangani kasus KBGO tersebut.
“Salah satu kasus penyebaran foto sejauh ini hanya sebatas laporan. [Kami minta] Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyelidikan atau SP2HP, [namun polisi suruh] koordinasi dengan pelapor. Saat kami tanya klien kami, tidak ada informasi lebih lanjut,” ujarnya.
Novita menyatakan KGBO menjadi tren baru kekerasan terhadap perempuan di Papua, khususnya di Kota Jayapura. Namun, Novita menyatakan para korban kurang mendapat dukungan baik dari masyarakat maupun aparat penegak hukum.
“Itu menjadi salah satu hambatan terbesar kami untuk memberikan keadilan bagi perempuan yang berhadapan dengan kasus KBGO. Pandangan masyarakat kemudian melakukan stigma, kesalahan dilimpahkan kepada perempuan [yang menjadi korban]. Akhirnya perempuan sulit sekali mendapatkan dukungan mencari keadilan dalam dalam KBGO,” katanya.
Gilbert Rumboirusi dari Tong Pu Ruang Aman menyatakan ia mengelola 35 akun media sosial. Rumboirusi menyatakan harus menggunakan banyak akun media sosial lantaran kasus-kasus Kekerasan Berbasis Gender Online yang dilaporkan ke Siber Polda Papua tidak ditangani dengan serius.
“Ada beberapa kasus yang kami laporkan, tetapi tidak ada titik terang. Polisi terkesan mengabaikan. Kami melapor, tetapi proses [tindak lanjutnya] sangat lama,” kata Rumboirusi pada Sabtu (10/6/2023).
Rumboirusi akhirnya menggunakan puluhan akun media sosial untuk melaporkan akun tertentu yang menyebarkan foto maupun video dari klien mereka. Menurut Rumboirusi, sejauh ini klien mereka terbantu dengan metode itu.
“Kami mengelola 35 akun sosial media yang saya gunakan untuk melapor konten atau gambar yang mengandung unsur pornografi yang [dikaitkan dengan] klien saya. Misalnya, saya melapor ke twitter akun yang menyebarkan foto [di sana]. Sejauh ini, [cara itu] efektif sekali. Ada beberapa klien kami yang terbantu dengan penutupan akun media sosial sosial yang menyebarkan [foto dan video mereka],” ujarnya.
Direktur LBH Papua, Emanuel Gobay menyatakan penegakan hukum Kekerasan Berbasis Gender Online juga menjadi tugas pokok polisi. “Ada beberapa kasus yang kami laporkan ke Siber Polda Papua, tetapi [tidak ada tindak lanjut]. Kami sering melihat Tim Siber melakukan penangkapan atau interogasi terhadap kasus ITE dalam konteks pencemaraan nama baik [atau] ujaran berbau SARA diproses secara hukum,” ujar Gobay.
Gobay menyatakan pengabaian kasus KBGO menunjukkan adanya diskriminasi dalam penegakan hukum Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. “Kalau tidak ada [proses hukum] tentu akan ada efek jera. Kapolda Papua harus serius melihat kasus KBGO di Papua,” katanya. (*)