Jayapura, Jubi – Sepanjang tahun 2023, sebanyak 3.869 warga sipil mengungsi, dampak dari konflik bersenjata di berbagai tempat di Tanah Papua. Sebanyak 2.724 pengungsi di Kabupaten Puncak Papua, Provinsi Papua Tengah. Di Provinsi Papua Pengunungan, Kabupaten Pegunungan Bintang terdapat 91 pengungsi dan Kabupaten Yahukimo 554 pengungsi. Kabupaten Fakfak, Provinsi Papua Barat, sekitar 500 pengungsi.
Sementara itu sebelumnya, sebanyak 76.228 warga sipil telah mengungsi. Pengungsian itu disebanbkan oleh konflik bersenjata dan dropping pasukan TNI/Polri di beberapa daerah konflik bersenjata di Papua.
Hal itu disampaikan Direktur LBH Papua, Emanuel Gobay, saat ditemui Jubi di kantor LBH Papua, Jalan Gerilyawan, Kota Jayapura, Provinsi Papua pada Rabu (20/12/2023).
Gobay mengatakan ribuan pengungsi dari berbagai daerah di Tanah Papua itu tidak mendapat perhatian dari pemerintah provinsi maupun kabupaten, termasuk perhatian dari Palang Merah Indonesia (PMI).
“Yang paling aneh [para pengungsi] tidak mendapat perhatian serius dari pemerintah dan Palang Merah Indonesia,” katanya.
Lebih lanjut Gobay mengatakan LBH Papua sejak 2018 telah mendesak PMI untuk turun menangani pengungsi di wilayah konflik bersenjata di Tanah Papua. Namun sampai saat ini belum ada respons dari PMI, baik dalam bentuk pernyataan maupun turun langsung ke tempat-tempat konflik bersenjata untuk menangani pengungsi.
Sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2018 tentang Kepalangmerahan dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 7 Tahun 2019 tentang Pelaksana Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2018 penanganan pengungsi menjadi tugas dan tanggung jawab PMI.
“Saya sendiri bingung, apa alasannya mereka [Palang Merah Indonesia] tidak turun, padahal itu menjadi tanggung jawab mereka sesuai undang-undang,” katanya.
Gobay mengatakan PMI hanya turun sekali untuk menangani pengungsi Nduga di Wamena, namun ditolak oleh para pengungsi karena PMI datang bersama Menteri Sosial. Hal itu terjadi pada 2020. Sementara itu, pengungsian yang terjadi di beberapa tempat lainnya, PMI tidak turun sama sekali untuk menangani pengungsi.
“Palang Merah Indonesia ini dibentuk oleh pemerintah tapi mereka juga tunduk pada Konvensi Jenewa. Saya harap agar ada perhatian dari Palang Merah Internasional untuk mempertanyakan kenapa Palang Merah Indonesia tidak menangani kondisi pengungsi internal di Papua,” katanya.
Gobay juga mengatakan selain PMI, pemerintah juga memiliki tugas dan tanggung jawab untuk menangani pengungsi. Sayangnya, pemerintah tidak memberikan perlindungan dan penanganan pengungsi secara tuntas.
“Karena, dia [pemerintah] akan lakukan [penanganan] saat sedang panas saja tapi setelah sudah tidak terekspos oleh media dan eskalasinya menurun, itu sudah tidak tangani lagi,” katanya.
Menurutnya, pemerintah seharusnya menjamin pelaksanaan kepalangmerahan dengan cara menemukan keberadaan para pengungsi, menampung para pengungsi, dan memberikan perlindungan serta pemenuhan hak-hak para pengungsi, seperti hak hidup, hak atas pangan, hak atas pendidikan, hak atas Kesehatan. Namun hal itu tidak dilakukan pemerintah.
“Bukti konkret itu yang dialami oleh pengungsi Nduga dari 2018 akhir sampai saat ini [mereka masih di Wamena]. Tidak jelas, anak-anak itu sekolah atau tidak,” katanya.
Menurutnya hal itu membuktikan pemerintah tidak menjalankan pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2019 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2018 tentang Kepalangmerahan.
“Saya minta karena pemerintah tidak melakukan apa-apa [terhadap para pengungsi]. [Pemerintah] lakukan pun hanya pada saat-saat tentu, sementara dalam banyak waktu pengungsi menderita. Bahkan yang memilukan itu, para pengungsi di tempat pengungsian makanannya habis dan ada ibu-ibu yang kembali mau ambil makanannya di kebun mereka tapi mendapatkan kekerasan seksual hingga pembunuhan di Kabupaten Yahukimo,” katanya.
Menurutnya, hal itu sebagai fakta miris yang membuktikan pengabaian pemerintah terhadap pengungsi dengan yang tidak memberikan pemenuhan hak untuk hidup, hak atas pangan, hak atas tempat tinggal, hak atas kesehatan.
Gobay minta Pemerintah Provinsi Papua Barat, Papua Pegunungan, dan Papua Tengah untuk membentuk tim khusus yang bertugas untuk memberikan perlindungan dan pemenuhan HAM bagi pengungsi sebagai bentuk implementasi dari sesuai pasal 28 I ayat 4 UUD 1945 yang menegaskan tugas negara melalui pemerintah adalah memberikan perlindungan, penghormatan, pemajuan, dan penegakan HAM.
Gobay juga mengatakan pendekatan keamanan yang terus dilakukan pemerintah Indonesia yang terus mengusik nilai kemanusiaan dan terus menambah deretan pelanggaran HAM yang terus terjadi di Tanah Papua.
“Saya pikir ini akan mencoreng nama baik Indonesia sebagai negara hukum di panggung internasional. Tidak salah kalau PBB maupun negara-negara lain memberikan catatan buram bagi negara Indonesia,” katanya. (*)