Jayapura, Jubi – Juru Bicara Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat atau TPNPB, Sebby Sambom membantah pernyataan Kepala Pusat Penerangan atau Kapuspen TNI, Mayjen Nugraha Gumilar yang menyebut warga yang disiksa prajurit TNI adalah anggota TPNPB. Sambom menyatakan tuduhan itu upaya menyembunyikan aib prajurit TNI telah menyiksa 3 warga sipil Kabupaten Puncak, Provinsi Papua Tengah.
Hal itu dinyatakan Sebby Sambom pada Sabtu (23/3/2024), saat dikonfirmasi soal tuduhan bahwa tiga warga sipil yang disiksa terduga prajurit prajurit Batalion Infanteri Raider 300/Braja Wijaya di Kabupaten Puncak adalah anggota TPNPB. “TNI mereka melakukan penyiksaan kepada warga sipil yang tidak ada hubungan sama sekali dengan TPNPB OPM,” kata Sambom.
Pada Jumat (22/3/2024) pagi, beredar video di media sosial yang merekam penyiksaan terhadap seorang warga sipil. Korban ditaruh dalam drum berisi air, dengan kedua tangannya terikat. Korban itu dipukuli dan ditendang berulang kali oleh sejumlah orang yang diduga prajurit TNI. Punggung korban juga disayat menggunakan pisau. Wajah sejumlah pelaku terlihat dalam video itu.
Juru Bicara TPNPB, Sebby Sambom menyatakan penyiksaan yang teredam dalam video yang viral itu itu adalah kejahatan militer Indonesia terhadap ketiga warga sipil di Kabupaten Puncak. “Tindakan keji itu menunjukan bahwa militer dan polisi Indonesia adalah perilaku teroris untuk menghabiskan Orang Asli Papua,” katanya.
Selalu menyangkal, selalu berulang
Secara terpisah, Direktur Perkumpulan Advokat Hak Asasi Manusia atau PAHAM Papua, Gustaf R Kawer mengkritik perilaku aparat yang tidak manusiawi. Kawer juga mengkritik bahwa dalam berbagai pelanggaran Hak Asasi Manusia di Tanah Papua, tidak ada insiatif/upaya dari komandan untuk menindak anak buahnya yang melakukan pelanggaran HAM itu.
“Kami tidak mendengar sipil yang diduga anggota TPNPB diserahkan ke polisi untuk diproses hukum, tetapi warga sipil disiksa hingga korban nyawa,” kata Kawer.
Kawer mengatakan para pimpinan TNI baru bergerak dan merespon kasus itu setelah video penyiksaan tersebut viral di media sosial. Kawer mengkritik respon awal para petinggi TNI yang menyangkal dugaan penyiksaan itu, dan serta-merta menyatakan informasi soal penyiksaan oleh terduga prajurit TNI adalah kabar bohong/hoaks.
“Setelah mendapat tekanan dari masyarakat dan pegiat HAM secara luas, barulah ada pengakuan tindakan kekerasan tersebut dilakukan [prajurit] TNI. Itupun dengan tetap mencari dalih dengan menuding [korban] tersebut berafiliasi dengan TPNPB,” katanya.
Kawer mengatakan kasus kekerasan prajurit TNI seperti itu adalah peristiwa yang selalu berulang di Tanah Papua. “Setelah reformasi, kita melihatnya dalam kasus [pembunuhan] Theys Hiyo Eluay, kasus [pembunuhan] Pendeta Yeremia Zanambani, dan kasus [pembunuhan] Eden Bebari dan Ronny Wandik. Penyangkalan dilakukan, kambing hitam diucapkan, tetapi hasil investigasi membuktikan mereka TNI yang melakukan kekerasan terhadap masyarakat sipil,” kata Kawer.
Kawer mengatakan peristiwa itu seharusnya tidak terjadi jika komandan dan prajurit TNI yang bertugas di Tanah Papua mempunyai pemahaman yang baik tentang Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia, Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan berbagai undang-undang yang mengatur tugas dan wewenang TNI. Komandan dan prajurit TNI yang bertugas di Tanah Papua seharusnya juga memahami nilai budaya dan sosiologi Orang Asli Papua, khususnya masyarakat adat tempat mereka bertugas.
“Berulangnya [kekerasan seperti itu] juga disebabkan tidak tersentuhnya pelaku pelanggaran HAM oleh proses Pengadilan HAM. Tidak ada efek jera terhadap pelaku, sehingga siklus kekerasan tetap meningkat. Pengadilan HAM dan juga peradilan militer hanya menjadi sarana impunitas untuk pelaku,” kata Kawer.
Kawer mengatakan Negara harus lebih serius menyelesaikan kasus penyiksaan oleh prajurit TNI itu melalui mekanisme HAM. Pelaku di level komandan, penanggung jawab lapangan, maupun pelaku lapangan harus diproses hukum ke pengadilan sehingga mendapat hukuman yang berarti. Pengadilan juga harus memberikan kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi kepada korban dan keluarga korban.
“Ketiadaan [penegakan hukum] hukum dalam kasus seperti itu meninggalkan luka mendalam pada korban, keluarga korban, dan mayoritas masyarakat Papua, bahwa Negara dan hukumnya tidak hadir,” katanya. (*)
Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!