Jayapura, Jubi – Dalam rangka memperingati Hari Pendidikan Nasional atau Hardiknas 2 Mei, redaksi Jubi atau JubiTV kembali menggelar talkshow mengenai pendidikan dan literasi di Papua, mengenai 2 Mei 1963 di Hollandia Haven, Rabu (3/5/2023) melalui dalam jaringan.
Dalam talkshow kali ini, JubiTV menghadirkan tokoh gereja dan antropolog Papua, Pdt. Dr. Benny Giay, bersama Andi Tagihuma, seorang pegiat literasi di Papua, untuk mengungkap berbagai persoalan dan perkembangan pendidikan dan literasi di Papua selama ini.
Dalam perbincangan yang dimoderatori oleh jurnalis senior Jubi, Dominggus A. Mampioper, dijelaskan kedua pembicara yang hadir menyampaikan jika pencarian literasi tentang Papua sulit didapat oleh kalangan masyarakat.
Hal itu lebih dikarenakan adanya sejumlah buku tentang Papua yang beredar dilarang peredarannya, juga kesulitan atau keterbatasan mendapatkan buku bacaan terutama untuk anak, karena toko-toko buku yang terbatas.
Untuk itu, tokoh gereja dan antropolog Papua, Pdt. Dr. Benny Giay, menekankan di masa ini pentingnya kembali menggaungkan budaya gemar membaca, menulis, dan berhitung kepada anak sejak dini.
“Orang tua mesti mengambil peran sebagai guru pertama, selain guru di sekolah. Kalau tidak ditanam sejak dini, budaya membaca dan menulis ini, mau menunggu siapa,” kata Pendeta Benny Giay.
Ia mencontohkan dalam budaya barat seperti yang sering tertuang atau dihadirkan dalam setiap film, dimana orang tua selalu membacakan dongeng atau bacaan kepada anaknya sebelum tidur.
“Jika menonton televisi kita dimatikan imajinasinya, namun jika cerita dongeng atau cerita rakyat yang disampaikan kita berimajinasi, sehingga bagus dalam membangun kebudayaan,” katanya.
Untuk itu ia berharap ke depan bagaimana hal ini bisa digerakan kembali, dimana peran keluarga menjadi ujung tombak dapat mengambil ini sebagai sesuatu menjanjikan bagi anak berfikir luas ke depan.
“Saya ambil contoh di Nabire ada anak-anak yang sudah kelas 4, 5 SD belum bisa membaca. Dulu tugas ini dijalankan pendeta di kampung, dari sekolah Alkitab kerjanya hanya mengajar membaca, menulis, dan berhitung, sehingga perlu buat sesuatu yang baru ke depan,” kata Pendeta Giay.
Bahkan Pendeta Giay menyebut jika seorang anak lebih tertarik membaca komik atau cerita bergambar semisal cerita rakyat yang tidak terlepas dari kearifan lokal yang ada, sehingga lama kelamaan akan menumbuhkan minat untuk membaca buku bacaan lainya.
“Ini juga menjadi peran penting setiap pemerintah daerah, bagaimana menumbuhkan atau memprogramkan dalam menumbuhkan buku bacaan kearifan lokal di setiap sekolah,” ucapnya.
Sementara itu pegiat literasi Papua, Andi Tagihuma, menyebut jika pendidikan dan literasi di Papua masalahnya ada pada ketersediaan buku bacaan anak di sekolah.
Ia pun mencontohkan, jika di sekitar tahun 80-an terjadi pengiriman buku-buku dari Dinas Pendidikan ke sekolah-sekolah.
“Seperti dulu saya di Kecamatan Bokondini, saat ini Kabupaten Tolikara, banyak buku yang dikirim dari Dinas P dan K di Irian Jaya saat itu. Namun masuk di tahun 1990-an ke sini sudah jarang sekali buku-buku yang dikirim dari Dinas Pendidikan baik itu buku bacaan, dongeng, biografi, kebudayaan, dan lainnya,” kata Andi Tagihuma.
Malahan, katanya, di Papua saat ini orang trend atau lebih memilih menebitkan buku tentang politik, sedangkan mengenai sastra dan kebudayaan sangat minim.
Ditambah lagi, di sekolah-sekolah pendidikan untuk baca tulis yang merupakan pendidikan dasar yaitu matematika dengan bahasa, jika ini terputus maka perkembangan anak juga tidak punya daya berfikir kritis yang bagus.
Untuk itu pentingnya peran pemerintah daerah dalam menerbitkan buku kaitannya dengan muatan lokal bagi setiap sekolah, semisal tentang kebudayaan di suatu daerah tertentu.
“Misalnya di Kabupaten Jayawijaya saya pernah membantu menulis tentang kebudayaan di Jayawijaya, yang digunakan sekolah di seputar di Wamena, yang di dalamnya menjelaskan tentang kebudayaan di Lembah Baliem secara umum, sejarah pertemuan dengan orang luar, tentang bahasa, budaya lokal seperti Honai, cara berpakaian, dalam bahasa ada banyak konteks, baik mengenai filosofi, peribahasa, nilai-nilai tentang alam misalnya penyebutan tumbuhan, hewan bisa diterbitkan oleh Dinas Pendidikan,” katanya.
Di era digitalisasi saat ini memang banyak buku yang dibuat bacaan digitalnya, kata Andi, di Kementerian Pendidikan ada situs untuk akses buku-buku lama soal Papua, misalnya tentang senjata tradisional dan peralatan rumah tangga Irian Jaya, begitu juga mengenai arsitektur Irian Jaya, namun memang terbatas penilitiannya secara terperinci.
Namun setidaknya bisa dikembangkan di dalam situasi saat ini, dengan banyaknya informasi kemudian transportasi ke setiap wilayah sudah sangat mudah sehingga bisa menjadi materi dasar untuk penelitian tingkat lanjut untuk bahan ke sekolah-sekolah.
Di lain sisi, ia menemukan buku tentang Papua, bahasa yang disampaikan konteks pemahaman tentang Papua di beberapa buku keliru, misalnya Raja Ampat itu berada di Merauke.
“Kemudian tentang kehidupan orang Papua ada buku yang sangat rasis di dalamnya. Kita pernah kaji satu buku yang di dalamnya sangat rasis. Jadi sebenarnya dengan banyaknya media yang bersebaran di dunia digital saat ini, harus dipilah satu per satu karena banyak yang keliru atau bias,” ucapnya. (*)