Oleh: A.G. Socratez Yoman, MA
Kami (orang asli Papua) masih ada dan hidup di atas tanah leluhur kami. Tulang belulang, air mata, tetesan darah, dan penderitaan bangsa kami adalah kekuatan dan senjata kami untuk meraih martabat kemanusiaan kami dengan cara-cara terhormat. Rakyat dan bangsa Papua pasti merdeka, lepas dari Indonesia, dan tiga provinsi boneka buatan Indonesia adalah upaya terakhir untuk mempertahankan Papua dalam wilayah Indonesia.
Rakyat dan bangsa Papua dan seluruh rakyat Indonesia perlu mengerti bahwa pengesahan Daerah Otonomi Baru (DOB) provinsi di Papua, yakni Papua Selatan, Papua Tengah, dan Papua Pegunungan Tengah merupakan upaya terakhir pemerintah Republik Indonesia untuk mempertahankan Papua dalam wilayah Indonesia, karena Indonesia telah gagal dalam diplomasi di tingkat internasional dan tidak memiliki argumentasi hukum dan politik yang kuat, untuk mempertahankan Papua ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Indonesia hanya bisa menggunakan diplomasi berbasis kebohongan dan uang untuk tutup mulut para diplomat asing. Contoh terbaru, polisi Indonesia bawa uang darah dan uang hasil emas dari Papua Rp 1 miliar pergi tutup mulut Sekretaris Jenderal MSG di Vanuatu.
Pemekaran tiga DOB lagi sebagai mesin pemusnahan orang asli Papua (OAP) dengan membangun basis-basis militer dan kepolisian, mendatangkan migran untuk menjadi penduduk dan bekerja serta menduduki Tanah Papua.
Hal-hal ini di atas merupakan bukti dan wajah sesungguhnya penguasa Indonesia yang berwatak fasis, rasis, kolonialis modern, barbar dan kriminal yang berbudaya militer, karena tidak mengindahkan suara rakyat dan bangsa Papua; tidak menghormati suara nurani rakyat Papua—yang terus menolak DOB dalam aksi-aksi damai di sejumlah wilayah.
Pertanyaannya ialah darimana pembiayaan tiga DOB ini? Apakah anggaran tiga DOB ini dari utang luar negeri Rp 7.000 triliun itu?
Indonesia kini menghadapi beberapa tantangan besar dan berat, yaitu: 1) Beban utang luar negeri sebesar rp 7.000 triliun; 2) Ada tekanan dari 84 negara, Uni Eropa, dan PBB untuk Komisi HAM PBB berkunjung ke Papua; 3) Rakyat Indonesia, terutama generasi muda Indonesia sudah mengerti akar sejarah kekerasan di Papua; 4) Parlemen Belanda, bekas penjajah Indonesia mengundang Benny Wenda sebagai Ketua ULMWP, dan pada 6 April 2022 Papua diakui sebagai Inherim Provisional Goverment (Pemerintahan Sementara Papua Barat); 5) Rakyat dan bangsa Papua menolak DOB di seluruh Tanah Papua; 6) Pemekaran tiga DOB tanpa jumlah penduduk atau tidak memenuhi syarat jumlah penduduk untuk sebuah provinsi; 7) Sumber Daya Manusia (SDM) sangat terbatas; dan 8) Banyak orang mengetahui akar sejarah kekerasan negara Indonesia di Papua.
Walaupun di atas tanah ini akan ada hanya tertinggal satu atau dua orang asli Papua, bangsa Papua Barat pasti merdeka sebagai bangsa berdaulat, lepas dari bangsa kolonial modern Indonesia.
Dengan keyakinan itu 11 tahun lalu, pada 2011, dalam buku saya berjudul “West Papua: Persoalan Internasional” saya abadikan iman, doa, harapan, impian, cita-cita dan kerinduan hati, sebagai berikut:
“Saya tahu, saya mengerti dan saya sadar apa yang saya baktikan ini. Karena itu, Anda yakin atau tidak yakin, Anda percaya atau tidak percaya, Anda suka atau tidak suka, Anda senang atau tidak senang, cepat atau lambat, penduduk asli Papua Barat ini, akan memperoleh kemerdekaan dan berdiri sendiri sebagai sebuah bangsa dan negara berdaulat di atas tanah leluhur mereka. Dalam keyakinan dan spirit itu, apapun risikonya dan pendapat serta komentar orang, saya dengan keyakinan kokoh dan keteguhan hati nurani, saya mengabdikan ilmu saya untuk menulis buku-buku sejarah peradaban dan setiap kejadian di atas tanah ini. Supaya anak-cucu dari bangsa ini ke depan, akan belajar bahwa bangsa ini mempunyai pengalaman sejarah penjajahan dan penderitaan panjang yang pahit dan amat buruk yang memilukan hati yang dilakukan pemerintah Indonesia.”
Saya menilai tujuan utama tiga DOB, yaitu, 1) Membangun kodam, korem, kodim, dan koramil, polda, polres, polsek dan kesatuan lainnya. Jadi, di Tanah Papua ada lima kodam dan 5 polda, dan seterusnya; 2) Pengiriman migran untuk pendudukan dan mengisi seluruh posisi di tiga DOB; 3) Akibatnya pemusnahan etnis orang asli Papua secara sistematis, terstruktur, terprogram, masif dan kolektif. Proses pembunuhan atau pemusnahan dengan cara membisu atas nama pemerataan pembangunan yang pasti bias pendatang. (*)
Penulis adalah Presiden Persekutuan Gereja-Gereja Baptis West Papua, anggota Dewan Gereja Papua (WPCC), anggota Konferensi Gereja-Gereja⁰ Pasifik (PCC), dan anggota Baptist World Alliance (BWA)
Discussion about this post