Enarotali, Jubi – Pembangunan kantor Pemerintah Provinsi Papua Pegunungan menuai polemik. Proyek ini merupakan bagian dari tindak lanjut pembentukan daerah otonomi baru atau DOB atau pemekaran di bumi Cendrawasih tersebut.
Setelah pemerintah paksakan revisi otonomi khusus (Otsus) yang dinilai tanpa persetujuan orang Papua, selang satu bulan pemerintah mengelurkan paket pemekaran DOB, upaya kebijakan di atas ditentang oleh rakyat Papua Sorong – Merauke, namun aspirasi penolakan tanpa didengar pemerintah Indonesia tetap paksakan kebijakan itu di Papua, eskalasi kekerasan konflik bersenjata meningkat, selain banyak pelanggaran HAM yang tidak dapat diselesaikan oleh pemerintah Indonesia, jusru pemerintah Indonesia lebih mementingan sumber daya alam orang Papua ketimbang membangun sumber daya manusia.
“Orang Papua sedang khawatirkan kehilangan hak atas tanah dan hutan mereka akan dicuri oleh negara melalui investasi, di mana UU Omnibus law sudah dilegalkan pintu masuk investasi di Papua. Di mana praktik ini sudah dilakukan oleh negara selama bertahun-tahun melaui program kelapa sawit maupun program Food Estate di Merauke, Sorong, Sorong Selatan, Keerom dan Tambrauw Papua,” kata Ambrosius Mulait, ketua Asosiasi Mahasiwa Pegunungan Tengah Papua se Indonesia kepada Jubi melalui selulernya, Minggu, (23/7/2023).
Problem lainnya, kata dia, negara tidak pernah mendalami kepemilikan tanah di Papua. Ada perbedaan yang mencolok antara definisi tanah yang menjadi subyek ‘hukum’ di Pulau Jawa dan kedudukan ‘tanah’ di tanah Papua.
Di Papua, kedudukan tanah itu dimiliki secara komunal (sub suku, /klen) oleh masyarakat adat, dan terus terpelihara hingga saat ini. Bahkan dalam urusan pembangunan infrastruktur yang didanai Pemerintah melalui APBN atau APBD, penyerahan status tanah di tanah Papua justru berbentuk penetapan kepala suku, masyarakat adat bersama kepala daerah hal ini menunjukkan bahwa “tidak ada kepemilikan individu atas tanah” di atas tanah Papua.
Menurut Mulait, negara yang seharusnya menjadi pelindung masyarakat adat beserta “hak kesulungannya”, justru menjadi bagian dari pelaku “perampas” hak hak masyarakat adat, dengan konsesi konsesi penguasaan, yang sejatinya tidak dikenal dalam hukum adat di Tanah Papua.
Lahan yang akan digunakan adalah lokasi yang ditempati oleh suku-suku dari wilayah Walesi yakni Lanny, Asso, Wuka, Yaleget, Yelipele; sedangkan dari wilayah Asolokobal adalah Asso, Lokobal, Wuka; dari wilayah Wouma adalah Wuka, Matuan, Lagowan dan Ikinia.
Adapun penyebutan secara adat, nama tempat yang mau dihibahkan berada di Mulinai, Isuagec; sedangkan pemerintah menyebutnya sebagai “Tanah Walesi.”
Ide awal menghibahkan tanah berasal dari beberapa tokoh Walesi, yang tergabung dalam Tim Peduli Pembangunan Wilayah Adat Walesi, yang berkoordinasi oleh Wakil Menteri Dalam Negeri, John Wempi Wetipo dengan jaminan, pihaknya menduga penyerahan tanah disertai iming-iming tawaran jabatan tertentu di provinsi Baru.
Ia mengatakan, niat awal rencana hibah tanah adat sekira 75 hektare, namun dalam perkembangannya berubah menjadi 108 hektar persegi. Bahkan setelah pertemuan dengan Komisi II DPR RI ada indikasi penambahan luas lahan sehingga menjadi sekitar 240 hektare (diduga berasal penggabungan lahan dari wilayah Wouma yang sebelumnya tidak dihitung).
Ada pun pihak-pihak yang mendukung proses tersebut terdapat sebagian kepala suku. Namun, pihak-pihak yang menolak proses itu juga sebagian merupakan kepala suku, tokoh pemuda, dan mahasiswa yang berasal dari wilayah Walesi.
“Dalam pelepasan tanah tidak menempuh mekanisme resmi dan jelas sesuai peraturan perihal menerima lahan. Pada Agustus 2022, diduga ada beberapa tokoh intelektual setempat yang ke Jakarta untuk bertemu dengan Wempi Wetipo sembari menyuarakan keinginan mereka soal pengisian jabatan, menjadi anggota Majelis Rakyat Papua, Dewan Perwakilan Rakyat Papua; dibarter dengan penyerahan tanah. Tanah 108 hektare mau mereka berikan kepada Bapak Wempi. Lalu pemerintah provinsi harus menandatangani kesepakatan untuk mengisi jabatan-jabatan tersebut. Itu bukan kemauan semua masyarakat,” ungkapnya.
Lahan yang digunakan itu merupakan daerah perbatasan warga Wouma dan Walesi, Medio 1978-1979 mereka bertikai memperebutkan wilayah perbatasan, namun tahun 1987 baku ribut itu berhenti. Kini mereka bersatu menolak pembangunan; mereka “berperang” melawan kebijakan pemerintah. Lahan yang akan dibangun ini pun dijadikan tempat bercocok tanam umbi-umbian yang menjadi sumber pangan dan komoditas alias lokasi produktif warga menggantungkan hidupnya.
