Jayapura, Jubi – Ketua Dewan Adat Papua versi Kongres Luar Biasa, Dominikus Surabut mengatakan Pemerintah Indonesia seharusnya menyelesaikan empat akar masalah Papua yang telah dirumuskan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, dan bukan malah membuat pemekaran Papua. Hal itu dinyatakan Surabut saat dihubungi Jubi pada Kamis (9/6/2022).
Surabut menyatakan pemekaran Papua tidak akan menyelesaikan empat akar masalah Papua yang telah dirumuskan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesian (LIPI), lembaga resmi Negara Indoneia yang kini berganti nama menjadi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). “Papua mempunyai masalah tersendiri sejak dianeksasi oleh Indonesia. Pemerintah Indonesia harus rendah hati menerima orang Papua dan menyelesaikan empat akar persoalan Papua, agar orang Papua bisa hidup aman dan damai di tanahnya sendiri,” kata Surabut.
Sejumlah empat akar masalah Papua itu dirumuskan dalam dokumen laporan resmi LIPI, Papua Road Map. Akar masalah pertama adalah stigma, marjinalisasi, dan diskriminatif terhadap Orang Asli Papua. Kedua, kegagalan pembangunan—terutama di bidang pendidikan, kesehatan dan pemberdayaan ekonomi rakyat.
Ketiga, kontradiksi sejarah dan konstruksi identitas politik antara Papua dan Jakarta. Keempat, praktik impunitas yang membuat tidak adanya pertanggungjawaban hukum atas kekerasan Negara Indonesia dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) Orang Asli Papua.
Surabut menyatakan jika Pemerintah Indonesia tidak mau menyelesaikan empat akar masalah Papua itu melalui dialog yang dimediasi pihak netral, Orang Asli Papua akan terus membicarakan keempat akar masalah itu. “Ada masalah yang harus diselesaikan oleh Negara. Negara Indonesia tidak boleh apatis dengan persoalan Papua,” katanya.
Surabut menyatakan polemik pemekaran Papua juga telah menjadi penyebab kasus kekerasan baru yang dilakukan aparat keamanan. Ia menyatakan aparat keamanan berulang kali memukul dan membubarkan secara paksa demonstrasi menolak pemekaran Papua dan Otonomi Khusus Papua.
Tindakan represif aparat dalam pembubaran demonstrasi menolak pemekaran Papua itu bahkan telah menyebabkan Yakob Meklok dan Esron Weipsa meninggal dunia. Kedunya adaah demonstran aksi menolak pemekaran Papua di Dekai, ibu kota Kabupaten Yahukimo, pada 15 Maret 2022.
“Masyarakat Papua menolak kebijakan Jakarta. Dalam aspirasi [demonstrasinya], mereka meminta Pemerintah Indonesia segera menggelar referendum bagi bangsa Papua. Pada titik itu, pemerintah harus mengerti bahwa ada masalah yang harus diselesaikan. Pemerintah jangan apatis,” kata Surabut.
Surabut mengatakan Pemerintah Indonesia juga tidak kunjung menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM di Papua, seperti kasus Wasior Berdarah, Biak Berdarah, Paniai Berdarah, atau Sinak Berdarah. Padahal penyelesaian berbagai kasus pelanggaran HAM itu akan menentukan persepsi Orang Asli Papua terhadap Pemerintah Indonesia.
“Jika persoalan itu dibiarkan, Pemerintah Indonesia di mata masyarakat Papua adalah penjajah yang hanya mencari kekayaan alam, tetapi tidak peduli dengan manusianya. Negara wajib [menjalankan] hukumnya, wajib melindungi masyarakatnya,” kata Surabut. (*)