Oleh: Bernardus Bofitwos Baru, OSA *
Surat Wahyu Yohanes adalah model kisah tentang pemikiran kargoisme yang tepat dan benar, karena Yohanes mampu menyatukan cara berpikir apokaliptik dan mitologis secara rasional. Fenomena kargoisme dapat dilihat sebagai upaya penyatuan dua konsep tersebut di atas, yaitu, konsep mitos tentang asal-usul manusia dan alam, serta visi ke depan sebagai kepenuhan ciptaan Allah, baik makro, maupun mikro kosmos.
Maka aspek negatif gerakan kargoisme lebih dominan karena ketidakmampuan rasional-objektif para pemimpinnya, untuk menyatukan kedua pemahaman ini ke dalam sebuah formulasi objektif rasional.
Selain itu, ada pula aspek positif dari gerakan kargoisme ini, di mana, gerakan ini juga memiliki makna simbolik yang kaya secara teologis dan spiritual. Makna simbolik gerakan kargoisme ini diangkat oleh Dr. Albertus Heriyanto. Ia menegaskan makna simbolik gerakan kargoisme ini mencakup simbol kekuatan spiritual dan ilahi serta simbol penyelamatan berupa pembebasan, pembaharuan dan harmoni dalam hidup sekarang menuju ke masa depan (A. Heriyanto: Mei 2005).
Harapan akan masa depan orang asli Papua
Harapan akan masa depan bagi orang asli Papua atau OAP dapat dikonstruksi tidak berlandaskan pada pilar berpikir dan mentalitas kargoisme yang bersifat negatif, melainkan berlandaskan pilar pemikiran rasional ilmiah dan mentalitas spiritual yang dewasa (iman yang dewasa). Berdasarkan ide ini, mari kita mendalami apa yang dimaksud dengan harapan akan masa depan orang asli Papua.
Pendeta Dr. Benny Giay menyebut harapan masa depan orang asli Papua dengan sebutan “Papua baru”. Ia memberikan suatu gambaran tentang Papua Baru tersebut yang harus dikonstruksi melalui beberapa langkah sebagaimana diangkat oleh Tim Peneliti LIPI (W.S. Muridan: 2009).
Pertama, ia menekankan pentingnya upaya untuk melindungi tanah dan eksistensi bangsa Papua (orang asli Papua). Upaya perlindungan ini mencakup aspek nilai-nilai budaya, sistem sosial yang khas Papua, hak ulayat masyarakat adat, identitas orang asli Papua sebagai ras Melanesia, dan demografi atau jumlah penduduk orang asli Papua.
Di sini dibutuhkan political will dari pihak pemerintah, untuk memproteksi jumlah orang asli Papua melalui kebijakan khusus. Misalnya, kebijakan membatasi masuknya jumlah kaum imigran dari luar ke Papua;
Kedua, prioritas pendidikan untuk orang asli Papua. Aspek ini menekankan kebijakan pendidikan oleh pemerintah yang memprioritaskan anak-anak asli Papua, dari jenjang sekolah dasar sampai ke perguruan tinggi (S1, S2, dan S3);
Ketiga, kebebasan untuk mengembangkan wawasan sejarah sendiri dan merayakan simbol-simbol budayanya;
Keempat, rekonsiliasi dan terapi trauma kolektif akibat konflik bersenjata dan kebijakan militerisme di Papua;
Kelima, papuanisasi yang sungguh-sungguh. Artinya, upaya memberikan ruang yang seluas-luasnya kepada orang asli Papua guna mengembangkan keberadaannya, budayanya ataupun penguasaan di bidang ekonomi dan politik;
Keenam, upaya pembebasan masyarakat dari beban kehadiran militer;
Ketujuh, kembali ke masyarakat multietnis;
Kedelapan, pembangunan dengan etika dan parameter hak asasi manusia.
