Jayapura, Jubi – Solidaritas Mahasiswa Papua berunjuk rasa di Jalan Kamwolker, Senin (30/9/2024). Mereka menyerukan penolakan terhadap Perjanjian Roma 1962.
Koordinator unjuk rasa Bonni Salla menyatakan Perjanjian Roma menentukan keberlangsungan hidup Rakyat Papua. Namun, perjanjian tersebut tidak melibatkan perwakilan Orang Asli Papua sebagai subjek politik dan hukum.
“Perjanjian Roma, 62 tahun lalu itu ilegal. Pemerintah Indonesia, Belanda, Amerika Serikat, dan Perserikatan Bangsa Bangsa harus bertanggungjawab atas keputusan sepihak mereka dalam Perjanjian Roma,” kata Salla dalam orasinya.
Perjanjian Roma ditandatangani Indonesia, Belanda, dan Amerika Serikat pada 30 September 1962. Perjanjian itu menyusul Perjanjian New York pada 15 Agustus 1962, yang mengatur pengalihan kekuasaan di Tanah Papua, dari Belanda kepada Indonesia.
Para demonstran berorasi secara bergantian dalam mengecam Perjanjian Roma. Mereka juga membentangkan spanduk berisikan penentangan terhadap Perjanjian Roma, di lokasi unjuk rasa.
Para demonstran pun menuntut Pemerintah Indonesia segera menarik pasukan organik dan nonorganik dari Tanah Papua serta menghentikan perampasan tanah adat. Mereka juga mendesak Perserikatan Bangsa Bangsa memberi hak penentuan nasib sendiri sebagai solusi demokratis bagi Bangsa Papua.
Unjuk rasa dimulai sekitar pukul 08:30 Waktu Papua. Aksi tersebut sempat diwarnai ketegangan dengan pihak kepolisian. Personel Polresta Jayapura Kota menghalau massa aksi sehingga mereka terdesak hingga ke jalan menuju gerbang Universitas Cenderawasih (Uncen).
“Kami menilai tindakan aparat keamanan telah membungkam ruang demokrasi bagi orang Papua. Tindakan seperti ini selalu mereka melakukan pada setiap aksi penyampaian pendapat di muka umum,” kata Markus Busub, seorang pengunjuk rasa, yang juga Sekretaris Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Uncen. (*)