Jayapura, Jubi – Harapan terhadap masa depan Papua dalam pemerintahan baru hasil Pemilu 2024 dibicarakan dalam diskusi daring bertajuk ‘Harapan Baru Masyarakat Papua Menyambut Prabowo-Gibran, Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia, Menuju Papua Emas 2041 dan Indonesia Emas 2045’ pada Jumat (3/4/2024).
Diskusi yang diadakan Analis Papua Strategis, menampilkan 12 pembicara dari sejumlah wilayah yang tersebar di enam provinsi baru Papua. Para pembicara mengemukakan harapan yang bermacam rupa di atas masalah yang mesti dijawab terkait situasi sumber daya, keamanan, migrasi penduduk dan hak asasi manusia.
“Kita perlu tahu pokok-pokok pemikiran mengenai apa itu Papua Emas 2041. Otsus jilid dua (2021 – 2041) menjadi target kita menuju Papua Emas, ada harapan terselubung disana, agar Otsus jilid dua tidak boleh gagal,” demikian John Manangsang Wally, penulis buku Jayapura Emas 2030, membuka pemaparannya.
Manangsang menilai perlu hubungan secara horizontal dan vertikal antar gubernur, bupati, dan walikota di enam provinsi di Papua. “Tujuannya untuk membangun kebersamaan di tingkat kepemimpinan, lalu bisa menyusun bersama-sama yang namanya, garis-garis besar haluan daerah,” ujarnya.
Dia juga mengatakan para pemimpin harus memahami geopolitik dan geostrategi, potensi sumber daya alam, dan potensi sumber daya manusia.
“Para pemimpin harus memahami persoalan dan apa yang menjadi harapan, harus punya komitmen, konsisten, dan bekerja keras, dan juga mau berkolaborasi untuk mewujudkan Papua emas,” kata Manangsang.
Ancaman migrasi
Sementara Paul Finsen Mayor, mewakili Provinsi Papua Barat dan Barat daya, berpendapat bahwa pendidikan, kesehatan, dan lapangan pekerjaan adalah masalah mendasar di Papua. Ditambah migrasi orang-orang dari luar Papua menyebabkan proporsi jumlah Orang Asli Papua menjadi semakin menurun.
“Bisa kita ambil contoh di Sorong sekarang ini, total Orang Asli Papua itu hanya 15 persen saja, dan orang pendatang itu 85 persen,” ujarnya. Oleh karena itu ia memandang perlu ada pembatasan masuknya orang-orang non Papua ke Papua.
“Kita harus batasi orang dari luar Papua untuk masuk ke Papua, masa di Bali bisa buat kartu penduduk sementara [kenapa kita tidak bisa?],” ujarnya.
Mayor menyoroti hal ini menanggapi visi Papua Emas 2041 yang tertuang dalam Rencana Induk Percepatan Pembangunan Papua (RIPPP) sesuai PP 24/2023. Dokumen tersebut adalah dokumen induk perencanaan pembangunan dalam rangka otonomi khusus provinsi-provinsi yang ada di Tanah Papua.
Dibawah pemerintahan baru Prabowo-Gibran, Mayor menilai akan sulit bagi presiden terpilih itu untuk membangun Papua jika tidak masuk ke pintu yang tepat
“Tidak bisa bangun Papua di atas reruntuhan, Prabowo harus datang ke Papua masuk di pintu yang tepat. [Apalagi] Prabowo diketahui sebagai dugaan kuat aktor pelanggaran HAM berat dan itu tidak bisa ditutupi, kira-kira Prabowo pakai jembatan mana untuk bangun Papua,” ujarnya.
Perwakilan dari Provinsi Papua Tengah, Pdt Diben Elaby menyoroti angka kematian Orang Asli Papua yang terus meningkat di Tanah Papua namun tidak terdokumentasi datanya dalam publikasi Badan Pusat Statistik atau BPS.
Ditengah situasi itu, ditambah dengan migrasi penduduk dari luar yang begitu cepat, Elaby juga memandang kebutuhan untuk memproteksi hak politik Orang Asli Papua sebagai hal yang mendesak.
“Hak politik orang Papua juga harus diberikan, harus diproteksi”, kata Elaby.
Sementara tokoh adat Papua, Ramses Wally, menunjukkan keraguannya terhadap visi Papua Emas 2041 tersebut. “Otsus sejak 2001 sampai 2022 itu tidak menyejahterakan orang Papua di atas tanahnya sendiri, jadi Papua sedang mati pelan-pelan di atas tanah leluhurnya,” kata Wally.
