Jayapura, Jubi – Presiden Republik Indonesia diminta untuk segera menyelesaikan persoalan 8.300 buruh PT Freeport Indonesia dengan Manajemen PT Freeport Indonesia atau PTFI. Permintaan itu disampaikan LBH (Lembaga Bantuan Hukum) Papua selaku kuasa hukum Buruh Mogok Kerja PT Freeport Indonesia melalui siaran pers yang diterima Jubi pagi ini, bertepatan dengan Peringatan May Day dan peringatan 7 tahun kasus yang menimpa para buruh PTFI itu, Rabu (1/5/2024).
LBH Papua juga meminta Gubernur Papua dan Gubernur Papua Tengah untuk segera berkoordinasi dengan Presieden dalam menyelesaikan persoalan tersebut. Keterlibatan Presiden dan kedua kepala daerah, menurut LBH Papua, sebagai bentuk implementasi tujuan pembangunan ketenagakerjaan yang diatur pada Pasal 4, Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
“Pemerintah Republik Indonesia telah mendapatkan 61 persen saham atas PT Freeport Indonesia, mendapatkan sebagian wilayah kerja PT Freeport Indonesia, dan mendirikan smelter di Gersik, Jawa Timur, namun masih mengabaikan persoalan 8.300 buruh mogok kerja PT Freeport Indonesia,” kata Direktur LBH Papua Emanuel Gobay SH MH dalam siaran pers.
LBH Papua juga meminta Komnas HAM RI untuk segera memediasikan ke-8.300 buruh itu dengan Manajemen PT Freeport Indonesia sesuai ketentuan Pasal 89 ayat (4), Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Juga meminta Manajemen PT Freeport Indonesia untuk segera mengaktifkan BPJS dan upah 8.300 Buruh Mogok Kerja PTFI sesuai perintah Pasal 145, UU No. 13/ 2003 tentang Ketenagakerjaan.
LBH Papua membuat judul siaran pers dengan huruf besar berupa pernyataan yang menohok, “Pemerintah dan Komnas HAM Republik Indonesia turut melanggar hak 8.300 buruh mogok kerja PT Freeport Indonesia selama tujuh tahun”.
LBH Papua menyebutkan perjuangan 8.300 buruh mogok kerja PT Freeport Indonesia telah memasuki 7 tahun terhitung sejak 1 Mei 2017 hingga 1 Mei 2024, namun Manajemen PT Freeport Indonesia maupun Pemerintah Republik Indonesia selama itu mengabaikannya.
“Padahal 8.300 Buruh PT Freeport Indonesia melakukan mogok kerja akibat gagalnya perundingan terkait impelementasi kebijakan fourlok atau merumahkan yang diberlakukan Manajemen PT Freeport Indonesia secara sepihak pada saat berusaha menentang ambisi Pemerintah RI untuk mendapatkan 61 persen saham atas PT Freeport Indonesia dan sebagian wilayah areal kerja PT Freeport Indonesia hingga pendirian smelter di Indonesia pada 2017,” demikian LBH Papua.
Anehnya, lanjut LBH Papua, setelah Pemerintah RI mendapatkan saham, sebagian wilayah areal kerja, hingga pendirian smelter, sampai saat ini Pemerintah RI masih mengabaikan nasib 8.300 buruh mogok kerja tersebut. Akibat pengabaian, menurut LBH Papua, telah terjadi berbagai pelanggaran HAM yang menimpa para buruh PTFI yang melakukan perjuangan mogok kerja yang sah sesuai Pasal 137 dan Pasal 140 UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan.
“Seperti adanya fakta 200-an buruh mogok kerja meninggal dunia karena sakit, namun tidak diobati akibat BPJS-nya dicabut secara sepihak oleh Manajemen PT Freeport Indonesia,” ujar Direktur LBH Papua Emanuel Gobay.
Selain itu, tambahnya, hak atas pendidikan bagi anak buruh mogok kerja tersebut juga terancam putus akibat dicabutkannya upah mereka secara sepihak. Kesejahteraan para buruh mogok kerja juga terancam sehingga banyak hal menimpa keluarga mereka.
Menurut LBH Papua sikap Manajemen PT Freeport Indonesia mencabut upah dan BPJS para buruh mogok kerja melanggar ketentuan Pasal 145 UU No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Pasal itu berbunyi, “Dalam hal pekerja/buruh yang melakukan mogok kerja secara sah dalam melakukan tuntutan hak normatif yang sungguh-sungguh dilanggar oleh pengusaha, pekerja/buruh berhak mendapatkan upah”.
Meski sikap Manajemen PT Freeport Indonesia melanggar Undang-Undang, kata LBH Papua, hanya disaksikan begitu saja oleh Pemerintah RI di pusat maupun di Provinsi Papua, Provinsi Papua Tengah, dan Kabupaten Mimika. Selain itu, Komnas HAM yang didirikan “untuk meningkatkan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia guna berkembangnya pribadi manusia Indonesia seutuhnya dan kemampuannya berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan”, hanya diam menonton.
“Padahal sejak 2017, 2018, dan 2020 perwakilan buruh mogok kerja PTFI telah mengadukan persoalan pelanggaran hak-hak buruh kepada Komnas HAM RI di Jakarta, maupun di Papua, namun sampai saat ini belum ada perkembangan apapun,” ujar Gobay.
Berdasarkan kejadian tersebut, LBH Papua menyimpulkan Pemerintah RI di Jakarta, Pemprov Papua, Pemprov Papua Tengah, dan Pemkab Mimika, serta Komnas HAM RI dan Komnas HAM RI Perwakilan Papua turut melakukan pelanggaran hak atas pekerjaan, hak atas upah, hak atas kesehatan (BPJS), hak atas pendidikan anak buruh, hak atas kesejahteraan dan hak mogok kerja dari 8.300 buruh mogok kerja PT Freeport Indonesia 7 tahun lamanya. (*)
Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!