Jayapura, Jubi – Direktur Lembaga Bantuan Hukum atau LBH Papua, Emanuel Gobay, mengatakan ada dugaan kejahatan kemanusiaan terjadi di Tanah Papua. Hal itu terlihat melalui adanya pengusiran paksa atau pemindahan penduduk secara paksa di beberapa daerah konflik.
Hal itu disampaikan Gobay saat ditemui Jubi di Kantor LBH Papua, Jalan Gerilyawan, Abepura, Kota Jayapura pada Rabu (20/12/2023).
Gobay mengatakan pengiriman pasukan militer dan konflik bersenjata antara Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) dan TNI/Polri telah memberikan dampak langsung kepada masyarakat sipil yang berada di daerah konflik seperti di Kabupaten Nduga, Intan Jaya, Maybrat, Pegunungan Bintang, Yahukimo, dan Kabupaten Puncak Papua.
“Pendropan pasukan dan konflik itu berdampak langsung kepada masyarakat sipil yang kemudian mengganggu psikologis mereka. Di situlah fakta terjadi kekerasan jiwa dan raga mereka,” katanya.
Gobay mengatakan pengiriman pasukan yang dilakukan pemerintah Indonesia harus ada rekomendasi DPR RI. Lalu berdasarkan rekomendasi tersebut Presiden mengeluarkan keputusan presiden untuk menentukan dimana daerah operasi militer dan batas waktu operasi militer.
Hal itu menurutnya sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indinesia, pasal 17 hingga pasal 21. Sayangnya, tidak mekanisme itu ada dalam pengiriman pasukan yang selama ini dilakukan sehingga pengusiran paksa atau pemindahan penduduk secara paksa itu terjadi.
“Ketika pasukan yang diturunkan dengan dasar hukum yang tidak jelas atau operasi yang ilegal ini dilakukan, masyarakat mengungsi. Itu kan pemindahan penduduk secara paksa,” katanya.
Gobay mengatakan atas dasar itu ada dugaan kejahatan terhadap kemanusiaan. Hal itu terlihat jelas sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM pasal 9 huruf (d) dan (e) yang memberikan pengertian dan unsur-unsurnya.
Gobay mengatakan kejahatan kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematis. Yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil berupa pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa atau perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar asas ketentuan hukum internasional.
“Unsur-unsurnya [kejahatan kemanusiaan] terpenuhi. Akan lebih jelas terpenuhi ketika kita lihat definisi dari pengungsi internal itu sendiri yang diakui dengan tegas dalam hukum internasional,” katanya.
Gobay mengatakan pengungsi internal adalah orang-orang atau kelompok orang yang telah dipaksa atau terpaksa melarikan diri atau meninggalkan rumah mereka atau tempat mereka dahulu yang mereka tinggal terutama akibat dari atau menghindari diri dari dampak-dampak konflik bersenjata atau situasi rawan yang ditandai oleh maraknya tindakan kekerasan secara umum, pelanggaran-pelanggaran Hak Asasi Manusia, bencana-bencana akibat ulah manusia, dan tidak melintasi perbatasan negara yang diakui secara internasional.
“Unsur-unsurnya masuk sesuai jika dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Peradilan HAM huruf (d) soal kejahatan kemanusiaan lalu. Pertanyaannya, pemantauan yang dilakukan oleh Komnas HAM Republik Indonesia seperti apa,” katanya.
Gobay juga mengatakan meskipun dalam unsur-unsur kejahatan kemanusiaan sudah terpenuhi sehingga terindikasi adanya kejahatan kemanusiaan namun dia mengatakan belum melihat kinerja Komnas HAM Republik Indonesia dalam memberikan saran atau desakan kepada pemerintah atas pendekatan keamanan yang terus dilakukan di Papua yang menimbulkan konflik sehingga menimbulkan gelombang pengungsian.
Gobay juga mengatakan anak-anak yang mengungsi di beberapa daerah konflik itu pun tidak diberikan perlindungan khusus oleh Komnas Perlindungan Anak. Sementara itu, dalam konvensi internasional tentang hak-hak anak yang juga sudah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Konvensi tentang Hak-Hak Anak menegasan bahwa pemerintah bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan dan pemenuhan hak-hak anak di wilayah konflik bersenjata.
Selain itu, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak juga mewajibkan pemerintah untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak-anak di wilayah konflik. Sayangnya, tidak ada perlindungan khusus yang diberikan.
“Komnas Perlindungan Anak juga tidak turun ke sana. Jangankan turun langsung, memberikan pernyataan sekalipun tidak ada,” katanya.
Gobay juga mengatakan mayoritas pengungsi telah mengalami kekerasan psikis termasuk anak-anak yang tidak mendapatkan perlindungan khusus.
Sepanjang tahun 2023, sebanyak 3.869 warga sipil mengungsi, dampak dari konflik bersenjata di berbagai tempat di Tanah Papua. Sebanyak 2.724 pengungsi di Kabupaten Puncak Papua, Provinsi Papua Tengah. Di Provinsi Papua Pengunungan, Kabupaten Pegunungan Bintang terdapat 91 pengungsi dan Kabupaten Yahukimo 554 pengungsi. Kabupaten Fakfak, Provinsi Papua Barat, sekitar 500 pengungsi. (*)