Jayapura, Jubi – Aktivitas penambangan dan ekstraksi kerikil di dataran tinggi Namosi telah memengaruhi sumber makanan bagi kampung-kampung di wilayah tersebut. Hal ini akan membuat tempat tersebut “seperti bom waktu”.
Hal itu dikatakan Kepala Gereja Katolik di Fiji Uskup Agung Peter Loy Chong, dalam sebuah video yang diposting di halaman Facebook Keuskupan Agung Suva,yang dikutip Jubi dari Fijitimes, Senin (16/10/2023).
Dia mengatakan bahwa Dewan Gereja-Gereja Fiji, Dewan Pelayanan Sosial Fiji, Program Pendidikan Pemberdayaan Sosial (SEEP), Konferensi Gereja-Gereja Pasifik dan Caritas Fiji semuanya telah menyuarakan keprihatinan mereka mengenai dampak pertambangan di daerah-daerah ini dan telah menyatakan solidaritas dengan mereka.
“Masyarakat Namosi berbagi dengan kami apa yang mereka lihat dan apa yang terjadi, serta bagaimana perasaan masyarakat akibat dampak negatif pertambangan,” kata Uskup Agung Chong.
Apalagi yang dikatakan ibu-ibu bahwa hewan sungai, ikan, udang, dan belut yang menjadi sumber makanan sudah tiada. Sejak penambangan dimulai, hewan-hewan ini telah berkurang.
“Mereka juga bilang vudi yang bentuknya seperti pisang, buahnya semakin mengecil. Orang-orang tersebut mengatakan bahwa perusahaan pertambangan melakukan pengeboran di bawah tanah sebagai bagian dari eksplorasi mereka dan sejak itu, air panas keluar dari lubang tersebut dan air panas terus mengalir hingga saat ini,” katanya.
“Tentunya kalau air panas mengalir pasti mematikan banyak hal lalu mengalir ke sungai. Perusahaan saat ini, mereka telah meminta agar mereka mencoba menghentikan terjadinya air panas ini, namun mereka belum berhasil melakukannya,” tambahnya.
Ia mengatakan bahwa kerusakan yang paling parah dan paling serius adalah kerusakan yang terjadi pada hubungan sosial antardesa, karena penambangan dan ekstraksi kerikil telah menyebabkan perpecahan antarkampung.
“Perasaan tidak enak ini, ada pengkhianatan, ada kebencian karena pertambangan memberi manfaat bagi sebagian orang, ada pula yang tidak. Ada yang berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, ada pula yang tidak, sehingga terjadi perpecahan besar di masyarakat,” katanya.
Uskup Agung mengatakan organisasi-organisasi tersebut kemudian memfasilitasi “apa yang kami sebut percakapan spiritual” untuk membantu pengambilan keputusan dan penegasan sebelum penandatanganan petisi yang akan diajukan kepada pemerintah untuk menghentikan penambangan.
Ia mengatakan, kini mereka akan bergerak ke Kampung Votua dan Kampung Delakado untuk melakukan proses yang sama. (*)