Freeport McMoran Copper & Gold Inc, hadir di Papua berdasarkan Kontrak Karya Pertama (KK-I), yang ditandatangani oleh Pemerintah Indonesia dan Manajemen Freeport McMoran (MFM), 7 April 1967, berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA), yang ditandatangani oleh Ir Soekarno, Presiden pertama Republik Indonesia ditetapkan pada 10 Januari 1967. Terhitung Freeport berada di Tanah Papua selama 57 tahun atau lebih dari setengah abad.
Kesepakatan tersebut diambil oleh Indonesia dengan Amerika Serikat jauh sebelum Papua menjadi bagian dari NKRI. Perjanjian ini juga tanpa melibatkan pemilik gunung (Amungme) dan orang Papua. Dua tahun kemudian baru dilaksanakan Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) di Jayapura, tepatnya 4 Agustus 1969.
Kesepakatan Indonesia-Amerika ini terjadi jauh sebelum Papua menjadi bagian dari NKRI. Pepera dilaksanakan di Papua berdasarkan New York Agreement, yang ditandatangani oleh Indonesia dan Belanda pada 15 Agustus 1962. Kesepakatan New York Agreement juga tidak melibatkan orang Papua.
Melalui kesepakatan tersebut MFM mulai mengeksplorasi di gunung suci orang Amungme, dengan puncak tertingginya bernama Nemangkawi.
Menurut asal katanya Nemangkawi berasal dari dua kata yaitu dari kata “Nemang” dan “Kawi”. Nemang artinya bahan pembuat anak panah, sedangkan kawi artinya putih, suci, bersih atau kudus. Secara leksikal, Nemangkawi artinya bahan baku pembuat anak panah yang suci, bersih, suci dan sebagainya. Sedangkan Nemangkawi menurut arti gramatikalnya diartikan secara umum sebagai anak panah putih, suci, kudus dan sebagainya.
Karena gunung sucinya diganggu, pada awal eksplorasi FM dilarang oleh suku Amungme dengan menancapkan tonggak kayu di lokasi eksplorasi. Pengalaman Durnell yang memimpin eksplorasi tersebut dibukukan oleh George A. Mealey dalam buku berjudul “Grasberg” halaman 91. Menyelesaikan masalah tersebut dibantu oleh John Currie–penasehat senior yang bertugas di Mimika pantai, dan Mozes Kilangin–petugas Pemerintah Belanda, menemui Tuarek Natkime di Banti, Tembagapura.
Moses Kilangin mengisahkan pertemuan tersebut dalam bukunya berjudul “Mozes Kilangin Urumeki”. Moses menyelesaikan kasus tersebut dengan analogi sederhana seperti mencoba tembakau gulung: sebelum membeli, mencubit sedikit, membungkusnya, dan mencobanya. Jika sesuai, maka rokok tersebut dibeli. Begitu pula dengan eksplorasi di Ertsberg, mereka melakukan pemeriksaan terlebih dahulu. Jika cocok, maka mereka akan duduk bersama Tuarek Natkime untuk membicarakan harga.
Reaksi spontan orang Amungme dengan menancapkan tonggak kayu di Camp Eksplorasi FM menunjukkan bahwa orang Amungme selalu menjaga gunung sucinya. Orang Amungme tidak akan membiarkan orang asing beraktivitas di area suci mereka.
Penjelasan Moses Kilangin dapat dimengerti baik oleh Tuarek Natkime. Sementara Darnell dan John Currie tidak dilaksanakan apa yang dijelaskan oleh rekan kerjanya.
Awal tahun 1970-an MFM memulai konstruksi. Suku Amungme merasa tidak seperti apa yang dijelaskan oleh Moses Kilangin, sekalipun penjelasan tersebut di depan John Currie dan Darnell, seperti yang ditulis dalam buku berjudul “Mozes Kilangin ‘Urumeki’” bahwa setelah penjelasan kepada Tuarek, apa yang dijelaskan ulang kepada Darnell dan John Currie.
Moses juga memberi nasihat kepada mereka berdua, saat mau konstruksi tidak meminta izin kepada orang Amungme. Pada pertengahan tahun tersebut orang Amungme memblokir jalan utama di Tembagapura menuju Mile 74.
John Currie belajar dari Moses Kilangin dengan memakai analogi dan mudah dimengerti oleh orang Amungme, sehingga dia memakai analogi pohon apel.
Masyarakat Amungme sering menirukan pernyataan John Currie bahwa “di Mulkini ini saya tanam pohon apel, kita jaga sama-sama, pada saat berbuah, buah dari dahan sebelah anak-anak Amungme petik, dan lainnya dipetik oleh anak-anak Amerika, duduk dan berdiri sama-sama”. Penjelasan John Currie dapat dimengerti baik oleh masyarakat, sehingga mereka membuka blokir jalan.
Tahun 1973 FM tahap awal produksi pertama diekspor melalui Pelabuhan Amamapare, di Timika, Papua, yang saat itu bernama Provinsi Irian Jaya.
