Jayapura, Jubi – Ketua Kelompok Khusus DPR Papua, John NR Gobai menyatakan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) di Tanah Papua bukan sekadar menyatakan berjiwa NKRI atau mengibarkan Bendera Merah Putih.
Akan tetapi, menjaga NKRI mesti benar-benar mengaplikasikan setiap Undang-Undang dan aturan yang dibuat. Misalnya Undang-Undang Otonomi (Otsus) Papua.
Pernyataan itu dikatakan John Gobai berkaitan dengan pro dan kontrak rencana pemekaran Provinsi Papua, menjadi empat wilayah oleh pemerintah dan DPR RI.
“Yang mendukung rencana pemekaran inikan mayoritas kepala daerah, pejabat di daerah dan elite politik yang berkepentingan. Yang menolak adalah masyarakat. Pertanyaannya siapa sebenarnya yang disebut masyarakat apakah pejabat, ataukah warga akar rumput,” kata John Gobai saat menghubungi Jubi, Rabu malam (13/4/2022).
Gobai menyatakan ia bersama pimpinan dan beberapa anggota DPR Papua, telah menyerahkan berbagai aspirasi yang diterima selama ini ke DPR RI, Rabu (13/4/2022).
Aspirasi yang diserahkan itu tidak hanya yang menolak rencana pemekaran Papua, juga yang mendukung rencana pembentukan daerah otonomi baru (DOB) di Bumi Cenderawasih.
“Namun mayoritas adalah aspirasi penolakan. Kami harap ini menjadi pertimbangan pemerintah dan DPR RI,” ucapnya.
John Gobai mengatakan, masih ada peluang menunda rencana pemekaran Provinsi Papua, meski DPR RI telah memparipurnakan Rancangan Undang-Undang (RUU) tiga DOB di Provinsi Papua, menjadi RUU inisiatif dewan, Selasa (12/4/2022).
“Memang ada yang beranggapan ini sudah terlambat. Namun masih ada peluang menunda sementara rencana itu, karena masih ada pembahasan antara DPR RI dan pemerintah,” ujarnya.
Katanya, saat bertemu DPR RI ia meminta agar lembaga itu dan pemerintah menghormati desentralisasi asimetris, bukan selalu mengedepankan sentralisasi kebijakan.
Papua lanjut Gobai memiliki UU Otsus. Kekhususan dalam UU inilah yang mestinya benar-benar dilaksanakan pemerintah.
Sebab, dalam merencanakan pemekaran Provinsi Papua pemerintah dan DPR RI selalu menggunakan ayat 2 Pasal 76 UU Nomor 2 Tahun 2021, tentang perubahan UU Otsus Papua, dan mengabaikan ayat 1 dalam pasal yang sama.
Adapun ayat 1 Pasal 76 UU Nomor 2 Tahun 2021 berbunyi “Pemekaran daerah provinsi dan kabupaten/kota menjadi provinsi-provinsi dan kabupaten/kota dapat dilakukan atas persetujuan MRP dan DPRP setelah memperhatikan dengan sungguh-sungguh kesatuan sosial-budaya, kesiapan sumber daya manusia, kemampuan ekonomi, dan perkembangan pada masa yang akan datang.”
Sedangkan ayat 2 berbunyi “Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat dapat melakukan pemekaran daerah provinsi dan kabupaten/kota menjadi daerah otonom untuk mempercepat pemerataan pembangunan, peningkatan pelayanan publik, dan kesejahteraan masyarakat, serta mengangkat harkat dan martabat Orang Asli Papua dengan memperhatikan aspek politik, administratif, hukum, kesatuan sosial-budaya, kesiapan sumber daya manusia, infrastruktur dasar, kemampuan ekonomi, perkembangan pada masa yang akan datang, dan/atau aspirasi masyarakat Papua.”
“Mereka mengabaikan ayat 1 Pasal 76 UU Nomor 2 Tahun 2021, dan Peraturan Pemerintah Nomor 106 Tahun 202. Undang-Undang Otsus adalah resolusi konflik. Menjaga NKRI itu tidak hanya sekadar menyatakan saya NKRI atau kibarkan bendera. Terpenting adalah melaksanakan apa yang menjadi amanat UU Otsus,” kata Gobai.
Ketua Kelompok Khusus DPR Papua, John Gobai mengatakan pemekaran sebaiknya direncanakan secara baik.
Sebab, jika dipaksakan oleh DPR RI dan pemerintah akan bertentangan dengan teori desentralisasi asimetris dan Pasal 18b ayat 1 UUD 1945.
“Ini tentu akan menimbulkan resistensi yang kuat di Papua. Sebaiknya proses pemekaran dikembalikan ke daerah. Kami juga minta Presiden menjelaskan mengenai moratorium pemekaran,” ucapnya.
Anggota Jaringan Damai Papua (JDP) Cahyo Pamungkas mengatakan, kebijakan pemekaran Papua justru mendorong ketidakpercayaan yang meluas kepada pemerintah.
Situasi itu akan semakin menyulitkan negara mengakhiri konflik bersenjata di provisi tertimur Indonesia itu.
“Pemekaran dibuat sepihak oleh pemerintah. Ini seperti mengulangi model tata kelola kekuasaan Belanda untuk terus melakukan eksploitasi sumber daya alam dan menguasai tanah Papua,โ kata Peneliti utama dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) itu lewat keterangannya, 8 April 2022.
Katanya, revisi kedua UU Otsus Papua dan kebijakan pemekaran provinsi telah menimbulkan situasi yang kontraproduktif.
Akibatnya, orang asli Papua makin merasa tidak adanya rasa aman dan memperkuat memoria passionis mereka atas pengalaman kelam masa lalu.
Dalam beberapa waktu terakhir muncul demonstrasi tolak pemekaran di berbagai wilayah Papua. Berbagai pihak yang menyatakan menolak rencana pemekaran, terdiri dari sejumlah organisasi dan individu. (*)
Discussion about this post