Jayapura, Jubi – Direktur Lembaga Bantuan Hukum atau LBH Papua, Emanuel Gobay menyatakan pihaknya akan bersurat dan melakukan audiensi dengan Pengadilan Tinggi Jayapura dan Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Papua untuk mendorong kasus pembunuhan dan mutilasi empat warga Nduga di Kabupaten Mimika diadili di Pengadilan Negeri Kota Timika. Hal itu dinyatakan Gobay di Kota Jayapura, Jumat (14/10/2022).
Gobay menjelaskan pihaknya ingin meminta bantuan Pengadilan Tinggi Jayapura dan Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM (Kanwil Kemenkumham) Papua membantu mendesak Mahkamah Agung untuk mengeluarkan surat keputusan agar kasus pembunuhan dan mutilasi di Mimika itu diadili di Pengadilan Negeri Kota Timika.
“Kami akan bersurat serta audiensi dengan Ketua Pengadilan Tinggi serta Kanwil Kemenkumham Papua dan pihak-pihak lain yang bisa dimintai bantuannya untuk mendesak Mahkama Agung mengambil alih, agar kasus mutilasi di Mimika diadili Pengadilan Negeri Kota Timika,” kata Gobay.
Pembunuhan dan mutilasi empat warga sipil asal Kabupaten Nduga terjadi di Satuan Pemukiman 1, Distrik Mimika Baru, Kabupaten Mimika pada 22 Agustus 2022 lalu. Keempat korban itu adalah Arnold Lokbere, Irian Nirigi, Lemaniel Nirigi, dan Atis Tini.
Polisi Militer Komando Daerah Militer XVII/Cenderawasih telah menetapkan enam prajurit Brigade Infanteri Raider 20/Ima Jaya Keramo sebagai tersangka kasus itu, yaitu Mayor Hf, Kapten Dk, Praka Pr, Pratu Ras, Pratu Pc, dan Pratu R. Sementara penyidikan Kepolisian Daerah (Polda) Papua telah menetapkan empat warga sipil sebagai tersangka kasus yang sama, yaitu APL alias Jeck, DU, R, dan Roy alias RMH.
Hingga Rabu (12/10/2022) pekan ini, Oditurat Militer IV-20 Jayapura belum menerima pelimpahan berkas perkara para prajurit Brigade Infanteri Raider 20/Ima Jaya Keramo yang menjadi tersangka kasus mutilasi Mimika. Akan tetapi, Kepala Oditurat Militer IV-20 Jayapura, Kolonel Yunus Ginting membenarkan ada berkas perkara tersangka mutilasi Mimika yang dilimpahkan kepada Oditurat Militer Tinggi IV di Makassar, Sulawesi Selatan, karena prajurit TNI berpangkat Mayor hanya bisa diadili di Pengadilan Militer Tinggi.
Gobay menyatakan pihaknya berharap Mahkamah Agung segera memerintahkan Pengadilan Militer dan Oditur Militer menghentikan proses pelimpahan perkara enam prajurit TNI ke Pengadilan Militer. Gobay menyatakan seharusnya berkas perkara keenam prajurit yang menjadi tersangka kasus mutilasi Mimika itu dilimpahkan kepada penyidik kepolisian, dan selanjutnya diadili di Pengadilan Negeri Kota Timika.
Menurut Gobay, kasus pembunuhan dan mutilasi di Mimika merupakan peristiwa luar biasa yang melibatkan prajurit TNI dan warga sipil. Ia menilai penting untuk mengadili para prajurit TNI yang menjadi tersangka kasus itu di Pengadilan Negeri Kota Mimika.
“Dengan begitu, kita mendapatkan fakta Negara mau hadir di tengah praktik kekerasan militer terhadap masyarakat sipil yang sudah terjadi berulang kali. Saya pikir, dengan [mengadili kasus itu di Pengadilan Negeri Kota Timika, [itu] menunjukan adanya Negara yang hadir untuk memberikan hak atas keadilan bagi masyarakat sipil yang menjadi korban,” ujarnya.
Gobay menyatakan kekerasan TNI terhadap warga sipil di Papua terus berulang-ulang. Menurut Gobay kemauan pemerintah menggelar pengadilan koneksitas di Pengadilan Negeri Kota Timika menjadi ajang pembuktian penegakan hukum dan kemauan pemerintah memberikan keadilan bagi keluarga korban dan warga sipil di Papua.
“Saya pikir itu sangat, karena kami melihat kekerasan yang dilakukan TNI di Papua itu sudah banyak. Yang paling terbaru, setelah kasus mutilasi di Mimika, kita lihat sendiri warga di Kabupaten Mappi dianiayai hingga meninggal dunia, kemudian dibayar dengan uang untuk menutup perkara. Itu kan praktik impunitas oleh institusi militer. Kalau dibiarkan, tentu akan sangat banyak perkara tindakan kekerasan militer terhadap masyarakat sipil,” kata Gobay mengingatkan.
Gobay menyatakan sudah ada sejumlah kasus prajurit TNI diadili melalui pengadilan koneksitas, seperti kasus korupsi misalnya. Menurut Gobay, itu bisa menjadi yurisprudensi yang digunakan oleh Mahkamah Agung untuk mengeluarkan keputusan agar proses hukum kasus mutilasi Mimika dilakukan di Pengadilan Negeri Kota Timika.
“Ke depan, apabila ada tindakan kekerasan TNI bersama masyarakat sipil, kita bisa proses menggunakan mekanisme pengadilan koneksitas. Nah, kita minta dengan tegas kepada Mahkamah Agung RI segera mengeluarkan keputusan peradilan koneksitas dalam kasus mutilasi di Mimika,” ujarnya. (*)