Hal tersebut diketahui oleh masyarakat Amungme dan mereka kembali melakukan demonstrasi kepada FM. Hingga awal 1974, tiga pihak duduk bersama untuk menyelesaikan masalah tersebut, yaitu Pemerintah Indonesia, Freeport McMoran, dan suku Amungme.
Ada beberapa poin penting yang juga merugikan orang Amungme hingga hari ini, seperti klausul tentang pelepasan tanah dari Tsingogoma hingga Tembagapura dan sekitarnya. Kedua klausul tentang Amungme tidak boleh memasuki area kerja FM. Perjanjian tersebut dikenal sebagai “January Agreement 1974”.
Apa yang disepakati dalam perjanjian tersebut tidak dilaksanakan. Hingga tahun 1992, Tom Beanal pun pindah dari Nabire ke Timika. Sebagai salah satu tokoh intelektual Amungme yang terlibat dalam January Agreement, menegur manajemen PTFI.
PTFI membangun sekolah di tiga lembah lingkar tambang dan naik kelas IV SD, pindah ke SD Kwamki Lama dan tinggal di asrama yang dibangun oleh PTFI.
Pada 16 November 1992, Alm. JP Matondang, mengeluarkan Surat Keputusan (SK) Nomor 202 tentang Penetapan Lembaga Kerapatan Adat Suku Amungme (LEKASA). Kemudian pada tahun 1994 masyarakat suku Amungme dan suku-suku kerabatnya melalui musyawarah besar di Kwamki Lama mengubah LEKASA menjadi LEMASA, dan mereka mengangkat Tom Beanal menjadi tokoh besar suku Amungme (Amungme Nagawan).
Posisi tersebut dimanfaatkan oleh Tom Beanal, untuk menyiapkan gugatan terhadap PTFI selama dua tahun kurang satu bulan, tanggal 28 tahun 1996, gugatan terdaftar di Pengadilan Federal Amerika Serikat. Tanggal, 24 Mei 1996, dengan dibantu oleh penerjemah maju memberikan kesaksian awal mengenai gugatan terhadap Freeport McMoran Group (FMCG).
Pada 2 Juli 1996, Hakim Duval mengeluarkan putusan tentang penolakan terhadap mosi yang dilancarkan oleh FMCG, dengan maksud menggagalkan gugatan Tom Beanal. Sebaliknya pengadilan memberikan kesempatan kepada Tom Beanal untuk melanjutkan gugatannya, termasuk melengkapi materi gugatan dan dilengkapi dengan bukti-bukti tuduhannya.
Selanjutnya visa Tom Beanal dicekal oleh pemerintah dan posisinya dipersulit untuk keluar negeri. Tahun 1996 terjadi kerusuhan besar-besaran di area kerja PTFI dari Timika kota hingga Tembagapura; alat-alat kerja dan perkantoran PTFI menjadi sasaran amukan massa.
Belakangan diketahui bahwa peristiwa tersebut merupakan manajemen konflik yang diciptakan oleh pihak ketiga, yang sasarannya menggagalkan gugatan Tom Beanal.
Dalam situasi tersebut Jim Bob Moffett pemilik PTFI memberikan dana 1% kepada masyarakat. Dana 1% adalah Fund For Irian Jaya Development (FFIJD), dana pembangunan Irian Jaya. Dana tersebut diambil 1% dari pendapatan kotor PTFI. Artinya, hasil penjualan konsentrat tembaga, emas dan perak, sebelum bayar pajak, gaji, dan biaya operasional perusahaan satu persennya dipisahkan untuk dana sosial.
Dana tersebut membuat pro-kontra antara masyarakat Amungme dan lima suku kerabat. Ada kelompok yang mendukung gugatan Tom Beanal dan ada kelompok yang mau memakai dana tersebut. Situasi ini tentu melemahkan posisi Tom Beanal yang sedang menggugat FMCG di Amerika Serikat. Direktur LEMASA kemudian mengundurkan diri karena mau menerima dana 1% tersebut.
Dalam penjelasan manajemen PTFI yakni Paul Murphy mewakili pemegang saham atau komisaris dan Adrianto Machribie mewakili direksi PTFI, bahwa dana FFIJD merupakan instrumen nyata untuk membangun masyarakat Irian, terutama mereka yang tinggal di wilayah Timika dan sekitarnya. Fokus utama diberikan kepada suku Amungme dan suku Kamoro, yang tanahnya digunakan untuk operasi Freeport.
Oleh karena itu, wajar jika sebagian besar dana ini dialokasikan untuk mereka, terutama yang tinggal di wilayah DASKAM.
DASKAM mencakup wilayah antara Sungai Kamoro dan Sungai Mawati, melibatkan desa-desa di sekitar Tembagapura dan desa-desa Kamoro di dataran rendah. Suku-suku lain juga dapat memanfaatkan dana ini dengan mengembangkan proyek sosial dan ekonomi, untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Dana FFIJD diberikan prioritas untuk membiayai program pengembangan sumber daya manusia (SDM), terutama di bidang kesehatan dan pendidikan (beasiswa, asrama, sekolah kursus, serta pelatihan keterampilan), dan sebagainya.
