Oleh: John Magal*
Masyarakat adat Suku Amungme merupakan warga asli Papua dengan akar kebudayaan Melanesia yang menjalani kehidupan yang berlandaskan warisan leluhur Amungme secara turun-temurun di wilayah adat mereka yang dikenal sebagai “Amungsa”. Masyarakat ini tunduk pada hukum adat, menunjukkan solidaritas tinggi, serta memegang kedaulatan atas masyarakat, wilayah adat, dan sumber daya alam.
Etimologis nama “Amungme” berasal dari “Amung,” yang berarti pertama, utama, intisari, dan “Me,” yang merujuk kepada manusia. Dengan demikian, Amungme dapat diartikan sebagai manusia pertama, manusia utama, atau intisari manusia.
Wilayah adat suku Amungme dapat diuraikan secara berurutan dari timur ke barat, yang dimulai dari Mbram Mbram Tagal di batas timur (sebagai perbatasan dengan Kabupaten Ndugama). Sejalan ke arah barat, terdapat wilayah yang dikenal sebagai Delematagal, yang berbatasan dengan Kabupaten Paniai.
Sementara itu, di sebelah utara, wilayah ini berbatasan dengan wilayah suku Damal dan terletak di Kabupaten Puncak Papua. Di sisi barat laut, wilayah Amungme bertemu dengan suku Moni di Kabupaten Intan Jaya.
Selanjutnya, di sebelah selatan, wilayah adat ini berbatasan dengan wilayah adat suku Kamoro, sedangkan di sebelah tenggara, wilayah Amungme berbatasan dengan wilayah adat suku Asmat.
Gunung Nemangkawi merupakan gunung kebanggaan suku Amungme, sebuah tempat yang tidak hanya dipuja, tetapi juga diagungkan dan dikeramatkan. Gunung ini bukan sekadar rumpun batu, melainkan sebuah entitas yang sarat dengan nilai mitologi, legenda, religius, filosofi, dan aspek sosial budaya yang mendalam.
Dalam mitologi suku Amungme, dipercayai bahwa di sekitar Gunung Nemangkawi hidup makhluk-makhluk suci yang memiliki kekuatan membawa kesuburan, kekayaan, kesembuhan, dan bantuan dalam mengatasi kesulitan hidup. Legenda yang berkembang di lembah Tsinga juga menyatakan bahwa Nemangkawi dianggap sebagai honai, yaitu tempat tinggal salah satu marga terkemuka di lembah tersebut.
Aspek religius gunung ini begitu kuat, dengan puncak Nemangkawi dipandang sebagai pintu penghubung antara surga dan dunia atau manusia. Suku Amungme meyakini bahwa setiap individu yang meninggal akan menuju puncak Nemangkawi sebagai jalur menuju surga. Kepercayaan ini memberikan dimensi spiritual yang mendalam terhadap gunung tersebut.
Aspek filosofi Gunung Nemangkawi juga tercermin dalam percakapan sehari-hari, di mana bahasa perbandingan digunakan untuk menggambarkan nilai-nilai seperti kejujuran, kelakuan bersih, kesucian, dan segala hal yang murni dan putih. Sebagai contoh, seseorang yang memiliki kelakuan yang jujur dan bersih bisa diibaratkan seperti salju abadi yang putih di puncak Gunung Nemangkawi.
Dalam analogi ini, salju abadi yang putih menjadi simbol kemurnian dan kebersihan, sehingga menggambarkan dengan indahnya sifat positif yang dimiliki oleh individu tersebut.
Dalam konteks sosial budaya, Gunung Nemangkawi memiliki peran yang signifikan dalam proses pemilihan pemimpin. Orang yang bercita-cita menjadi pemimpin besar atau tua-tua adat diharuskan membacakan mantra sambil diangkat dan ditempatkan di puncak Gunung Nemangkawi. Hal ini mencerminkan pentingnya gunung sebagai simbol kebijaksanaan dan otoritas dalam struktur sosial suku Amungme.
