Jayapura, Jubi – Unit Pelaksana Teknis atau UPT Museum Loka Budaya Universitas Cenderawasih atau Uncen Jayapura terbentuk sebagai bagian yang terintegrasikan dalam perhatian dan pengakuan bangsa Indonesia terhadap kemajemukan suku-suku di Papua. UPT Museum Loka Budaya yang sebelumnya disebut Lembaga Antropologi itu berdiri pada 20 Juli 1963 sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Nomor 82 tahun 1962.
“Secara de facto museum telah berdiri sejak 20 Juli 1963 sesuai dengan SK Menteri [Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan Indonesia],” katanya.
Hal itu disampaikan Kurator Papua, Enrico Yory Kondologit, saat ditemui Jubi di Museum Loka Budaya Uncen Jayapura, Kota Jayapura, Provinsi Papua, pada Rabu (3/1/2023).
Lebih lanjut Kondologit mengatakan lahirnya Museum Loka Budaya Uncen tidak terlepas dari sejarah terbentuknya Universitas Cenderawasih (Uncen) Jayapura.
“Hadirnya Uncen dan Museum Loka Budaya juga sebagai bagian dari mempersiapkan sumber daya manusia [SDM] di Papua tapi juga atas kemajemukan suku-suku di Papua. Kalau di Jawa sana satu suku orang bilang orang Jawa tapi kalau di Papua keberagamannya luar biasa sekali,” katanya.
Dia mengatakan Universitas Cenderawasih lahir pada 10 November 1962, sementara Papua belum menjadi bagian dari Indonesia. Lebih lanjut dia mengatakan Papua menjadi bagian dari Indonesia pada 1 Mei 1963 walaupun Pepera dilakukan pada 1969.
Selain itu, kurator orang asli Papua setelah almarhum Arnold Clemens Ap itu juga mengatakan total suku/bangsa di Indonesia dari kategori bahasa terdapat sekitar 700-an dari total tersebut Papua menyumbangkan hampir setengah dari bahasa-bahasa yang ada di Indonesia. Hal itu sesuai dengan dengan data dari Balai Bahasa Papua menunjukkan terdapat sekitar 170 suku/bangsa di Tanah Papua yang tinggal dalam tujuh wilayah budaya yakni wilayah budaya Tabi, Saireri, Domberai, Bomberai, Meepago, Lapago, dan wilayah budaya Anim-ha.
Lebih lanjut dia mengatakan keragaman itu memberikan hal yang positif dan juga menjadi hal yang membanggakan yang harus disadari oleh orang Papua.
“Kita punya keragaman itu sejak dahulu menjadi perhatian yang luar biasa membuat orang melihat kita. Selain kita tahu bahwa kita beragam tapi orang lain juga mengakui bangsa ini dan tanah ini [Tanah Papua] itu beragam sekali dengan etnis dan kebudayaannya yang menjadi daya tarik yang luar biasa,” Katanya.
Selain itu, dia juga mengatakan lahirnya UPT Museum Loka Budaya Uncen bertujuan untuk menjadikan UPT ini sebagai pusat kebudayaan material.
“Karena, ilmu antropologi teorinya orang belajar tentang konsep dan teori antropologi [sementara,] prakteknya itu di museum sebagai pusat kebudayaan material,” katanya.
Kondologit mengatakan kehadiran Museum Loka Budaya Uncen pada 1963 itu juga berhubungan dengan hilangnya Michael Clark Rockefeller, anak dari Nelson Aldrich Rockefeller, Gubernur New York era 1959-1973, yang hilang pada Oktober 1961 di Asmat, Papua Selatan.
“[Michael Clark Rockefeller] bersama dua orang antropolog datang ke Papua tahun 1961 [sekitar bulan Juni – Juli] untuk melakukan penelitian koleksi sama mengumpulkan koleksi di Papua Barat tepatnya di Lembah Baliem dan Asmat,” katanya.
