Oleh: Maximus Sedik*
Pusat Pemerintahan Provinsi Papua Barat Daya berada di atas tanah ulayat masyarakat adat suku besar Moi. Sejarah pengambilan sumber daya alam di tanah adat suku Moi, terjadi sejak Belanda menduduki Papua.
Kota Sorong sekitar tahun 1935 dibuka sebagai base camp Bataafse Petroleum Maatschappij (BPM), yang kemudian berganti nama menjadi Nederlands Nieuw-Guinea Petroleum Maatschappij (NNGPM), sedangkan pos pemerintahan mengambil lokasi pada Pulau Doom.
Oleh karena itu, Sorong merupakan kota yang penuh dengan sisa-sisa peninggalan sejarah–bekas perusahaan minyak milik Belanda. Salah satu peninggalan yang hingga kini digunakan adalah pelabuhan ekspor minyak bumi atau dikenal dengan Pelabuhan Sorong.
Sorong dijuluki sebagai kota minyak. Namun, antrean untuk mengisi bahan bakar minyak paling panjang. Sering terjadi kemahalan dan kelangkaan. Ini gambaran kecil Kota Sorong, ibu kota Provinsi Papua Barat Daya.
Riset terbaru dari Tirto id (2024) menceritakan bahwa Sorong masuk dalam daftar kota tidak layak huni. Indikator ini bisa benar, karena tata kota yang tidak ramah lingkungan, penataan permukiman penduduk tidak memperhatikan aspek lingkungan. Pada saat curah hujan tinggi pasti kota ini tergenang air. Ini selalu terjadi.
Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) di Sorong –Kepala Burung Papua–adalah bagian dari daftar proyek strategis nasional di Tanah Papua. Setelah pemilu pasti dilanjutkan oleh presiden berikutnya. Maka hampir pasti kaum oligarki berlindung di bawah negara dan memanfaatkan sistem suprastruktur negara. Mengendalikan dan melumpuhkan sistem hukum, serta mengesampingkan demokrasi. Lebih parah lagi adalah melanggar konstitusi.
Papua menjadi incaran gurita proyek. Di Sorong mulai terjadi kesepakatan antara investor asal China PT Sheng Wei New Energy Tecnology bersama Pemerintah Indonesia, dalam hal ini diwakili Pemerintah Provinsi Papua Barat Daya.
Kesepakatan ini dilakukan, dalam rangka membahas persiapan rencana ground breaking pembangunan pabrik smelter pada KEK Kabupaten Sorong, Papua Barat Daya.
Banyak investor berinvestasi pada KEK Sorong (523,7 hektare), diantaranya, PT Semen Gresik (Semen Indonesia Group)–kegiatannya membangun pabrik pengemasan semen, PT Henrison Inti Putra untuk membangun pabrik pengolahan kayu dan sawit, dan PT Bumi Sarana Utama (Kalla Group) membangun storage aspal curah.
Investor lain yang akan berinvestasi adalah PT Gag Nikel (untuk pembangunan smelter nikel), PT Pelindo IV (untuk pengembangan Pelabuhan Arar sebagai sarana konektivitas dan logistik), PT Numarin Terra Anugerah (untuk pembangunan cold storage perikanan), serta PT Power Gen (untuk pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Mesin Gas/PLTMG sebesar 20 Megawatt).
Politik hukum berbasis kepentingan elite pusat versus elite daerah, mulai terbaca pada saat perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus Papua Jilid 2. Perubahan ini melahirkan Daerah Otonom Baru (Pemekaran) provinsi di Tanah Papua menjadi empat provinsi.
Pusat melalui lembaga terkait melakukan pencitraan melalui pemerataan, keadilan, kesejahteraan, dan kemakmuran. Elite daerah dengan percaya diri mengklaim bahwa pemekaran dibuat, supaya memberi ruang bagi mereka, untuk masuk di parlemen.
Namun, nyatanya DOB bukan memberi solusi atas masalah yang terjadi. Malah membuka ruang bagi pihak luar untuk masuk ke Tanah Papua.
Apa yang masuk ke dalam? Kepentingan negara seperti KEK di Sorong, dan membuka akses pasar bebas bagi siapa saja, yang berinvestasi di Tanah Papua dari berbagai bidang.
