Enarotali, Jubi – Kejatuhan Orde Baru kembali menggelorakan perjuangan kemerdekaan rakyat West Papua,
terlebih pada masa kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Meskipun Gus Dur lebih halus dalam hal proses integrasi yang sudahย cacat,ย puluhan tahun penindasan dan kekerasan oleh militer Indonesia telah terlanjur membekas dalam ingatan rakyat West Papua.
Hal itu ditandai dengan tuntutan kemerdekaan yang tetap lantang. Salah satu upaya itu dilakukan dengan mengadakan Kongres Nasional II Rakyat Papua yang menetapkan Theys Eluay sebagai Presidium Dewan Papua yang kemudian dibunuh oleh Tim Mawar, Komando Pasukan Khusus (Kopassus) di bawah pimpinan Hartomo.ย Pemerintah Indonesia di bawah presiden Megawati lantasย mengesahkan Undang-Undang Otonomi Khusus (UU Otsus). UU Otsus menjanjikan kedaulatan bagi rakyat West Papua yang termajinalisasi, seperti mau mengobati luka lama akibat penindasan, dan mengakomodasi kehadiran partai politik lokal.
Namun nyatanya janji tersebut langsung terbantahkanย dengan adanya pembunuhan Theys Eluay. Kejadian itu membayangi UU Otsus dan menjadi peringatan akan berlanjutnya kekuasaan dan impunitas militer Indonesia.
Hal itu dikatakan juru bicara Aliansi Mahasiswa Papuaย komite Kota Jember, Vilex Kogoya. Katanya,ย selama 20 tahun Otsus diterapkan di tanah Papua tanpa memperhatikan mekanisme demokrasi yang sejati.
“Lembaga-lembaga pemerintahan lokal menjadi sasaran campur tangan dan pengawasan pemerintah pusat demi menyingkirkan kandidat-kandidat yang pro kemerdekaan. Implementasinya pun lebih terfokus pada proyek-proyek pembangunan. Kendati UU tersebut mengklaim hendak mengangkat derajat orang West Papua yang termarjinalisasi melalui proyek-proyek pembangunan, faktanya dana proyek-proyek itu lebih sering diselewengkan,” kata Vilex Kogoya kepada Jubi melalui keterangannya, Selasa, (2/12/2022).
Anggaran untuk infrastruktur dan dana alokasi umum (DAU) jumlahnya dua persen dari APBN.ย Pada saat yang sama aparat keamanan meraup banyak untung,ย dari eksploitasi sumber daya alam (SDA) Papua yang melimpah dengan dalih operasi kontra pemberontakan dan transmigrasi. Hal ini menyebabkan kasus-kasus pembungkaman kebebasan berekspresi secara damai terus berlanjut.
“Larangan pengibaran bendera Bintang Kejora tetap diberlakukan, dan tidak ketinggalan, tetap terjadi pembunuhan di luar hukum oleh TNI dan Polri,” ucapnya.
Oleh sebab itu pada 2020 lanjut dia, organisasi-organisasi masyarakat sipil dan aktivis politik mengorganisasi penolakan atas evaluasi UU Otsus dan perpanjangannya. Pada Juli 2020, terbentuklah Petisi Rakyat Papua (PRP) yang awalnya didukung oleh 16 kelompok. Mei 2021, PRP menyatakan telah menerima lebih dari 700.000 tanda tangan penolakan perpanjangan Otsus.
“PRP membantah klaim Jakarta yang mengatakan Otsus berhasil menyejahterakan dan mengikutsertakan orang asli West Papua dalam memerintah wilayah mereka. PRP juga menunjukkan keberatan atas meningkatnya militerisasi di West Papua dan menuntut Pemerintah Indonesia segera berhenti mereduksi persoalan-persoalan pokok rakyat West Papua ke dalam pembahasan dana Otsus,” ujarnya.
Ada kelompok yang keberatan atas disingkirkannya rakyat West Papua dari pembahasan Otsus. Evaluasi UU Otsus, misalnya, harus melalui Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP). Pemerintah mengklaim lembaga-lembaga itu sudah representatif, tapi sebagian kalangan berpendapat bahwa kelompok-kelompok prokemerdekaan tidak dilibatkan.
Empat hari kemudian, protes yang sama berlangsung di Jayapura. Demonstrasi ratusan mahasiswa dibubarkan secara paksa oleh aparat yang personelnya jauh lebih banyak dari massa aksi.ย Aparat melepaskan tembakan ke arah halaman universitas. Di sebuah protes serupa di Jayapura beberapa bulan berikutnya, seorang massa aksi mahasiswa bernama Matias Suuh tertembak dan tiga belas mahasiswa lainnya ditangkap. April 2021, sebuah aksi protes besar rencananya akan digelar di Deiyai, wilayah Pegunungan Tengah. Polisi dan tentara, yang jumlahnya lebih banyak dari massa aksi, mencegah aksi itu digelar.
“Aparat keamanan berdalih khawatir akan terjadi pertumpahan darah jika aksi tetap berlangsung. Agustus 2019, enam orang tewas tertembak di Deiyai saat aksi Gerakan West Papua Melawan,” ujarnya.
Keprihatinan atas tindakan keras terhadap penyampaian pendapat di muka umum, yang disuarakan dalam surat bersama Pelapor Khusus PBB, ditanggapi Pemerintah Indonesia dengan mengatakan bahwa tindakan keras terhadap demonstrasi tolak Otsus dilakukan demi menghindari penyebaran Covid-19. Namun, Pemerintah juga mengamini tindakan itu dilakukan karena ada unsur โseparatisme”.
