Jayapura, Jubi – Legislator Papua, Alfred Anouw mengatakan, sikap polisi republik Indonesia menghadang mahasiswa Nduga sampaikan aspirasi ke kantor Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP), adalah bentuk pembungkaman ruang demokrasi.
“Kami kesal kepada pihak kepolisian yang terus membungkam ruang demokrasi, khususnya aspirasi masyarakat dan mahasiswa yang mau menyampaikan pelanggaran HAM berat, pembunuhan dan mutilasi warga Nduga di kabupaten Mimika ke kantor DPRP,”katanya kepada Jubi melalui sambungan selulernya Selasa, (4/10/2022).
Anouw mengatakan, mahasiswa Nduga mereka hendak menyampaikan aspirasi masyarakat atau keluarga korban di Timika langsung ke Kantor DPRP. Tidak mungkin keluarga korban datang menyampaikan aspirasi langsung. Kalau pun itu dilakukan, butuh biaya dan waktu panjang.
“Saya harap polisi taat pada undang-undang.Tugas polisi hanya sekadar mengawal massa aksi ke kantor DPRP bukan menghalangi, ,” katanya.
Apabila polisi terus melarang aksi mahasiswa. Terus fungsi DPRP sebagai wakil rakyat utusan daerah itu fungsinya apa.”Kami selalu siap menerima aspirasi masyarakat. Kami mau sampaikan apa kepada masyarakat yang mengutus kami di DPRP ini,” katanya.
Kalau kemudian polisi melarang aksi seperti itu, menurutnya akan memperburuk kinerja polisi dalam konteks berdemokrasi, pihaknya minta agar perilaku seperti itu harus dievaluasi.
Penanggung jawab aksi, Warnus Tabuni menyatakan itu merupakan aksi damai dan kemanusiaan, menuntut keadilan bagi keluarga korban.
“Aksi hari ini kami damai bukan anarkis. Negara harus bertanggung jawab,” ujarnya.
Pihaknya meminta enam prajurit Brigade Infanteri Raider 20/Ima Jaya Keramo harus segera dihukum dan dipecat. Pihaknya meminta enam prajurit harus menjalani persidangan di Pengadilan Kota Mimika.
“Tuntutan kami jelas enam prajurit tersangka mutilasi segera diproses hukum dan dipecat, (mereka) harus disidangkan di peradilan umum bukan di peradilan militer, di mimika” kata Tabuni kepada Jubi.(*)