Oleh : Alberth Yomo
Ini bukan judul untuk mendapatkan Clickbait dari pembaca, tapi ini judul yang serius, dan mungkin penting untuk dicermati bersama tapi bukan untuk diperdebatkan. Papua darurat Pinang mungkin dimaknai negatif oleh pembaca, karena ada kata darurat. Misalnya Pinang terancam bencana hama penyakit atau ancaman lainnya. Tapi bukan itu maksud saya. Yang ingin saya sampaikan dalam tulisan ini adalah bagaimana kita melihat dampak Pinang (dari beberapa aspek) bagi kehidupan Orang Asli Papua (OAP) serta bagaimana mengelolanya. Karena akhir-akhir ini praktek konsumsi Pinang di kalangan OAP mengarah pada kondisi yang irasional.
Saya setuju dengan semua pandangan umum tentang Pinang dan hubungannya dengan orang Papua, seperti essay yang ditulis oleh Debi Debora Okowali, mahasiswa program studi ekonomi dari Universitas Kristen Satya Wacana, di Jubi pada Januari 2023.
Menurutnya, hampir mayoritas orang Papua, mulai dari anak-anak hingga orang dewasa, mengkonsumsi buah Pinang setiap hari. Boleh dibilang tiada hari tanpa Pinang. Dari acara-acara adat, pembayaran maskawin, nikah, ibadah, hingga duka dan masih banyak acara lainnya, masyarakat Papua sudah pasti menyediakan Pinang sebagai salah satu menu spesial pencuci mulut. Pinang sudah menjadi identitas orang Papua, bahkan lebih dari itu mengunyah Pinang bagi masyarakat Papua adalah sebuah simbol dan bukti kecintaan terhadap Tanah Papua.
Pinang juga, menurutnya memiliki nilai ekonomis sekaligus nilai budaya yang sangat tinggi. Ketika berbicara tentang Pinang maka yang terlintas di benak orang pada umumnya adalah mama Papua karena mereka yang selalu menjual Pinang. Dari pengamatannya di pasar Sentani, Youtefa Kota Jayapura, dan hampir sebagian besar pasar di Kota dan Kabupaten Jayapura ia melihat penjual Pinang didominasi oleh kaum migran. Menurutnya ini ancaman serius bagi mama Papua yang selama ini menghidupi perekonomian keluarga, baik kebutuhan pendidikan anak, Kesehatan, dan kebutuhan rumah tangga.
Dari essay itu, jelas menggambarkan bahwa buah Pinang diasosiasikan sebagai bagian dari budaya dan tradisi OAP. Namun menurut saya, label ini kemudian dimaknai secara secara keliru. Mata OAP seperti ditutup oleh kain hitam bertuliskan ini budaya dan tradisi kami, tak boleh ada siapapun yang mengomentari apa yang kami lakukan. “Kami mau ludah Pinang di mana saja, kapan saja itu hak kami,” kira-kira seperti itu menggambarkan kondisi saat ini.
Bahkan perspektif kesehatan, kebersihan dan ekonomi bisa dikaburkan ketika membahas soal Pinang dengan OAP, khususnya OAP pecandu Pinang. Sayangnya, tidak ada akademisi atau tokoh Papua yang mampu mengarahkan kebiasaan ini ke arah yang lebih rasional.
Saya mulai dari contoh kasus pertama; ada seorang ibu rumah tangga (IRT) di Sentani yang saya wawancarai, Ia mengaku kecanduan dengan Pinang. Sejam saja tidak makan Pinang, Ia akan gelisah. Bahkan Ia mengaku terkadang tidak bisa menunggu sampai satu jam. Ironisnya, IRT ini tidak memiliki kebun Pinang, jadi satu-satunya cara untuk mendapatkan Pinang adalah dengan membeli. Dia mengaku sehari bisa habiskan Rp 200 ribu untuk membeli Pinang. Kalau setiap hari seperti itu, maka dalam sebulan, saya asumsikan IRT ini menghabiskan uang paling sedikit Rp 6 Juta untuk membeli Pinang. Terus terang kondisi ini tentu menimbulkan pertanyaan.
Bagaimana seorang IRT, tanpa gaji, tanpa lahan pohon Pinang, tegah menghabiskan Rp 6 Juta sebulan untuk konsumsi Pinang, sirih dan kapur? Tentu ada hal lain yang kemudian dikorbankan. Pada umumnya di Papua, hal ini dimungkinkan karena kehidupan sosial masyarakat sekitar yang saling memberi. Kondisi ini kemudian meninabobokan orang Papua dan mengabaikan rasionalitas.