Selanjutnya, dia mengatakan Michael Clark Rockefeller bersama dua orang antropologi itu datang ke Lembah Baliem sekitar bulan Juni-Juni 1961 dan hasil penelitian koleksi dan hasil pengumpulan koleksi itu rencananya akan dikirim ke Metropolitan Art of Museum, New York, Amerika Serikat sebagai barang koleksi.
Sementara itu, Michael Clark Rockefeller bersama dua orang antropologi itu melakukan penelitian di Asmat, Papua Selatan pada September-Oktober 1961.
“Waktu bulan September itu banyak barang [hingga mencapai] ribuan koleksi sudah di kirim ke Amerika Serikat lalu di minggu ketiga bulan Oktober dia [Michael Clark Rockefeller bersama dua orang antropologi] hilang di Asmat, perahunya terbalik,” katanya.
Lebih lanjut dia mengatakan hasil koleksi Michael Clark Rockefeller bersama dua orang antropologi yang tidak berhasil dikirimkan ke Amerika Serikat itu, tinggal di Agats, ibukota Asmat.
“Jadi waktu 10 November 1962 Uncen berdiri. Tahun 1963 Lembaga Antropologi berdiri karena pemikiran bagaimana koleksi-koleksi itu bisa didistribusikan ke kita untuk dipelajari sebagai bagian dari antropologi,” katanya.
Dia mengatakan sebagai museum yang tugasnya mengumpulkan koleksi, UPT Museum Loka Budaya Uncen dari 1963 sampai saat ini telah mengoleksi sebanyak 2.500 koleksi. Sebanyak 1.700 koleksi terdapat di ruang penyimpanan sementara, sekitar 800 koleksi lainnya terdapat di ruang pameran.
“Mulai dari manik-manik, anting-anting, sampai patung besar [yang berasal] dari semua suku di Papua,” katanya.
Lebih lanjut dia mengatakan koleksi yang dikumpulkan berasal dari hibah dari Rockefeller Foundation dari Amerika Serikat, donasi koleksi dari pendeta, penginjil, dan peneliti.
Selain itu, dia mengatakan koleksi yang terdapat di UPT Museum Loka Budaya Uncen juga berasal dari pengadaan yang dilakukan oleh Universitas Cenderawasih (Uncen) Jayapura.
“Koleksi dari Rockefeller itu dominan dari Asmat dan Wamena. Dari daerah lain, misalnya Jayapura, Sentani, Serui, dan Sorong itu teman-teman [Uncen] cari, namanya pengadaan koleksi,” katanya.
Dia juga mengatakan Lembaga Antropologi yang berdiri pada 20 Juli 1963 itu diketuai oleh Prof. Dr. H.C. KPH. Koentjaraningrat (1963-1980), yang di dalamnya terdapat bidang museum.
Lembaga antropologi yang saat ini disebut sebagai UPT Museum Loka Budaya sejak 1980 berstatus sebagai lembaga penelitian itu setingkat dengan fakultas yang membawahi tiga bidang di antaranya bidang pendidikan, penelitian, dan museum.
Kepala UPT. Museum Loka Budaya Uncen yang ke sembilan dijabat Drs. Agus Samori (2009-2024). Sebelumnya dijabat oleh Prof. Dr. R. Koentjaraninggrat (1963-1980) dengan pelaksana ketua harian Drs. Anwas Iskandar (1964-1974) dan Dr. Soeharno (1975-1980).
Setelah Lembaga Antropologi diubah menjadi UPT Museum Loka Budaya. Setelah perubahan nomenklatur pada 1980, Kepala UPT Museum Loka Budaya Uncen dijabat oleh Arnold Clemens Ap (1980-1984), Barkis Suraatmadja (1985-1990), Mientje Roembiak (1990-1995), Drs. Enos H. Rumansara (1995-2005), dan Frederik Sokoy, S.Sos, M.Sos (2006-2009). (*)