Jayapura, Jubi – Koalisi Kemanusian untuk Papua mendesak Pemerintah Indonesia untuk melakukan investigasi atas kasus penyiksaan warga sipil yang dilakukan terduga prajurit TNI di Kabupaten Puncak, Provinsi Papua Tengah pada Februari 2024 lalu. Desakan ini disampaikan Koalisi Kemanusian untuk Papua di Jakarta, pada Sabtu (23/3/2024).
Koalisi Kemanusian untuk Papua terdiri atas Amnesty International Indonesia, Biro Papua PGI , Aliansi Demokrasi untuk Papua (AlDP), Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindakan Kekerasan (KontraS), Imparsial, AJAR dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Mereka meminta pemerintah melakukan investigasi atas dugaan penyiksaan warga sipil oleh prajurit TNI.
“Atas kejadian itu Koalisi Kemanusiaan untuk Papua mendesak negara untuk segera menginvestigasi dan mengadili para terduga pelaku dengan seadil-adilnya melalui mekanisme peradilan umum yang terbuka dan independen. Koalisi mengutuk keras penyiksaan yang diduga dilakukan prajurit TNI terhadap warga sipil yang diduga terjadi di Kabupaten Puncak Papua,” tegas koalisi dalam keterangan tertulisnya, pada Sabtu.
Jumat pagi, beredar video di media sosial yang merekam penyiksaan terhadap seorang warga sipil. Korban ditaruh dalam drum berisi air, dengan kedua tangannya terikat. Korban itu dipukuli dan ditendang berulang kali oleh sejumlah orang yang diduga prajurit TNI. Punggung korban juga disayat menggunakan pisau. Wajah sejumlah pelaku terlihat dalam video itu.
Pada Sabtu, Perwakilan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM Papua menyatakan jumlah warga sipil Papua yang menjadi korban penyiksaan sejumlah prajurit TNI ada tiga orang. Perwakilan Komnas HAM Papua juga menyatakan para pelaku penyiksaan itu diduga prajurit Batalion Infanteri Raider 300/Braja Wijaya yang pada Februari 2024 lalu telah dipulangkan kembali ke Komando Daerah Militer atau Kodam III/Siliwangi.
Dalam pernyataan persnya pada Sabtu, Koalisi Kemanusian untuk Papua menilai penyiksaan itu sangat mengkhawatirkan. Koalisi menyatakan tindakan prajurit TNI itu melanggar larangan hukum internasional, konstitusi, dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
“Sebagai aparat keamanan, sudah seharusnya para prajurit TNI itu menghormati hukum yang berlaku. Peristiwa ini pun semakin menambah daftar aksi kekerasan aparat terhadap warga sipil di Tanah Papua,” demikian pernyataan koalisi tersebut.
Koalisi menilai pelaku tindak pidana penyiksaan ini harus ditangani melalui sistem peradilan pidana. Kasus itu tidak boleh ditangani secara internal atau hanya ditangani sebagai suatu tindak pelanggaran disiplin. Koalisi menyatakan sanksi disiplin terhadap para pelaku tidak boleh menghalangi proses hukum bergulir terhadap mereka.
“Proses investigasi yang berlangsung atas tindakan ini harus merujuk pada Istanbul Protocol. Komite HAM PBB, dalam kapasitasnya sebagai penafsir otoritatif ICCPR, menyatakan bahwa negara berkewajiban untuk menyelidiki dugaan pelanggaran HAM secepatnya, secara mendalam dan efektif melalui badan independen dan imparsial. [Pemerintah Indonesia] harus menjamin terlaksananya pengadilan maupun penghukuman terhadap pihak-pihak yang bertanggung jawab, serta memberikan hak reparasi bagi para korban,” tegas koalisi.
Koalisi mendesak pemerintah untuk menghentikan pendekatan keamanan di Tanah Papua yang selama ini justru menimbulkan korban. Koalisi mendorong Panglima TNI untuk segera melakukan evaluasi internal dan menerapkan pengawasan yang lebih baik untuk memastikan terwujudnya akuntabilitas kinerja TNI dan penggunaan kekuatan pasukan TNI di Tanah Papua.
“Negara juga harus segera menerapkan kebijakan yang nyata untuk memastikan ketidakberulangan kasus semacam itu di kemudian hari. Penyiksaan adalah pelanggaran atas hak fundamental yang jelas dilindungi oleh hukum HAM internasional yang telah diterima dan berlaku sebagai hukum nasional,” tegas koalisi.
Koalisi juga menuntut Panglima Kodam Cenderawasih, Mayjen Izak Pangemanan untuk menunjukkan bukti bahwa video itu merupakan rekayasa. Menurut Koalisi jika tidak bisa menunjukkan bukti maka Pangdam Cenderawasih berpotensi melakukan kebohongan publik. (*)
Discussion about this post