Contoh kasus kedua, ketika saya mewawancarai salah satu ibu penjual Pinang di Pasar Youtefa. Ibu ini seorang PNS, dan sebagai staf pada salah satu kantor distrik di kabupaten Keerom. Dia memilih untuk berjualan Pinang, karena gaji PNSnya bersama suami yang juga seorang PNS, tak mampu memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Ia bersyukur memiliki lahan pohon Pinang yang luas, sehingga dalam kesulitan tertentu, Pinang mampu menjawab kesulitan itu. Jadi, keluarga ini memiliki lahan Pinang yang luas, tapi menjual Pinang ketika sedang kepepet. Artinya, mereka punya potensi Pinang untuk bisa dijadikan bisnis yang mungkin jauh lebih menjanjikan hasilnya daripada gaji dari PNS. Tapi potensi ini tidak mampu dimaksimalkan. Pinang justru dijadikan sampingan.
Contoh kasus ketiga, dan mungkin ini yang paling banyak dihadapi mama-mama OAP penjual Pinang. Mereka membeli Pinang dalam jumlah banyak di Pasar Youtefa atau Pasar Sentani, lalu dijual eceran di keda-kedai penjual Pinang, di seluruh sudut kota hingga kampung-kampung. Harga per tumpuknya Rp 10.000 – Rp 20.000,- . Dalam sehari, mereka bisa menjual di atas 10 tumpuk. Ada yang menjadikannya sebagai usaha serius ( dari sisi bisnis), namun tak sedikit yang jadikan ini sebagai sampingan, untuk membantu biaya transportasi sekolah anak hingga kebutuhan dalam rumah tangga.

Banyak media mempublikasikan hal ini, bahwa dengan Pinang seorang mama Papua mampu menyekolahkan anaknya. Okelah ini menarik karena mengangkat sisi humanisme. Namun, mama-mama Papua juga mestinya didorong dan diberi pemahaman untuk meningkatkan kapasitasnya, agar bukan sekadar jualan, tapi harus jadi bisnis woman yang menerapkan managemen bisnis. Karena bisnis Pinang peluangnya sangat besar untuk mengangkat derajat mama-mama Papua.
Dari sisi bisnis, tentu menggunakan perhitungan bisnis, dimana ada biaya produksi, nilai jual hingga laba yang diperoleh. Nah, bagian ini yang acapkali diabaikan oleh mama-mama OAP penjual Pinang. Tapi tidak untuk pedagang non OAP. Pedagang Pinang non OAP justru menggeluti perdagangan ini setelah melalui proses riset sederhana. Mereka melihat permintaan pasar yang tinggi, kemudian menghitung semua biaya produksi, mulai dari biaya sewa tempat, membayar tenaga kerja, jumlah Pinang yang harus dijual dalam sehari hingga menentukan jumlah buah Pinang yang dijual dengan harga pasar yang berlaku saat itu. Lalu keuntungannya kemudian diinvestasikan, baik untuk memperluas usahanya atau untuk investasi jangka panjang.
Faktor inilah yang kemudian membuat pedagang non OAP lebih sukses dalam menjalankan bisnis Pinang, dibanding mama-mama OAP yang berjualan Pinang. Akhirnya kita harus jujur mengakui, bahwa yang mengambil keuntungan dari bisnis Pinang ini bukanlah OAP, tapi pedagang non OAP.
Hasil riset sederhana yang dilakukan tim Bidang Perkebunan Dinas Pertanian dan Pangan Provinsi Papua Tahun 2023 lalu, menemukan bahwa perputaran uang yang terjadi di tempat penjualan Pinang pasar Youtefa dalam sehari mencapai Rp 1 Miliar. Bahkan pengiriman cargo ke Wamena, Papua Pegunungan, dari 7 ton muatan pesawat, 4 tonnya adalah Pinang. Bisa dibayangkan berapa keuntungan yang diperoleh para “pemain” Pinang dalam sehari.
Di Papua pohon Pinang tersebar di 13 Kabupaten, dengan luas perkebunan 3.700 hektare, mulai dari Kabupaten Jayapura, Keerom, Sarmi, Biak, Supiori, Yapen, Waropen, Nabire, Mimika, Merauke, Maapi, dan sebagian di Tolikara. Pinang sendiri hanya dapat tumbuh di 10° LU-10° LS di daerah khatulistiwa dan tidak bisa tumbuh di belahan bumi yang lain. Hal ini menjadi peluang besar bagi masyarakat kita untuk menanam Pinang, karena Pinang memiliki peminat yang cukup banyak.