Dia mengemukakan keraguannya yang bersumber pada ketiadaan pelibatan pemimpin adat dalam perencanaan pembangunan.
“Tokoh adat juga harus dilibatkan dalam pengambilan keputusan, karena seorang pemimpin adat sebelum ia tidur dan makan, ia akan bertanya apakah rakyatnya sudah makan apa belum? Dia kelaparan atau tidak? Hal ini akan mengurangi korupsi,” ujarnya.
Dia menuding pemerintah hanya ‘memakai’ anak-anak adat tetapi mengabaikan para pemimpin adatnya. “Dalam kursi pengangkatan setiap provinsi, kabupaten dan kota harus diutamakan pemimpin-pemimpin adat, karena mereka akan berbicara tentang dirinya, wilayahnya, haknya, sehingga masyarakat bisa aman dan tentram,” ujarnya.
Wally mengingatkan doa sulung I.S Kijne untuk Papua bahwa tanah Papua, pada akhirnya, harus dibangun oleh orang-orang Papua sendiri.
Tantangan sumber daya
Tokoh Provinsi Papua Selatan, John Gluba Gebze, berpendapat untuk menuju Papua Emas 2041, mesti dicari keunggulan kompetitif dari setiap provinsi baru di Papua.
“Jadi ada konsep terbalik, Papua itu kan sangat kaya, lalu kita sibuk mencari mana yang salah mengenai pembangunan di Papua. Jadi mari, baik pemerintah pusat dan daerah, kita duduk dan pikir sama-sama. Bagaimana Jakarta berpikir tentang Papua, dan bagaimana Papua berpikir untuk membangun rumah sejahteranya itu,” kata Gebze.
Sementara sebagai satu-satunya perwakilan perempuan yang menjadi narasumber, Eirene M Waromi menyampaikan isu-isu dasar mengenai kesehatan, kelahiran, dan pendidikan itu sangat terkait erat dengan perempuan.
“Berangkat dari empat pilar mimpi Indonesia ke 2045, saya pikir ini kurang lebih 21 tahun untuk kita bisa mencapai Papua Emas dan juga Indonesia Emas, ada tantangan tersendiri mengenai pembangunan sumber daya manusia,” kata Waromi.
Menurutnya untuk menilai sumber daya manusia Papua, butuh data yang terpisah dan terpilah antara Orang Asli Papua dan Non Papua serta laki laki dan perempuan.
“Penguasaan pengetahuan, teknologi, ini kita bicara mengenai sumber daya manusia. Hari ini sebenarnya di Papua secara keseluruhan, kita butuh data terpilah, apakah itu laki-laki atau itu perempuan,” ujarnya.
Waromi meminta agar pembaharuan data terkait sumber daya manusia Papua mesti diprioritaskan. “Sehingga kita bisa tahu sudah berapa banyak orang Papua yang sudah tersebar di berbagai macam lembaga publik, dengan data itu kita bisa tahu berapa orang Papua yang pengangguran, putus sekolah, atau sedang cari pekerjaan.” ujarnya.
Dia juga mengimbau agar ungkapan stigma seperti ‘Papua belum mampu’, ‘orang Papua belum bisa’, agar berhenti diucapkan. “Kepemimpinan nanti ke depan harus ada solusi meningkatkan kapasitas orang Papua, supaya tidak ada lagi keluhan orang Papua sulit mendapatkan pekerjaan. Khususnya perempuan itu punya kapasitas sebagai penolong, jadi kalau perempuan Papua itu maju saya pikir bangsa ini akan maju,” ujarnya.
Turut memaparkan pendapatnya, perwakilan dari PT Freeport Indonesia, Kerry Yarangga, menyoroti kuantitas dan kualitas tenaga kerja asli Papua. Menurutnya sulit bicara soal industri yang cepat, kalau angkatan kerja Papua masih belum siap.
“Ada 600 ribu lebih anak usia sekolah tidak sekolah, yang berikut ada fakta angkatan kerja Orang Papua masih rata-rata dan SD kebawah,” kata Kerry.
Sementara Perwakilan Provinsi Papua Pegunungan, Obaja Deal menyampaikan tantangan keamanan di daerah Papua pegunungan dimana delapan kabupaten dan kota masih terjadi kasus penembakan.
“Sebenarnya yang kami butuhkan itu rumah sakit, sekolah unggulan satu atap, juga universitas, karena Uncen saja tidak cukup. Masih banyak anak-anak Papua yang tidak bisa lanjut kuliah, pembangunan jalan trans selain Jayapura dan Wamena harus diperhatikan, dan pembangunan harus dimulai dari desa ke kota,” Kata Deal.