“Sejak lama, militer Indonesia terlibat dalam kegiatan ekonomi ilegal di West Papua, termasuk di usaha penebangan kayu dan pengamanan perusahaan-perusahaan pertambangan dan perkebunan, yang juga disertai penggusuran orang-orang West Papua dari tanahnya,” kata dia.
Ia menegaskan, militer juga merupakan penerima alokasi dana Otsus dalam jumlah yang besar, dua per persen dari anggaran nasional Indonesia, serta dana pembangunan, dan dana infrastruktur. Bupati-bupati terpilih memiliki anggaran yang bisa diakses militer untuk melakukan operasi militer melawan dugaan ancaman pemberontak di West Papua.
“Kendati dengan biaya yang besar, operasi-operasi ini kadang dilakukan secara tidak efisien dan tidak efektif. Hal ini menimbulkan pertanyaan, apakah operasi-operasi militer melawan pemberontakan tersebut sebenarnya untuk memenuhi tujuan yang kerap pemerintah nyatakan atau tidak lebih dari sumber pendapatan lain bagi militer? Belum lagi tambah dengan mutilasi 4 orang atas nama Arnold Lokbere, Irian Nirigi, Lemanion Nirigi dan Atis alias Jenius Tini yang jelas-jelas dlakukan oleh militer
Indonesia diatas tanah West Papua,” ungkapnya.
Kordinator lapangan aksi AMP komite Kota Jember, Matias Yatipai mengatakan, Presiden Jokowi mengizinkan militer memperluas struktur teritorialnya dengan membangun dua komando daerah militer (kodam) baru, salah satunya di Provinsi Papua Barat. Pihak militer mengklaim hal ini diperlukan dalam rangka melawan gerakan perlawanan Papua, Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB).
Namun, kata dia, TPNPB tidak hadir dalam jumlah yang signifikan di Provinsi Papua Barat. Tampaknya militer tengah berusaha menjustifikasi penambahan struktur komando teritorial yang bisa membuat mereka terus melanggengkan kepentingan bisnisnya. Jokowi juga mengizinkan militer melanjutkan rencana pembangunan Jalan Raya TransPapua.
“Jokowi dikabarkan meyakini proyek itu perlu diselesaikan, setelah melakukan kunjungan tahun 2015 dan merasa kesulitan mengakses Nduga, kabupaten yang baru dibentuk tahun 2008 dan salah satu daerah paling tertinggal di West Papua.ย Kementerian Pertahanan menyediakan dana APBN untuk proyek ini. Korps Zeni Angkatan Darat (Pusziad atau Zeni) telah mengerjakan 10 persen sisa pembangunan jalan raya sepanjang 4.320 km tersebut,” ucapnya.
Menurut dia, beberapa orang mengakui jalan ini bisa mengurangi biaya transportasi ke Pegunungan Tengah.ย Tapi jalan itu juga telah memfasilitasi kehadiran militer dalam jumlah banyak di Pegunungan Tengah dan membawa pendatang non-Papua yang
mendominasi perekonomian di kota-kota kecil seperti Wamena.
Jalan-jalan ini selanjutnya memungkinkan militer memberlakukan pembatasan terhadap pergerakan warga sipil dengan mendirikan pos-pos pemeriksaan militer.
Penahanan oleh aparat keamanan, yang dalam prosesnya sering kali terdapat penyiksaan, merupakan strategi untuk memperkuat kekuasaan militer atas wilayah-wilayah yang beberapa di antaranya lahir melalui pemekaran. Di daerah seperti Kabupaten Nduga, aparat keamanan adalah hal paling menonjol dari negara Indonesia, terlebih lagi koordinasi instansi pemerintah sipil tidak memadai.
“Keberadaan militer dan polisi yang mencolok telah menciptakan ketakutan di kalangan masyarakat sipil. Tidak ada cara yang sederhana untuk mengukur efek pendudukan militer. Insiden kekerasan, termasuk penyiksaan, pelecehan dan intimidasi serta pelanggaran lain. Misalnya, tidak dapat dipertanggungjawabkan hanya dengan mengandalkan statistik angka kematian: kematian tidak selalu dicatat karena akses ke Pegunungan Tengah sangat sulit dan sering kali tidak memungkinkan atau tidak diizinkan tanpa didampingi aparat keamanan. Para menteri pemerintah pun secara terbuka menyangkal fakta adanya kematian warga sipil yang disebabkan operasi aparat keamanan di Pegunungan Tengah,” ujarnya.
Militerisasi di Papua lanjut dia, sudah pada level yang teramat memprihatinkan dan telah terbukti gagal menghentikan bahkan memperburuk eskalasi kekerasan di tanah Papua. Bahkan hal ini juga sudah disadari, salah satunya, oleh Panglima Komando Daerah Militer Cenderawasih Mayor Jenderal Ignatius Yogo Triyono.
Dikutip dari Majalah Tempo beberapa waktu lalu, ia menyatakan mendukung pendekatan dialog untuk
mengatasi konflik di Papua dan melakukan kontak tembak, tapi dengan syarat dialog itu tetap dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
“Serangkaian penjelasan di atas dapat menyimpulkan,ย akar permasalahan yang terjadi di West Papua adalah cacatnya sejarah integrasi. Kondisi ini kemudian membuahkan praktek militerisasi yang berimbas pada maraknya pelanggaran HAM (pembunuhan di luar hukum, penangkapan, penyiksaan, pembungkaman kebebasan berpendapat), penyingkiran Orang Asli Papua (OAP), dan kerusakan lingkungan. Karenanya diperlukan sebuah mekanisme penyelesaian yang damai dan demokratis, yakni hak menentukan nasib sendiri. Tentu dengan tidak mengesampingkan demiliterisasi di Papua terlebih dahulu,” (*)