Manokwari, Jubi – Dugaan pelanggaran Hak Asasi Manusia atau HAM peristiwa, Operasi Wasior Berdarah (13/6/2001) di Distrik Wondiboy, Kabupaten Teluk Wondama, Papua Barat hingga saat ini belum ada kepastian penyelesaiannya.
Presiden Joko Widodo yang diharapkan bisa menuntaskan kasus Wasior berdarah ini, justru tidak menyelesaikan apapun.
Direktur Lembaga Penelitian Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum – LP3BH, Yan Cristian Warinussy mengatakan, peristiwa itu berawal dari pascapenyerangan oleh kelompok sipil bersenjata yang dipimpin Daniel Awom Cs terhadap lima anggota Brimob yang melakukan pengamanan dan satu karyawan di sebuah perusahan kayu.
“Pasca itu terjadi operasi yang dipimpin oleh Kapolres Manokwari saat itu Letnan Kolonel atau sekarang AKBP Bambang Budi Santoso dan Wakil Kapolres, lalu yang menjabat Kapolda Papua saat itu Irjen Pol I Made Mangkupastika. Saya hafal betul, Kapolres dan wakilnya mengendalikan pasukan waktu itu,” ujarnya.
“Mereka melakukan operasi pengejaran yang tidak langsung menyasar kepada para terduga pelaku, namun menyasar masyarakat (Sipil),” kata Direktur LP3BH Manokwari, Yan Cristian Warinussy, Minggu (11/6/2023).
Selain itu, terduga pelaku lapangan hingga saat ini kata Yan Warinussy, ada yang masih bertugas di Polres, ada juga yang sudah bertugas di Polda Papua Barat. Selain itu ada pula anggota Brimob dan ada beberapa di antaranya sudah meninggal.
Dalam operasi tersebut, banyak warga sipil yang menjadi korban, ada yang dibunuh, ada juga yang disiksa serta ada yang diperkosa kemudian ada pula warga yang ditahan kemudian diproses sampai pengadilan namun ada korban yang ditahan namun tidak diproses lanjut.
“Saya berbicara karena saya terlibat dalam proses investigasi yang dibentuk oleh Komnas HAM. Namun dari hasil penyelidikan yang dilakukan Komnas HAM berdasarkan UU 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM terindikasi kuat bahwa kasus Wasior diduga terjadi pelanggaran HAM berat,” tutur Yan Warinussy.
Komnas HAM memberikan rekomendasi berdasarkan hasil penyelidikan kepada Kejaksaan Agung RI, tetapi hingga hari ini Kejaksaan Agung tidak pernah menindaklanjuti perkara itu.
“Sampai saat ini Kejaksaan Agung RI tidak pernah mem-P21 kan perkara itu ke pengadilan HAM. Padahal kasus Wasior berdarah itu lebih awal dari pada kasus Wamena Berdarah (2003) ataupun Paniai Berdarah (2014) tapi yang belakangan telah disidangkan dan terdakwa di vonis bebas, kasus Paniai,” ucapnya.
Sementara, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kapuspenkum Kejaksaan Agung Republik Indonesia Ketut Sumedang hingga berita ini ditayangkan belum membalas konfirmasi Jubi mengenai proses berkas perkara dugaan pelanggaran HAM Wasior.
Sementara, Djanes Marambur satu di antara korban menyebutkan, bahwa kasus wasior berdarah hingga saat ini tidak ada upaya penyelesaian hukum.
Djanes merupakan korban yang saat itu dikejar oleh aparat keamanan dalam proses operasi militer. Ia berhasil keluar dari Wasior ketika operasi sedang digalakkan.
“Dari semua kasus pelanggaran HAM di Papua diangkat dia kasus yakni Wasior Berdarah dan Wamena, lalu kenapa cuma dua masalah ini kan ada banyak masalah HAM di Papua ini,” ucapnya.
Djanes meminta kepada Pemerintah melalui Presiden Jokowi agar fokus saja menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM di daerah Jawa seperti kasus PKI dan pembunuhan Munir.
“Kalau kasus PKI dan Munir saja Pemerintah tidak bisa menyelesaikan, bagaimana mau urus masalah di Papua, fokus saja selesaikan masalah di sana,” ujarnya
“Bagi bapak, mendingan kita tidak usah bicara soal kasus Wasior, bikin tambah sakit bagi kami korban. Jangan bicara tapi tidak selesaikan,” tuturnya.(*)