Oleh: Pares L. Wenda
Banyak referensi yang menunjukkan bahwa bangsa Papua bisa mendirikan negara. Misalnya, Sudan membagi Sudan Utara dan Sudan Selatan sebagai sebuah negara merdeka melalui suatu referendum. Bougainville menyatakan merdeka dari Papua Nugini melalui referendum. Negara-negara Eropa Timur yang berada di bawah kekuasaan Uni Soviet telah pecah menjadi beberapa negara. Demikian dengan Timor Timur yang merdeka dari Indonesia dengan nama Timor Leste.
Apa yang terjadi setidaknya mewujudkan pandangan seorang futuris John Naisbitt (1994:1-50) dalam “Global Paradox Megatrends 2000”. John mengatakan bahwa akan bertambah negara-negara di dunia, akibat setiap penduduk dunia memilih merdeka sebagai negara berdaulat.
Dengan memiliki sistem politik, kebudayaan, dan mata uang sendiri yang membedakan bangsa satu dengan bangsa lainnya, menurutnya, negara-negara itu ibarat satu perusahaan yang bisa dikelola dengan mudah, ketimbang suatu bangsa yang besar yang susah untuk diurusi. Kira-kira demikian pandangannya tentang masa depan pembentukan negara-negara di dunia.
John bahkan mencontohkan, sekalipun masyarakat Eropa membentuk satu mata uang (Euro) dan memang sudah terjadi, tetapi tetap mempertahankan identitas mereka satu dengan yang lain.
Akar konflik Papua
Akar konflik Papua dimulai oleh Mohammad Yamin dan Soekarno. Meskipun tujuan mereka baik, sejak awal menunjukkan hal yang tidak baik. Konflik di BPUPKI dilanjutkan konflik terbuka Indonesia-Belanda. Indonesia tidak menerima pembentukan negara Papua pada 1 Desember 1966.
Konflik Indonesia-Belanda selanjutnya melibatkan Amerika Serikat dan PBB. Semua proses hingga penyerahan kekuasaan Papua yang penuh intrik dan konflik ke dalam Indonesia, setidaknya telah diulas dalam berbagai buku, jurnal dan artikel di dalam dan luar negeri.
Banyak referensi tentang konflik Papua. Sayangnya orang Papua tidak pernah dilibatkan dalam pembicaraan mengenai sejarah bangsa Papua. Nasibnya selalu ditentukan oleh bangsa lain.
Indonesia harus mengikuti pandangan I.S. Kijne dan Mohammad Hatta
Pandangan anggota sidang BPUPKI/PPKI yang menyebutkan bahwa kemungkinan Papua akan tetap bergejolak kini terbukti.
’’… Menurut perhitungannya (Mohammad Hatta), pemerintah Indonesia kelak masih belum cukup mapan mendidik rakyat Papua menjadi bangsa yang merdeka. Sehingga bagi Hatta, adalah lebih baik menyerahkan masa depan Papua kepada rakyat Papua sendiri atau biar ditangani saja oleh Jepang.’’
Pandangan, Mohammad Hatta kini terjadi di Papua. Setidaknya, sebelum Mohammad Hatta, rohaniwan I.S. Kijne melalui Doa Sulung bagi bangsa Papua di Wasior, 25 Oktober 1925, mengatakan, ’’Di atas batu ini, saya meletakkan peradaban orang Papua, sekalipun orang memiliki kepandaian tinggi akal budi dan makrifat, tetapi tidak dapat memimpin bangsa ini, tetapi bangsa ini akan bangkit dan memimpin dirinya sendiri.’’
Mohammad Hatta 20 tahun kemudian (1925-1945) menyatakan bahwa bangsa Papua ras Melanesia berhak menentukan nasibnya sendiri. Mohammad Hatta ingin mengatakan tidak ada bangsa lain, termasuk bangsa Indonesia, yang mampu membangun bangsa Papua, kecuali bangsa Papua itu sendiri yang membangun dirinya.
Seakan Tuhan sudah mengatur untuk tidak melibatkan orang Papua dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Sumpah Pemuda terjadi tiga tahun setelah pernyataan doa sulung I.S. Kijne.
Secara alamiah Tuhan memisahkan seluruh keputusan politik bersejarah di masa lalu bangsa Indonesia. Tuhan tidak melibatkan orang Papua asli. Hal ini menandakan dan memperkuat pandangan I.S. Kijne dan Mohammad Hatta.
Dalam perspektif rohani, pandangan Mohammad Yamin dan Soekarno adalah pandangan imperialis dan nafsu kuasa, sedangkan pandangan I.S. Kijne adalah pandangan iman yang jujur dan tidak ada nafsu kekuasaan imperialis tentang masa depan Papua yang bernuansa resolusi konflik.
Pemerintah Indonesia dan bangsa Papua
Kini sudah tidak relevan lagi untuk angkat senjata. Ini bukan masa revolusi meskipun orang Papua masih menganggap saat ini masih masa revolusi untuk kemerdekaan Papua.
Saatnya pandangan Yamin, Soekarno, Hatta, dan I.S. Kijne diuji di meja perundingan. Keempat tokoh ini bukan orang asli Papua, tetapi sama-sama berbicara tentang orang Papua.
Mohammad Yamin dan Soekarno tidak pernah mempunyai kontak langsung dengan orang Papua. Setidaknya sebelum Papua resmi dimasukkan ke dalam wilayah Indonesia. Sebaliknya Mohammad Hatta sebelum Indonesia merdeka pernah hidup dengan orang Papua di penjara Boven Digul, sedangkan I.S. Kijne adalah penginjil asal Belanda. Kijne tidak berpikir sebagai orang Belanda yang menguasai Papua. Namun, ia berbicara atau bernubuat bagi bangsa Papua yang ia layani.
Kini waktunya Indonesia-Papua duduk bersama dengan melibatkan orang asli Papua, yang nasibnya selama ini ditentukan oleh bangsa lain, untuk melakukan perundingan ulang. Perundingan ulang itu harus melibatkan pemilik atau ahli warisnya, untuk menemukan the best way to find conflict resolution, to resolve the conflict between Jakarta and Papua Tentu untuk sama-sama mengakhiri konflik bersenjata di Papua.
Kemungkinan dua solusi. Pertama, solusinya adalah perundingan melalui dialog damai, yang bermartabat, yang saling menguntungkan satu sama lainnya; dan Kedua, menguji kembali resolusi 2054 di Pengadilan Hukum Internasional di Den Haag, Belanda. (*)
Penulis adalah anggota Members at Large Youth Department of Baptist World Alliance mewakili Indonesia dari Papua dan pemerhati masalah sosial-politik Papua