Maganjin, Jubi – Sore teduh, angin berhembus mengakrabkan warga dan alam Maganjin, Brisben, Australia pada Minggu (14/4/2024). Di tepi gereja iSEE Church, di halaman ruang VENspace, aktivis mendirikan bioskop mini untuk memutar film Jubi Documentary pada perhelatan ‘West Papua Mini Film Festival’ pada hari dan lokasi kelima.
Puluhan warga Maganjin satu-persatu berdatangan antre di depan bioskop mini yang ditata oleh aktivis Pro Kemerdekaan West Papua, aktivis Pro Kemerdekaan Palestina, Sudan, dan aktivis Aborigin.
Di tepi pintu masuk, para aktivis membuat dapur mini dan menyediakan beberapa meja dengan makanan. Persis di sisi kanan pintu masuk bioskop mini, di lorong jalan masuk, mereka menempel stiker perjuangan Palestina, West Papua, Sudan, dan masyarakat adat Aborigin. Juga ada bendera masing-masing menghiasi lokasi dan tema-tema perlawanan lainnya. Para tamu juga membeli minuman, kopi, teh, dan bir yang dijual para aktivis itu.
Antusiasme penonton sangat tinggi di Maganjin. Di sisi depan pintu masuk bioskop mini, peserta yang datang antre mendaftarakan diri. Mereka yang sudah mendaftar langsung masuk memadati ruangan.
Di arah barat bioskop mini terbentang spanduk Bendera Bintang Kejora selebar lima meter. Sebagian penonton duduk melantai dan ada pula yang duduk di kursi sembari menunggu pemutaran 5 film dokumenter produksi Jubi Documentary yang disupervisi Watchdoc Documentary.
Seperti di lokasi lain di Australia, Jubi Documentary akan memutar lima film tentang Tanah Papua. Kelima film adalah ‘Sa Pu Nama Pengungsi’, ‘Saat Mikrofon Menyala’, ‘Mutiara Hitam Para Jenderal Lapangan’, ‘Suara dari Lembah Grime’, dan ‘Pepera 1969: Integrasi Demokratis?’. Kelima film karya anak Papua ini bertujuan mengenalkan Papua lebih luas kepada publik di Australia dan Pasifik tentang situasi dan kondisi terkini orang Papua.
Pemutaran film di Brisben dihadiri oleh pemuda, aktivis HAM, jurnalis, dan warga di Maganjin. Sebelum pembukaan film seorang aktivis kulit hitam membuka kegiatan dengan nyanyian sambutan menggunakan bahasa lokal Aborigin.
Film Pertama yang diputar adalah ‘Suara dari Lembah Grime’. Kemudian jeda dengan acara kesenian. Vokalis singel dari Papua New Guinea Mekeo Queen mengisi acara, lalu pembacaan puisi. Film berikutnya adalah ‘Sa Pu Nama Pengungsi’ hingga istirahat makan.
Usai makan, acara dilanjutkan dengan diskusi yang diawali Pendiri Jubi Victor Mambor dan pembuat film Dandhy Dwi Laksono. Acara dipandu aktivis Kemerdekaan Papua Ronny Kareny. Usai diskusi dilanjutkan dengan menonton film lainnya dan penampilan rapper.
Saat sesi diskusi, seorang aktivis perempuan Sudan, Huda mengatakan perempuan dan anak-anak harus mendapatkan perlindungan di dalam revolusi.
“Kalau berjuang untuk pembebasan Nation West Papua kita harus hadir, butuh bantuan solidaritas tanpa batas untuk gerakan,” ujarnya.
Huda mengatakan aktivis pejuang kemerdekaan, keadilan, dan perdamaian seluruh dunia harus bersatu. “Kita menyebut diri aktivis, tapi kalau kita tidak hadir untuk bersolidaritas tentu kita bukan aktivis dan pejuang, karena solidaritas itu penting,” katanya.
Aktivis dan rapper dari Palestina, Jamal mengatakan ia sangat mendukung pembuatan film West Papua oleh Jubi Documentary.
“Media ini yang tepat, karena kita bisa melihat West Papua di kolonisasi oleh Indonesia. Kita harus berjuang untuk melawan Indonesia atas praktik kolonisasi itu,” katanya.
Aktivis Justice for Palestine, Remah mengatakan sebagai masyarakat adat dari Palestina, film ‘Suara dari Lembah Grime’ terkait eksploitasi tanah adat lewat perkebunan sawit sangat menarik baginya, karena masyarakat adat menanggung akibatnya.
“Hal ini merupakan salah satu wujud kolonialisme mengeksploistasi tanah dan menghancurkan kehidupan demi satu hal, keuntungan perusahaan dan mengisap masyarakat adat,” ujarnya.
Remah menceritakan, ayahnya terlahir sebagai pengungsi di negaranya sendiri. Ia menyaksikan film ‘Nama Saya Pengungsi’ dan memberinya banyak pemikiran tentang jenis kehidupan dan penderitaan yang harus ditanggung, karena Pengungsi tumbuh sebagai pengungsi di negaranya sendiri.
“Siklus kekerasan terus berlanjut di West Papua dan Palestina, dan di setiap tanah adat di mana masyarakatnya dibantai dan dipindahkan secara paksa. Persamaan tersebut membuat kita, masyarakat adat, semakin sadar akan perjuangan kita bersama menuju pembebasan kolektif. Saya akan selalu berdiri dalam solidaritas dengan saudara kita di West Papua melawan kolonialisme,” katanya.
Pendiri Watchdoc Documentary Dandhy Dwi Laksono menyampaikan selamat datang kepada para penonton. Ia menceritakan proses tim Watchdoc Documentary mendampingi pembuatan film-film dokumenter Jubi documentary sebagaimana yang ditonton hari itu.
“Saya dan tim mendampingi para pemuda Papua ini membuat film hingga filmnya jadi dan ditonton keliling di Australia,” katanya.
Pendiri Forum Media Pasific Victor Mambor mengatakan banyak orang tidak peduli dengan isu West Papua. Ia menjelaskan, di dalam film yang ditonton memperlihatkan negara Indonesia melalui aparat keamanan TNI terus melakukan pengejaran terhadap OPM yang berdampak kepada pengungsian.
“Para pengungsi umumnya adalah perempuan dan anak-anak. Anak-anak tidak bisa bersekolah dan tidak ada layanan kesehatan. Kita bantu anak-anak muda Papua membuat film tentang itu. Kita berterima kasih kepada anak-anak muda atas semangat solidaritasnya,” katanya.
Pendiri Jubi.id itu juga menjelaskan tentang pemutaran film di Adelaide, Australia pada Sabtu (14/5/2024). Festifal film di Adelaide dihadiri orang-orang tua yang pernah ke Tanah Papua dan Papua New Guinea.
“Pertunjukan yang sukses di Adelaide, pada malam hari di Cinema Mercury. Sekitar 80 partisipan bergabung. Mereka banyak bertanya tentang situasi dan kondisi West Papua hari ini dan merespon kelima film tersebut,” ujarnya.
Mambor mengatakan para partisipan banyak yang bertanya tentang Papua dari film yang ditampilkan Jubi Documentary tentang politik, hukum, HAM, rasisme, dan lain-lain.
“Kami menjelaskan keadaan Papua saat ini sesuai dengan pernyataan yang ada dan ditampilkan dalam film yang dibuat Jubi Documentary,” katanya. (*)
Discussion about this post