Dalam penggunaan dana tersebut, masyarakat harus terlibat sepenuhnya dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi proyek pembangunan. Ini melibatkan partisipasi aktif dalam memastikan keberhasilan proyek dan memberikan manfaat yang nyata. Namun, praktik di lapangan tidak seperti penjelasan kedua pimpinan besar PTFI.
Pendidikan, ekonomi, dan kesehatan gagal dibangun oleh PTFI. Tiga lembah yakni Waa, Tsinga dan Arwanop menjadi berantakan. Kehidupan mereka jauh dari perhatian. Pada Agustus 2022 salah satu asrama di Lembah Tsinga ditutup oleh pengelola dana dan pendonor.
Kita dapat melihat kondisi masyarakat DASKAM di Pulau Karaka, sebelahnya ada keistimewaan dan kemegahan kompleks PTFI di Amamapare, sedangkan sebelahnya perumahan masyarakat asli. Kalau mau lihat keadaan suku Amungme bisa pergi ke Banti, dari kota Tembagapura menuju ke Banti Anda akan menyaksikan perbedaan yang sangat luar biasa.
Pada 2000, Freeport McMoran berhasil membujuk Tom Beanal mengikuti keinginan mereka. Maka pada 13 Juli 2000 di New Orleans USA, Tom Beanal dan Jim Bob Moffett menandatangani MoU 2000.
Melalui MoU tersebut, Tom Beanal diterima menjadi Komisaris PTFI mewakili suku Amungme dan Titus Potreyao mewakili suku Kamoro. Keduanya sudah menjadi almarhum. Hingga kini posisi tersebut tidak ada penjelasan dari PTFI.
Khususnya, kesepakatan tersebut mencerminkan komitmen para pihak terkait dan telah dijadikan rujukan dalam penyusunan naskah Memorandum of Understanding (MoU) tahun 2000, khususnya pada poin keenam.
Adapun semangat MoU 2000 sebagaimana diatur pada halaman 3 MoU 2000, dijelaskan bahwa maka LEMASA dan PTFI dengan didorong oleh keinginan bersama atas dasar prinsip kesejajaran, saling menghargai, dan saling menguntungkan; maka semua pihak bersepakat untuk mengadakan kerja sama dalam bidang-bidang SDM, sosial ekonomi, HAM, hak ulayat dan lingkungan hidup.
Koran terkemuka di Mimika pada 6 April 2024 memuat pernyataan Yohanes Kum. Bahwa tujuh suku akan mengevaluasi LPMAK, khususnya tiga program utama (pendidikan, ekonomi, dan kesehatan). Berita ini merupakan bukti nyata pemanfaatan dana 1% tidak sampai pada sasaran yang ditujukan oleh PTFI.
Berbeda dengan apa yang kita lihat pada PTFI sendiri dan Pemerintah Indonesia. Mulai tahun 2017 Pemerintah Indonesia menerapkan IUPK. Sampai saat ini Pemerintah Indonesia berhasil memiliki 61% saham dan FCX sendiri menguasai 39% saham PTFI. Kedudukan PTFI berada di Jakarta dan wilayah operasionalnya di atas tanah Amungme/Amungsa dan Bumi Kamoro.
Pemerintah Indonesia pemilik saham mayoritas dan sebagian dimiliki oleh FCX. Keduanya merupakan pemilik modal berupa uang, teknologi dan sumber daya manusia.
Lantas berapa persen saham yang disisihkan untuk orang Amungme dan Kamoro, yang merupakan pemegang modal berupa tanah, gunung, air, dan segala isi perut tanah Amungsa dan Bumi Kamoro? Saat ini orang Amungme dan Kamoro disingkirkan dari tanahnya dan tidak mengakui segala hak pertuanan atas tanah, gunung dan segala isinya.
Pemerintah Republik Indonesia dan FCX wajib memikirkan masa depan orang Amungme dan Kamoro. Keadaan suku Amungme dan Kamoro kini sangat menderita kerugian, kemiskinan dan kebodohan. Dana satu persen harus dikembalikan kepada masyarakat melalui LEMASA dan LEMASKO dan pembayaran kompensasi selama 57 tahun oleh Pemerintah Indonesia dan FCX dalam bentuk saham, supaya masyarakat membangun dirinya. Memperkuat ekonomi, kesehatan dan meningkatkan pendidikan anak-anak mereka supaya setelah PTFI ditutup atau selesai beroperasi, mereka tetap bertahan hidup dengan bekal pendidikan yang diperolehnya.
Kalaupun hal ini gagal dicapai, bukan tidak mungkin lagi peristiwa tahun 1996 terulang kembali hari ini, dan PTFI diseret ke pengadilan internasional atas kejahatan kemanusiaan yang dilakukan secara masif, terencana dan terukur. (*)
)* John Magal adalah Ketua Lembaga Masyarakat Adat Suku Amungme (LEMASA).
Discussion about this post