Jayapura, Jubi – Kepala Dinas Kesehatan Kota Jayapura Ni Nyoman Sri Antari mengatakan kasus HIV di Kota Jayapura sangat serius. Sebab tahun ini Kota Jayapura mencapai peringkat tertinggi kasus HIV di Tanah Papua.
Antari mengatakan hal itu saat menjadi pembicara utama dan membuka pertemuan pemangku kepentingan terkait HIV di tingkat Kota Jayapura dan Kabupaten Jayapura yang diadakan Yayasan Pelangi Maluku (YPM) di Hotel Horison, Entrop, Kota Jayapura, Papua pada Senin (22/1/2024).
Ia mengatakan HIV/AIDS termasuk dalam Standar Pelayanan Minimal atau SPM dan merupakan jenis dan mutu pelayanan dasar yang berhak diperoleh setiap warga secara minimal.
Sedangkan pelayanan dasar merupakan bagian dari pelaksanaan urusan wajib pemerintah daerah yang diatur dalam Permendagri 59 tahun 2021.
“Jadi setiap masyarakat di Kota Jayapura berhak menerima pelayanan insentif dan berhak tahu status HIV/AIDS-nya,” ujarnya.
Antari menceritakan kendala umum yang dialami stakeholder yang menangani HIV/AIDS di lapangan. Di antaranya bagaimana memberikan pemahaman pentingnya memeriksa diri terkait HIV/AIDS dan Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) masih sering mengalami diskriminasi.
“Pola pikir yang sangat tabu mengakibatkan ODHA sering dikucilkan, padahal mestinya setiap orang harus memahami terlebih dahulu bagaimana cara penularan HIV /AIDS sebelum berucap,” katanya.
Antari menjelaskan tahun ini Standar Pelayanan Minimal atau SPM Kota Jayapura hanya mencapai 66 persen. Padahal SPM itu adalah hak setiap warga negara. Artinya, semua warga negara berhak mendapatkan pelayanan itu, seperti pemeriksaan HIV/AIDS.
Tapi kenyataannya, tambahnya, warga negara menolak pelayanan itu dan itu berdasarkan hitungan per kelurahan dan kampung.
“Saya selama bekerja menangani pasien HIV/AIDS juga rutin memeriksakan diri, karena saya bersentuhan langsung dengan pasien,” ujarnya.
Antari juga mengajak setiap stakeholder yang hadir menjadi peserta pada acara itu untuk meningkatkan sinergi saling berkolaborasi dalam program penanggulangan HIV.
“Secara umum kita sudah bicara mengenai HIV/AIDS bahwa program kami ini adalah SPM. SPM kami yang tercapai tahun ini hanya 66 persen, padahal itu hak setiap warga negara,” katanya menekankan. “Jadi secara umum kami mohon didukung,” katanya.
Antari mengatakan soal kesehatan tidak memandang siapapun pasiennya, semua pasti dilayani.
Dinas Kesehatan, tambahnya, cuma ingin tahu berapa warga yang sudah tes PCR dan berapa yang belum, berapa yang ditangani.
“Hanya itu, simpel saja sebenarnya, tapi kadang ada yang meminta data berapa sih LSL-nya [Lelaki Suka Lelaki], berapa sih transgender, kalau kesehatan sebenarnya tidak memandang itu, yang penting pelayanan kesehatan dan pengobatanya,” ujarnya.
Cuma, lanjutnya, mungkin dari tingkat tertentu membutuhkan data yang lebih detail untuk bagaimana proses penanganan di lapangan.
“Stigma dan diskriminasi tidak membatasi ruang gerak kami [Dinas Kesehatan] dalam menangani HIV/AIDS, mau siapapun dia, kita tangani,” katanya.
Untuk membuat tidak ada lagi stigma dan diskriminasi, menurut Antari gerakannya harus besar-besaran.
“Pasti tidak ada stigma dan diskriminasi terhadap ODHA dan siapapun jadi berani dan mau untuk memeriksakan dirinya,” ujarnya.
Ia menjelaskan tahun ini Dinas Kesehatan Kota Jayapura menjalankan program turun secara terpadu melalui kegiatan-kegiatan posyandu prima dan senam germas yang dipadukan dengan menawarkan tes PCR. Tujuannya supaya satu kali paket pelayanan ke lapangan dengan pengobatan.
“Kami mohon didukung, baik di sekolah-sekolah maupun di dinas lainnya yang hadir hari ini,” katanya. (*)
Discussion about this post