Jayapura, Jubi – Kurator Papua, Enrico Yory Kondologit, mengatakan Unit Pelaksana Teknis atau UPT Museum Loka Budaya Universitas Cenderawasih (Uncen) Kota Jayapura, Provinsi Papua saat ini berkembang signifikan. Dari 502 museum yang tercatat dalam Asosiasi Museum Indonesia, 51 di antaranya adalah museum di dalam universitas. Sebanyak 50 museum di antaranya berstatus laboratorium atau masih pendukung sementara. Museum Loka Budaya Uncen satu-satunya museum yang berstatus UPT di Indonesia.
“[Museum Loka Budaya] Uncen satu-satunya [museum di dalam universitas yang berstatus] UPT. UPT itu adalah pendukung pendidikan [yang] setara dengan lembaga pendidikan,” ujar Kondologit saat ditemui Jubi di ruang kerjanya di UPT Museum Loka Budaya Uncen, Jalan Raya Sentani – Abepura, Kota Jayapura, Provinsi Papua, pada Rabu (3/1/2024).
Lebih lanjut dia mengatakan salah satu museum yang berstatus laboratorium ialah Museum Anatomi yang merupakan laboratorium Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
“Itu disebut museum tubuh manusia. Mau lihat mata, hidung, mulut, segala macam semua ada di situ. Tapi, itu lab [laboratorium] dari [Fakultas] Kedokteran [Universitas Indonesia] tapi belum berdiri menjadi UPT. Hanya kami [Museum Loka Budaya Uncen] yang tercatat sebagai UPT satu-satunya di Indonesia, ” ujarnya.
Kondologit mengatakan hingga saat ini sebanyak 2.500 benda etnografi yang usianya lebih dari 20 sampai 50 tahun atau yang benar-benar baru ditemukan telah menjadi koleksi museum itu. Koleksi laboratorium itu berasal dari hibah dari Rockefeller Foundation dari Amerika Serikat, donasi koleksi dari pendeta, penginjil, dan peneliti serta dari pengadaan koleksi yang dilakukan oleh Universitas Cenderawasih sendiri.
Kondologit menambahkan para pengurus museum terdahulu yang mengelola museum sebelumnya sadar bahwa koleksi museum itu harus diinformasikan kepada masyarakat luas. Hal itu membuat Arnold Clemens Ap bersama rekan-rekan lainnya membentuk grup musik Mambesak di Museum Uncen pada 5 Agustus 1978.
“Grup Mambesak yang terkenal itu dibuat oleh Arnold Clemens Ap dan teman-temannya di Uncen ini. Tujuannya selain untuk mengenalkan tradisi Papua, tapi juga untuk mengenalkan koleksi. Jadi itu luar biasa sekali,” ujarnya.
Selain itu dia mengatakan sumber daya manusia (SDM) di bidang antropologi pada 1970-an sampai 1980-an berkembang sangat pesat. Meskipun hanya sebagai Sarjana Muda Geografi (BA), namun mereka mempunyai kemampuan berbahasa Inggris dan Belanda, sehingga generasi di era 1970-an sampai 1980-an itu memiliki kemampuan melakukan riset bersama peneliti asing di bidang antropologi sangat tinggi.
“Itu menyebabkan kekayaan informasi terhadap koleksi museum itu sangat luar biasa,” ujarnya.
Meskipun demikian, menurutnya, mendapatkan kurator di Tanah Papua merupakan pekerjaan yang paling sulit. Dia mengatakan, setelah Arnold Clemens Ap sebagai kurator pertama di Tanah Papua meninggal dunia pada 26 April 1984, kurator kedua baru ada setelah 30 tahun.
Kondologit mengaku dirinya sebagai kurator atau pamong budaya, menurut istilah yang digunakan Departemen Kebudayaan, kedua di Tanah Papua, setelah mendapatkan sertifikasi kurator pada 2014.
“Jadi, saya menjadi kurator kedua [di Tanah Papua] sampai sekarang,” ujarnya.
Lebih jauh Kondologit mengatakan museum di Indonesia terdiri dari dua jenis yakni museum umum dan museum khusus. Museum umum yang mengeloleksi sedikitnya sembilan jenis koleksi yang empat di antaranya koleksi etnografi, arkeologi, numestika, biologi. Sementara itu, UPT Museum Loka Budaya Universitas Cenderawasih dikategorikan sebagai museum khusus yang hanya mengoleksi benda-benda etnografi di Tanah Papua.
“Walaupun di dalamnya ada benda-benda yang sifatnya arkeologis, misalnya kapak batu, tapi kami tidak melihat soal arkeologisnya tetapi fungsinya, karena kapak batu digunakan untuk menebang pohon, menokok sagu, atau untuk bayar maskawin. Akhirnya Museum Uncen disebut museum khusus,” ujarnya. (*)