Gunung suci Amungme, yang kini dieksploitasi oleh PT Freeport Indonesia, adalah Puncak Carstensz. Nama ini dikenal di banyak kalangan dan bagi suku lokal dan sejumlah orang yang pernah mampir. Suku Amungme menyebutnya “Nemangkawi”.
Bagi suku Amungme, gunung ini memiliki nilai religius, menjadi simbol kehormatan, dan mengandung harga diri, terutama bagi mereka yang tinggal di sekitar Gunung Nemangkawi seperti Waa, Tsinga, dan Arwanop. Nemangkawi dihormati sebagai “ninggok” atau kepala oleh suku Amungme. Dalam bahasa Amungme, Gunung Carstensz disebut “Nemangkawi,” yang artinya panah putih atau suci.
Nemangkawi ningok dianggap sebagai simbol kesucian, kejujuran, dan kebenaran, diibaratkan sebagai anak panah tajam yang menghadapi berbagai tantangan hidup.
Beberapa tempat keramat di sekitar Nemangkawi mengalami perubahan fungsi; misalnya, Peyukate kini dikenal sebagai Ridge Camp dan Mile 72 sebagai Grasberg.
Perubahan ini mencerminkan transformasi tempat-tempat yang sebelumnya dianggap keramat, dan tempat pemujaan menjadi bagian dari kegiatan perusahaan. Suku Amungme, terutama yang tinggal di tiga lembah, merasa kehilangan dan kecewa karena kerugian tanpa kompensasi yang wajar.
PT Freeport Indonesia memiliki kaitan dengan kunjungan pertama penjelajah Carstensz dari Eropa pada tahun 1623. Puncak tinggi yang dilihat Carstensz disaat berlabuh di perairan Mimika pantai, puncak yang tertutup salju tersebut, dinamakan Puncak Carstenzs.
Namun, perubahan nama oleh pemerintahan Indonesia menyebabkan pemaknaan yang berbeda, menciptakan ketidak-akuan identitas dan eksistensi masyarakat Amungme.
Nama Nemangkawi, yang sebelumnya dianggap sakral, kehilangan maknanya dan menggambarkan ketidak-akuan hak-hak dasar dan nilai-nilai sosial budaya masyarakat Amungme.
Periode 1974 sampai 1990-an kita menyaksikan penyebaran label “separatis” kepada mereka yang menuntut hak ulayat, memaksa masyarakat lokal untuk berdiam diri. Kesalahan masa lalu ini menyebabkan luka mendalam yang sulit sembuh bagi Amungme.
Manajemen PT Freeport Indonesia dihadapkan pada keputusan-keputusan yang merugikan masyarakat, menimbulkan perasaan kekecewaan.
Luka hati masyarakat lokal dari generasi tua hingga muda tidak pernah sembuh, terbukti dengan tuntutan hukum di Amerika Serikat oleh Tom Beanal (generasi tua) dan gugatan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan oleh Titus Natkime (generasi muda) dan hari ini hadir di Timika Menuel John Magal sebagai Ketua LEMASA dan Agustinus Anggaibak sebagai Ketua MRP Provinsi Papua Tengah.
Merupakan sejarah dalam perlawanan suku Amungme terhadap PTFI, di mana MRP Provinsi Papua Tengah membentuk Panitia Khusus (Pansus) AMDAL PT Freeport Indonesia.
Sampai hari ini Amungme meyakini bahwa kompensasi finansial tidak dapat menyembuhkan luka hati mereka. Ungkapan kecewaan masyarakat Amungme hingga mengucapkan kalimat seperti “mungkin Tuhan salah menempatkan kami di tempat ini”, mencerminkan ekspresi mendalam dari hati anak-anak Amungme yang merasakan ketidakadilan, diskriminasi, intimidasi, dan penindasan yang dialami pada masa lalu hingga hari.
Hingga kini, orang Amungme terus berjuang untuk mendapatkan pengakuan, dan kompensasi yang sesuai dari PT Freeport Indonesia dan Pemerintah Indonesia. (*)
*Penulis adalah Ketua Lembaga Musyawarah Adat Suku Amungme (LEMASA)
Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!