“Jika tanah diambil alih pemerintah, masyarakat mau hidup, bercocok tanam dimana? Masyarakat adat terancam akan kehilangan hak hidup di tanahnya,” ucapnya.
Dalam konteks penyerahan lokasi, lanjut dia, masih bersengketa adanya pro dan kotra dibangun oleh Pemerintah.
Pemerintah dinilai lakukan pengabaian aspirasi penolakan dari masyarakat pemilik ulayat (kontra). hal lain di mana pemerintah bukan Pemprov Papua Pegunungan yang disuruh mencari lokasi, tapi Wamendagri sendiri yang langsung ke lokasi. Maka menurutnya, Pemkab Jayawijaya angkat tangan tak mau berikan lokasi di Jayawijaya.
“Beberapa asosiasi Bupati Pegunungan Tengah juga lepas tangan. Karena salah prosedur. Selain Wamendagri diduga menggunakan kekuatan militer (TNI) untuk lakukan intimidasi. Itu dirasakan oleh pihak penolak pembangunan, seperti pemerintah tak akan mengabulkan keinginan barter, potensi pengusiran warga, dan penyertaan aparat militer ketika pemerintah datang.
Katanya, 108 hektare adalah daerah perkebunan masyarakat yang akan diambil. “Maka masyarakat melawan oleh karena itu kami mahasiswa mendukung dan berdiri Bersama rakyat menolak,” kata dia.
Dia melanjutkan, pada Kamis, 15 Juni 2023, masyarakat Welesi, Wouma Asolokobal (Wamena) yang tergabung Forum Peduli Tanah Adat Aliansi Suku Wio, menyampaikan sikap dan posisi mereka mengenai wacana pembangunan Kantor Gubernur beserta semua OPD dan Lembaga non Struktural Pemerintah Provinsi Papua Pegunungan di wilayah Tapal Batas Distrik Wouma (Suku Wio) dan Distrik Welesi (Suku Ue elesi). Hal itu disampaikan di kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Jayawijaya.
“Wacana daerah pembangunan kantor Gubernur Provinsi Papua Pegunungan yakni sekitar perbatasan Wouma dan Welesi adalah Lahan Ekonomi Produktif bagi suku Wio, Welesi maupun suku kerabat (Lani, Mee, Yali). Daerah wacana pembangunan kantor Gubernur Provinsi Papua Pegunungan yakni wilayah perbatasan Wouma dan Welesi adalah tanah misteri atau sengketa yang harus dibicarakan secara bersama oleh semua suku di wilayah Provinsi Papua Pegunungan, bukan hanya oleh satu/dua klan/sub suku yang diberikan mandat untuk menjaga tempat ini,” katanya.
Ia menegaskan, Tuhan memberikan talenta kepada suku Wio, dan semua suku di wilayah Pegunungan Tengah untuk bercocok tanam dan beternak babi. Apabila lahan ini dipergunakan untuk pembangunan kantor Gubernur Provinsi Papua Pegunungan, maka suku Wio sudah dipastikan menuju kepunahan karena tidak ada lahan garapan.
“Suku Wio hendak menegaskan, bukan menolak pembangunan (buktinya pusat pemerintahan Kabupaten Jayawijaya ada di lahan subur suku Wio), tetapi menolak dengan tegas penempatan kantor Gubernur Provinsi Papua Pegunungan di Wilayah perbatasan Distrik Wouma dan Welesi. Sudah cukup suku Wio menyerahkan lahannya untuk Pusat Pemerintahan Kabupaten Jayawijaya, yang tersisa ini jangan dirampas, diambil, dicaplok lagi oleh siapa pun untuk kepentingan apapun. Biarkan lahan ini ada untuk wilayah pertanian suku Wio,” ujar Mulait.
Pihaknya juga meminta kepada Pemerintah Pusat, Pj Gubernur Papua Pegunungan, Pemda Jayawijaya dan DPRD Kabupaten Jayawijaya bahwa suku Wio menolak dengan tegas penempatan pembangunan kantor gubernur provinsi papua pegunungan di wilayah tanah adat suku Wio, Huwulama.
Pihaknya juga mendesak ketua dan anggota DPRD Kabupaten Jayawijaya untuk membentuk “pansel” dalam waktu 2 kali 24 jam mengenai wacana pro dan kontra penempatan lokasi pembangunan kantor gubernur provinsi Papua Pegunungan.
“Kami mendesak ketua dan anggota DPRD Jayawijaya membuka ruang mediasi yang independen antara kelompok pro dan kontra pembangunan kantor gubernur provinsi papua baik dari distrik Wouma maupun distrik Welesi.
“Kami juga meminta Pj. gubernur provinsi Papua Pegunungan dan Wakil Menteri Dalam Negeri untuk tidak menyalahi dan melangkahi prosedural adat dan sistem pemerintahan,” kata dia.
Ia menegaskan, kedua pihak harus memediasi proses adat dan menghormati proses di DPRD Kabupaten Jayawijaya yang memiliki otoritas pemerintahan bawah untuk kasus lokasi penempatan kantor gubernur Provinsi Papua Pegunungan. (*)