Jayapura, Jubi – Komunitas Diskusi Papua yang didukung IKB-PMPJ (Ikatan Keluarga Besar Pelajar Mahasiswa Pegunungan Jayawijaya), IKB-PMPT (Ikatan Keluarga Besar Pelajar dan Mahasiswa/i Pegunungan Tolikara), dan HIPMA-LANI (Himpunan Pelajar dan Mahasiswa Lani) menggelar diskusi online tentang kebijakan pemekaran wilayah otonomi baru, Jumat (3/5/2024).
Diskusi online yang dimoderatori William Walela SHub Int itu menghadirkan Gasper Tabuni SSi MSi sebagai pembicara. Gasper Tabuni yang merupakan akademisi dan aktvis Masyarakat Adat Balim pada Kajian-Kajian Transformasi Kunume Wene (Honai Wene) membahas topik “Teori Alat Negara, Represif dan Ideologis: Analisis Kebijakan Pemekaran Wilayah Otonomi Baru dan Pengaruhnya Terhadap Hak Masyarakat Adat Papua”.
Kepada 31 peserta melalui live zoom yang berasal dari Papua, Sorong, dan Semarang, Gasper Tabuni menjelaskan pandangan filsuf terkenal Louis Althusser tentang alat-alat negara ideologis.
“Ada dua pendekatan negara, yaitu secara represif dan ideologis. Represif adalah pendekatan menggunakan paksaan, penindasan, atau penggunaan kekuatan untuk mengontrol atau memengaruhi perilaku dan tindakan individu atau kelompok,” katanya.
Sedangkan ideologi adalah pendekatan dengan cara ide-ide, nilai, dan kepercayaan yang disebarkan ke masyarakat untuk membentuk pandangan dunia, individu, dan kolektif, serta memengaruhi perilaku sosial tanpa penggunaan kekuatan fisik.
Pemerintah dulu, kata Tabuni, menggunakan sistem yang pertama, yaitu represif. Sistem ini disebut Repressive State Apparatus (RSA) di mana komponen di dalamnya terdiri dari militer, polisi, pengadilan, dan penjara.
Namun sekarang pemerintah mulai mengadopsi sistem Ideological State Apparatus (ISA) yang terdiri dari komponen pendidikan, agama, keluarga, media, dan budaya. Pemerintah sekarang, kata Tabuni, mulai masuk ke dengan sistem ideologi ini dan paling banyak pendekatan melalui agama.
“Orang Papua itu hampir semua kenal dan taat beragama sehingga banyak kegiatan-kegiatan pemerintah masuk melalui ini. Orang Papua mau kuliah ambil jurusan hukum atau ilmu politik tapi diubah untuk ambil teologi,” katanya mencontohkan.
Laki-laki asal Baliem itu juga menyebutkan bahwa pemerintah juga sudah mulai masuk melalui media-media sosial yang ada dan ikut mengontrol aktivitas media-media, terutama di Papua.
“Sekarang banyak disorot, pemerintah turun ke sekolah, ke gereja dan duduk dengan masyarakat, lalu difoto dan disebarluaskan dengan postingan bahwa hal ini baik,” katanya.
Kegiatan seperti itu, kata Tabuni, tidak jadi masalah. Pemerintah atau orang yang punya kedudukan melakukan hal itu. “Namun kalau dengan maksud yang kurang baik buat apa? Dilihat hanya cari nama,” katanya.
Diskusi yang berlangsung sekitar dua jam itu juga melayani pertanyaan dari peserta. Seorang yang kuliah di Semarang, Sony Aso menanyakan kondisi masyarakat asli di Wamena yang sudah mulai tersingkir oleh penduduk transmigrasi yang datang dari Pulau Jawa.
“Penduduk asli di Wamena sudah mulai sedikit, bahkan sudah tersingkirkan, ini bagaimana kita melihat hal ini?” katanya.
Gasper Tabuni menjelaskan kebijakan masuknya transmigran ke Papua sudah dirancang oleh pemerintah di dalam Otonomi Khusus (Otsus).
“Otsus merupakan salah satu cara menghilangkan gejolak di Papua, tapi dalam Otsus juga ada tujuan-tujuan lain yang memberikan keuntungan bagi pemerintah pusat untuk mencari keuntungan,” ujarnya.
Gasper Tabuni mengingatkan bahwa generasi muda Papua saat ini adalah ‘generasi arus balik’. “Generasi yang sudah sadar tentang apa yang terjadi sekarang ini di Tanah Papua sehingga tidak boleh menjadi lemah, tapi harus kuat.” katanya. (*)
Discussion about this post