Jayapura, Jubi – Mantan Presiden RI Abdurrahman Wahid atau lebih dikenal dengan nama Gus Dur melakukan pendekatan lebih humanis dalam menangani persoalan Papua.
Hal itu dikemukakan Profesor Riset Pusat Riset Kewilayahan, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Cahyo Pamungkas saat dihubungi Jubi melalui telepon pada Sabtu (13/4/2024).
“Tidak semua orang Indonesia mendukung gagasan Gus Dur, hanya sedikit sekali dan terbatas, baik kalangan aktivis, elit intelektual, maupun akademisi,” kata Cahyo. “Gus Dur tidak setuju dengan pendekatan keamanan melalui operasi militer,” ujarnya.
Menurut Cahyo, ada tiga hal yang dilakukan Gus Dur pada masa kepemimpinannya. Pertama, bertemu dan berdialog dengan tokoh-tokoh prokemerdekaan. Kedua, mengubah nama Irian Jaya menjadi Papua, dan ketiga, mengizinkan bendera Bintang Kejora berkibar, tetapi lebih rendah dari bendera Merah Putih.
“Ketiga hal itu tidak dilakukan oleh presiden-presiden setelah Gus Dur,” lanjutnya.
Pendekatan humanis, kata Cahyo, adalah pendekatan yang berusaha untuk mengubah. Pendekatan yang berusaha mendekati hati orang Papua dengan cara memberikan ruang untuk berdialog, serta mengizinkan mereka mengekspresikan identitas budayanya dalam bentuk simbol-simbol atau bendera-bendera.
Menurut peneliti yang menjadi tim penyusun dokumen upaya membangun resolusi konflik di Papua, buku ‘Papua Road Map’ bersama almarhum Muridan Widjoyo itu, gagasan Papua merdeka yang dimaksud Gus Dur adalah orang Papua merdeka di dalam kerangka Negara kesatuan Republik Indonesia.
“Sebenarnya Gus Dur berusaha untuk mentransformasikan konflik, memberikan Otonomi Khusus yang sebenarnya kepada orang Papua,” katanya.
Minimnya pengetahuan tentang Papua dan sejarahnya
Cahyo Pamungkas mengatakan sebagian besar masyarakat Indonesia tidak punya banyak pengetahuan yang komprehensif mengenai integrasi Papua ke Indonesia.
Menurut dia ada tiga hal yang menjadi area perdebatan terus menerus menyangkut Papua.
Pertama, tentang pelurusan sejarah Papua. Ada perbedaan penafsiran sejarah yang tidak dipahami oleh kaum intelektual Indonesia maupun masyarakat umum.
“Intelektual saja banyak yang tidak setuju dengan penafsiran sejarah Papua, apalagi khalayak umum yang tidak memiliki pengetahuan yang cukup mengenai sejarah Papua,” ujarnya.
Cahyo Pamungkas mengatakan di dalam narasi besar sejarah Indonesia juga tidak ada ruang bagi penafsiran terhadap sejarah Papua yang berbeda menurut versi orang Papua.
Sejarah versi Indonesia mengatakan Papua adalah jajahan Belanda, itu adalah bagian dari tanah air Indonesia, karena itu Indonesia berusaha untuk membebaskan Papua dari Belanda. Sedangkan versi orang Papua sendiri itu bukan pembebasan dari Belanda, tapi itu kolonialisme baru, bentuk penjajahan baru.
“Jadi Indonesia melakukan imperialisme baru menggantikan Belanda, karena dulu kan Belanda mempersiapkan dekolonialisasi, rencana memberikan kemerdekaan Papua dalam waktu 10 tahun, tapi Indonesia menggagalkan rencana itu, mengokupasi,” ujarnya.
Jadi, tambahnya, kedua versi itu menjadi titik masalah perbedaan penafsiran antara mereka yang sudah mengetahui dan tidak mengetahui mengenai sejarah Papua terintegrasi ke Indonesia.
“Dalam Undang-Undang Otsus pun sudah dicantumkan mengenai bagaimana cara menyelesaikan persoalan dua versi sejarah tersebut, namun sampai detik ini belum ada titik temunya,” katanya.
Selanjutnya, kata Cahyo, mengenai peristiwa Pepera 1969. Merujuk pada Professor Pieter Drooglever, peristiwa Pepera ini tidak banyak yang tahu kejadian sebenarnya saat itu. Dalam Buku karya Pieter Drooglever berjudul ‘An Act of Free Choice’ menjelaskan situasi Pepera yang sebenarnya di mana terjadi intimidasi dan penekanan oleh pihak militer.
“Berikut hal yang kedua mengenai produksi pengetahuan tentang kebudayaan Papua dan masyarakat Papua di Indonesia, di luar Papua,” katanya.
Sebagian besar didominasi oleh pandangan yang mengatakan orang Papua masih primitif tidak beradab dan memiliki kebudayaan lebih rendah dari orang Indonesia.
“Pandangan itu masih dimiliki oleh masyarakat Indonesia yang cenderung rasis, cenderung diskriminatif,” ujarnya.
Kemudian terakhir yang ketiga, lebih condongnya pendekatan kesejahteraan ketimbang gagasan Papua tanah damai secara institusi. Juga kurangnya ruang kritis di Jakarta yang mengadvokasi Papua tanah damai.
“Yang menghendaki dialog, hanya sedikit orang, seperti tokoh agama, kalangan gereja, intelektual, peneliti, kemudian NGO, dan aktivis HAM di Jakarta. Pandangan mainstream yang paling banyak itu, para akademisi dan intelektual, rata-rata lebih mendukung gagasan dan kebijakan pembangunan,” ujarnya.
Sementara orang Papua berpendapat pembangunan itu adalah kapitalisme, bentuk okupasi baru, eksploitasi sumber daya alam, pendudukan, dan lain-lain.
“Seharusnya yang dibicarakan itu mengenai pelanggaran HAM, rasisme dan diskriminasi, dan bicara mengenai penafsiran terhadap sejarah Papua,” ujarnya.(*)
Discussion about this post