Hal lain yang terjadi adalah migrasi secara spontan tidak terkendalikan oleh sistem di Tanah Papua, bahkan sistem Undang-Undang Otsus Papua, berbeda dengan Yogyakarta dan Bali. Mereka lebih bagus, terutama dalam pengendalian pada penduduk luar yang masuk.
Selain kepentingan ini, ada kepentingan lain yang masuk di Tanah Papua setelah penambahan pemekaran provinsi. Ke depan pasti ada pemekaran kabupaten/kota baru di Tanah Papua. Maka secara tidak langsung itu menciptakan kesenjangan yang berkepanjangan terhadap masyarakat adat Moi dan masyarakat adat di Tanah Papua pada umumnya.
Padahal, pasal 42 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otsus Bagi Provinsi Papua, secara jelas menegaskan, bahwa negara wajib mengakui, menghormati, melindungi, memberdayakan, dan mengembangkan hak-hak masyarakat adat Papua.
Undang-Undang Otsus Papua memberikan legitimasi secara sah dan legal seperti penjelasan di atas. Akan tetapi, apakah lembaga representasi seperti DPR Jalur Otsus, MRP dan lembaga-lembaga lainnya di Tanah Papua membela hak-hak masyarakat adat, dalam ruang sidang, untuk memberi catatan dan pertimbangan kepada negara dan investor untuk mematuhi Undang-Undang Otsus, khususnya menghormati hak-hak masyarakat adat Papua atas tanah ulayatnya?
Provinsi Papua Barat Daya dengan pusat pemerintahan di Sorong adalah tanah adat masyarakat adat Moi. Sebagian hutan masyarakat adat Moi dieksploitasi oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit, Hak Penguasaan Hutan (HPH) perusahaan kayu, dan perusahaan Pertamina yang beroperasi sejak zaman Belanda.
Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020, menjadi landasan yang digunakan untuk menjadi acuan aktivitas perizinan investasi di Tanah Papua. Apabila Undang-Undang Nomor 2 tahun 2021 menjadi kekuatan hukum dan keputusan politik, untuk melindungi hak-hak masyarakat adat Moi dan Papua secara umum, maka lembaga representasi orang asli Papua segera mengambil langkah-langkah untuk kepentingan tanah dan manusia Papua.
Pemekaran Daerah Otonom Baru (DOB) menghadirkan eksploitasi Sumber Daya Alam (SDA) di Papua. Persekongkolan kepentingan ekspolitasi segera hadir di tanah Papua. Kaum investor kapitalis yang bersekutu dengan kaum teknokrat oligarki, yang berakibat pada kerusakan lingkungan dan kematian segala kehidupan di Papua.
Eksploitasi sumber daya alam di Papua setiap tahun terjadi, dan itu terdokumentasikan dalam laporan berbagai LSM yang konsen terhadap advokasi lingkungan di Papua, dengan persentase yang berubah-berubah.
Kekuatan pemilik modal sangat berpengaruh pada kebijakan politik dan ekonomi dan pengaruhnya dari pusat terhadap pembangunan di Papua. Kebijakan politik ekonomi di dukungan oleh kekuatan militer. Maka semua kebijakan berdalih memberikan standardisasi berdasarkan parameter tertentu, tetapi isi kebijakannya menambah rentetan kerusakan pada lingkungan dan berdampak pada kelangsungan kehidupan manusia Papua.
Argumentasi ini bukan fobia, melainkan terjadi di Tanah Papua dan masyarakat adat Moi di Sorong. Negara punya kepentingan lebih besar segera dilaksanakan setelah Presiden terpilih di lantik, salah satu kepentingannya adalah membuka akses investasi seluas-luasnya kepada investor untuk berinvestasi di Papua.
Pada prinsipnya Indonesia menganut politik bebas aktif. Maka negara, seperti China, Amerika dan lainnya, bisa bekerja sama serta berinvestasi di Papua. Mengapa? Karena Papua bagian dari NKRI.
Masyarakat adat Moi di Sorong dan masyarakat adat Papua pada umumnya terjebak dalam pusaran ekonomi politik. Siasat ini akan terus berjalan berbarengan dari waktu ke waktu, maka sumber daya alam Papua akan habis. (*)
* Penulis adalah mahasiswa magister hukum di Yogyakarta asal Kabupaten Tambrauw
Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!