Sentani, Jubi – Isu terkait politik dan olahraga menjadi isu paling menarik dan paling dicari di Papua. Berita politik, khususnya hukum dan Hak Asasi Manusia, dan olahraga selalu dinanti para pembaca berita Papua.
Hal itu dikatakan Pemimpin Redaksi Media Jubi Papua, Jean Bisay saat berbicara dalam diskusi ‘Media Papua di Tengah Konflik, Kekerasan, dan Keterbatasan’ yang ditayangkan langsung di kanal Youtube Katolikana pada Senin (29/4/2024).
“Di tengah banyaknya media yang muncul di Papua, orang menunggu pemberitaan dari Papua itu seperti apa. Isu terbesar hari ini soal Papua, berita yang orang mau baca di Papua, itu sebenarnya hanya dua isu saja yang dibahas, tentang politik-HAM dan olahraga. Itu dua isu yang ‘seksi’ sebenarnya di Papua” ujarnya.
Hal itu bukan berarti isu lainnya tidak diminati, tetapi memang liputan terkait dua isu tersebut paling banyak pembaca atau peminatnya, kata Bisay.
Sebagai wartawan asli Papua, Bisay memandang perlu lebih banyak jurnalis memberitakan isu-isu terkait situasi dan kondisi yang dialami oleh OAP, misalnya seperti pengungsian. Situasi pengungsian membuat perempuan-perempuan Papua di lokasi pengungsian, menjadi tidak bisa berkebun dan anak-anak tidak bersekolah.
“Kalau bukan media di Papua yang menulis, siapa lagi yang akan menulis soal Papua hari ini,” katanya dalam diskusi itu.
Hendrina Dian Kandipi, Kepala Kantor Berita Antara Biro Papua, juga sependapat soal minat para pembaca Papua itu. “Memang tetap isu di Papua yang masih diminati oleh masyarakat yaitu politik-keamanan dan olahraga. Bagaimanapun cintanya masyarakat Papua tetap di Persipura, jadi berita olahraga ini masih menjadi trending,” kata Dian Kandipi.
Kandipi melanjutkan, soal politik dan keamanan masih terus menjadi isu khas Papua bagi semua mata, baik nasional maupun internasional. Sehingga, itu juga masih menjadi trending topic. “Misalnya terkait politik dan keamanan jika dihubungan dengan kekerasan pada jurnalis atau kondisi keamanan di Papua pasca pilkada. Jadi memang di Papua, isu yang nilai beritanya menjual masih berkisar pada isu-isu tersebut. Sehingga saat ini media mulai mengangkat [isu lain seperti] kearifan lokalnya.”
Dian Kandipi menyayangkan apabila media di luar Papua menjadikan Papua sebagai pencari klikbait. Berdasarkan pengalamannya saat di lapangan, terkadang menurut Dian, media di luar Papua itu memberitakan soal Papua tanpa memikirkan kembali dampaknya terhadap masyarakat di Papua.
Ia mencontohkan, “saat itu saya sempat membaca, salah satu media yang cukup besar juga bahwa dia tidak bisa membedakan mana Waena dan mana Wamena, dan salah menuliskan nama tempat. Nah, otomatis masyarakat di wilayah tersebut menjadi panik padahal mungkin kejadian atau kerusuhannya itu di tempat lain,” katanya.
Hal itu sangat disayangkan, lanjut Kandipi. Terkadang media di luar Papua tidak melakukan cek dan ricek terhadap koresponden atau informasi yang diperolehnya. “Mereka mungkin mencari clickbait di Jakarta sana, tapi kami di Papua yang merasakan dampaknya. Mungkin hal seperti ini kedepannya bisa menjadi perhatian,” ujarnya dalam diskusi berdurasi sekitar satu jam itu.
Dilema Wartawan OAP
Jean Bisay menyampaikan dilema atau tantangan menjadi wartawan di Papua. Wartawan Papua sering mendapat stigma negatif. Seperti kejadian yang dialami jurnalis pada 5 April 2024 lalu, mereka mendapatkan perlakukan kasar, seperti kata-kata makian. “Kita dilema, dalam arti sering mendapat stigma,” ujarnya.
Hendrina Dian Kandipi juga mengakui hal tersebut, meskipun stigma itu dapat dihindarinya, karena kebanyakan stigma tersebut dialami oleh wartawan laki-laki.
“Biasanya yang dicurigai adalah jurnalis pria, terkadang dinilai bukan jurnalis tetapi intel, mungkin untuk perempuan agak terhindari dari stigma itu tetapi laki-laki itu sering kali mendapatkan stigma intel,” ujarnya.
Lebih lanjut Kandipi menjelaskan bagaimana liputan di daerah pegunungan oleh wartawan yang jarang liputan di sana, “ketika mengaku saya dari wartawan mau wawancara, kadang itu agak susah, masyarakat tidak percaya,” katanya.
Menurut dia, hal itu karena ada pihak-pihak yang memanfaatkan profesi jurnalis menjadi alat penyamaran untuk melakukan pendekatan persuasif kepada masyarakat di wilayah konflik. “Kita tidak memungkiri, mungkin salah satunya adalah tugas negara ya, cuman terkadang hal seperti ini harus diklarifikasi juga supaya teman-teman yang bekerja di lapangan khususnya di wilayah konflik terhindari dari dilema seperti ini,” katanya.
Dian bercerita pengalamannya liputan di Tingginambut, saat itu ia mendapatkan ‘ucapan selamat datang’ berupa tembakan. “Sebelum menulis itu bisa diawali dengan sesuatu yang membuat kita semangat. Bisa dibayangkan bagaimana jika ingin memulai suatu tulisan tetapi sebelumnya sudah harus ikutan tiarap, mungkin kebetulan kita ikut di suatu kelompok, dan mungkin cuman ucapan selamat datang atau bagaimana, tapi itukan sebuah pengalaman ketika menulis berita,” katanya.
Namun, hal seperti itulah yang membulatkan tekadnya, bahwa informasi dari Papua harus diberitakan supaya masyarakat di luar tahu situasi dan kondisi di dalam Papua. (*)
Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!