Bukan hanya memenuhi kebutuhan sosial budaya masyarakat setempat, namun Pinang sudah menghasilkan nilai ekonomi.
Tahun 2022, Karel M Jarangga, Kepala Bidang Perkebunan Dinas Pertanian dan Pangan Provinsi Papua mengatakan Pinang merupakan salah satu komoditi ekspor yang cukup tinggi. Untungnya, masyarakat Papua sudah bisa membaca kondisi dan memanfaatkan situasi ini. Pada 2018, kata Karel, Papua mengekspor 280 ton buah Pinang, pada 2019 Papua mengekspor 3.300 ton buah Pinang dengan total nilai kurang lebih Rp300 miliar.
Jadi potensi ekonomi Pinang sangat besar. Oleh karenanya, orang Papua tidak usah ragu untuk menanam Pinang. “Jangan takut atau jangan ragu untuk menanam Pinang karena ke depannya kebutuhan buah Pinang pasti akan ada terus dan tidak akan terputus. Karena tidak semua daerah bisa untuk menanam Pinang,” kata Karel.
Apa yang harus dilakukan?
Contoh kasus pertama di atas adalah sebuah ironi. Lahan Papua begitu luas, tapi kita tidak mampu menanam Pinang bahkan banyak OAP yang tidak memiliki lahan Pinang. Karena itu, kebijakan pemerintah seharusnya diarahkan ke sana, memperluas lahan Pinang hingga ke pelosok-pelosok. Buat Gerakan menanam Pinang dan Sirih. Bukan perluas lahan sawit, karena orang Papua tidak makan sawit. Jadi mengarahkan orang Papua untuk makan dari kebunnya sendiri, sehingga uang yang ada sedikit di tangan itu bisa dialihkan untuk memenuhi kebutuhan hidup rumah tangga, biaya sekolah anak atau investasi ke hal positif lainnya.
Melihat keberadaan Pinang saat ini, (mohon maaf) tak ada bedanya dengan ganja. Orang Papua jadi candu makan Pinang. Tidak makan Pinang, orang Papua akan gelisah dan tidak memiliki semangat kerja.
Pengakuan IRT di Sentani itu adalah sebuah alarm. Kita tidak mungkin membatasi IRT ini makan Pinang, kecuali oleh kesadarannya sendiri atau karena kondisi tertentu. Kelompok seperti ini seharusnya diarahkan untuk menanam Pinang di lahannya sendiri. Dengan demikian, statusnya bisa meningkat seperti pada contoh kasus 2, yakni memiliki kebun Pinang sendiri. Jadi kalau ingin makan Pinang, tinggal petik dari kebun sendiri. Kalau tidak ada garam atau gula, bisa jual Pinang dari lahan itu untuk dapatkan uang dan membeli kebutuhan itu. Jangan kemudian karena kecanduan Pinang, lalu korbankan kebutuhan hidup yang lain.
Untuk contoh kasus ketiga, kebijakan pemerintah harusnya diarahkan pada penguatan kapasitas sebagai bisnis man atau bisnis woman. Beberapa kebijakan seperti membatasi pedagang non OAP berdagang Pinang sebaiknya ditinjau kembali. Karena bisnis sejatinya membutuhkan jaringan kerjasama. Tanpa pedagang non OAP yang gesit dan pekerja keras, buah-buah Pinang dari para OAP di Arso Kabupaten Keerom, mungkin tak akan sampai ke pasar. Sistem pasar ini harus diarahkan, supaya terjadi kerjasama yang saling menguntungkan bahkan bisa jadi ada transfer pengetahuan dari non OAP kepada OAP.
Managemen bisnis juga perlu digalakkan bagi mama-mama Papua penjual Pinang. Sehingga dari Pinang itu, mereka bisa memiliki tabungan atau bentuk investasi lainnya yang dapat menjamin kehidupan keluarganya di masa depan.
Terakhir dari tulisan ini, saya hanya ingin mengajak semua OAP yang makan Pinang, sebaiknya terapkan kebiasaan makan Pinang yang bersih. Dari sisi medis memang ada perdebatan, anjuran pihak medis kepada pemakan Pinang, sirih dan kapur sering tidak digubris. Ya, sudah itu hak masing-masing individu. Namun, dalam lingkungan bersama komunitas lain, kita perlu menerapkan kebiasaan yang baik. Makan Pinang itu budaya, tapi ludah Pinang sembarangan janganlah dijadikan budaya. Lingkungan yang kotor dan norak, sejatinya tak baik untuk kesehatan, jadi mari kitong jaga perilaku makan Pinang. (*)
(Penulis adalah editor di Media Jubi Papua)
Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!