Ia juga menambahkan masih ada persoalan tapal batas tanah antara Provinsi Papua induk, tepatnya Distrik Airu di Kabupaten Jayapura, dengan Provinsi Papua Pegunungan, tepatnya di Distrik Benawa di Kabupaten Yalimo. Masalah itu belum juga diselesaikan dan mempengaruhi proses administrasi.
Dari mana memulai?
Harus ada ‘orang ketiga’ untuk memediasi persoalan ini, demikian kata Herie Saksono peneliti senior dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Namun orang ketiga yang dimaksud tidak dirincikan lebih lanjut selain peran pemerintah derah dalam implementasi otsus.
“Ada kerinduan dari saya untuk kita segera menerapkan KOBJS, harapan saya pemimpin yang baru memerintah, bisa melakukan inisiasi untuk bisa menginventarisir semua problematika, termasuk dinamika yang terjadi di Papua,” kata Herie Saksono.
KOBJS yang dimaksud Saksono terdiri dari: K menyangkut kebijakan; O terkait orang; B persoalan aset barang; J menyangkut jasa; dan terakhir S yaitu sistem.
“Bagaimana kita mengintegrasikan keseluruhan yang ada di Papua, terintegrasi dalam datanya, spasialnya, dan terakhir dalam konteks brotherhoodnya [persaudaraan],” ujarnya.
Setiap wilayah ada potensi sumber daya alamnya dan itu harus dihitung, katanya. “Dulu saya pernah menginisiasi kenapa tidak disediakan dana abadi khusus untuk orang Papua? Dana abadi yang berbeda dengan dana otsus, dana abadi ini bisa dikelola oleh masing-masing provinsi dan kabupaten kota,” ujarnya.
Dana abadi yang dimaksud untuk digunakan dalam pelayanan umum antara lain seperti pendidikan, listrik, dan air bersih, lanjutnya.
“Sesungguhnya kalau kita punya data bagus, kita bisa meminta bagaimana Presiden-Wakil Presiden 2024 – 2029 mengaktualisasinya, dan kalau itu di inventarisir kita bisa menghitung berapa banyak hal yang sudah terealisasi dan yang belum,” ujarnya.
Harapan yang berserak
Para peserta diskusi turut memberi tanggapan mereka atas harapan dan masalah yang menunggu di depan pintu pemerintahan baru.
Menurut Pdt Daniel Sukan, indikator pembangunan itu adalah orang Papua yang di daerah terpencil. Ia memohon supaya gereja dilibatkan, karena lingkup pelayanan gereja itu di pedesaan. “Jangan jadikan gereja pemadam kebakaran, [dipanggil] saat masalah keamanan saja,” ujarnya.
Pieter Rumbino dari Unit Penyelenggaraan Pelabuhan di Kabupaten Biak, menyoroti persoalan kelautan Papua dalam ini keamanan laut dan pantai. Ia meminta DPR segera menetapkan Indonesia Sea and Coast Guard sesuai UU Pelayaran.
“Tolong Pak Senator Finsen Mayor bisa menyuarakan sampai ke DPR RI, untuk coba kembalikan marwahnya Kesatuan Penjaga Laut dan Pantai,” kata Pieter.
FX Mote, dari Analisis Papua Strategis juga menyoroti masalah kelautan khususnya soal perikanan.“Harus ada hilirisasi perikanan, harus hidupkan perikanan di beberapa tempat di Papua seperi Papua bagian selatan yaitu Merauke, Sorong juga di Biak,” kata Mote.
Mote mengimbau terbaginya Papua menjadi enam provinsi tidak boleh menghambat kerjasama antar pemerintah provinsinya. “Pemerintahan boleh berbeda tapi kita tetap satu. Jangan karena pemerintah [pusat] memisahkan kita, nanti diambil kesempatan oleh oknum-oknum yang ingin mengacaukan orang Papua,” lanjutnya.
Diluar diskursus yang besar, Bernike Kaiba, dari Papua Selatan mengomentari masih sulitnya akses pendidikan dan lapangan kerja bagi Orang Asli Papua. Ia menceritakan perjuanganya untuk mencari bantuan biaya sekolah bagi anak perempuannya.
“Banyak hal yang menjadi pekerjaan rumah bagi kita orang Papua. Papua itu harus sehat, harus pintar, jangan kasih orang yang tidak sayang orang Papua untuk jalankan birokrasi, cari yang punya hati, biar bisa lihat kita mana-mana Papua punya keluh kesah,” kata Kaiba. (*)
Discussion about this post