Ada beberapa versi lain tentang Papua baru ini. Pertama, Papua baru yang dimaksudkan adalah semua pendatang kembali ke tanah leluhurnya atau tanah asalnya masing-masing. Tanah Papua hanya untuk orang asli Papua;
Kedua, Papua baru adalah Papua Barat (West Papua) merdeka, yang mengacu kepada struktur pemerintahan kolonial sebelum 1962, dan menjadi bagian dari Kerajaan Belanda;
Ketiga, Papua baru yaitu Papua yang tetap berada di dalam NKRI sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Otsus Papua Nomor 21 Tahun 2001 yang dilaksanakan secara benar, sungguh-sungguh, dan konsisten oleh pemerintah pusat;
Keempat, Papua baru adalah Papua yang mempunyai struktur negara baru, yang terlepas sama sekali dari Kerajaan Belanda dan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia).
Selain gambaran Papua baru menurut Dr. Benny Giay, Frans Wospakrik dan Frans Apomfires lebih menekankan Papua baru pada aspek pengakuan terhadap kekuasaan nilai budaya, akses kepada sumber daya ekonomi, dan terbebas dari militerisme.
Selain itu, Martinus Ayomi menunjukkan bahwa Papua baru itu adalah kebebasan orang Papua asli untuk menentukan nasibnya sendiri. Untuk itu, menurutnya, 99% jabatan eksekutif dan legislatif harus dipegang oleh orang asli Papua. Fasilitas pendidikan khusus untuk orang asli Papua hingga ke jenjang strata tiga (doktor) harus disediakan oleh pemerintah pusat dan daerah.
Selain itu, eksploitasi sumber daya alam harus dihentikan, diberikan hak sepenuhnya kepada orang asli Papua sebagai pemilik hak ulayat tanah, hutan dan lautan melalui mekanisme penetapan hukum dan keputusan politik negara.
Menurut pandangan saya, membangun Papua Baru pertama-tama mengacu kepada terciptanya sistem pendidikan karakter yang berbasis dari nilai-nilai budaya, religi dan ilmu pengetahuan, sehingga melahirkan kepribadian yang utuh bagi generasi Papua ke depan, baik aspek kognitif, psikomotorik, spiritual, nilai-nilai kebudayaan, maupun pembentukan nilai-nilai moral-etika.
Parameter manusia berkualitas adalah manusia yang memiliki kepribadian yang utuh, bukan kepribadian hysteresis atau kepribadian retak atau terpecah belah menurut Pierre Bourdieu. Menurutnya, hysteresis adalah deviasi atau keretakan habitus seseorang atau watak retak yang terjadi di dalam diri seseorang. Karena akibat keretakan tersebut membuat ia menjadi pribadi yang terbagi-bagi, terpecah-terpecah (Mudji Sutrisno: 2010).
Kepribadian terpecah-belah ini dapat dilihat melalui rusaknya perilaku hidup akhlak dan moral orang Papua saat ini, khususnya para pemimpin dan kaum muda. Di jalan raya dijumpai begitu banyak kaum muda Papua yang mabuk-mabukan. Tidak hanya kaum pria, tetapi juga kaum perempuan. Begitu pula para pejabat asli Papua yang moralitas dan spiritualitasnya rusak. Kita semua merasa sedih dan menangis menyaksikan semua ini.
Kepribadian yang utuh adalah kepribadian yang mempunyai lima kepandaian, yaitu: (1) Kepandaian ilmu pengetahuan (knowledge intellegency); (2) Kepandaian spiritual-rohani (spiritual intelligence); (3) Kepandaian perilaku moral-etika (ethic and moral attitude intelligence); (4) Kepandaian iman (faith intelligence); (5) Kepandaian kreativitas dan inisiatif serta mempunyai visi ke depan sebagai pemimpin (creativity, initiative and have a big dream for future as a leader).
Seorang ahli politik Asia, Prof. Dr. Benedict Richard Anderson (Ben Anderson) mengatakan bahwa kualitas seorang pemimpin terlihat melalui empat hal yang ditampilkannya, yaitu: (1) Mempunyai cara berpikir yang luas atau berwawasan luas, daya jangkau nalar yang luas dan mendalam, bukan cara berpikir seperti katak di bawah tempurung; (2) Berani mengorbankan ide, gagasan, perbuatan secara konkret melalui suatu perjuangan yang panjang; (3) Harus mempunyai mimpi-mimpi besar (have a big dream) seperti yang dimiliki oleh Martin Luther King, Nelson Mandela dan Barack Obama; (4) Harus mempunyai visi jangka panjang yang tajam dan jelas.
Oleh karena itu, bagi Ben Anderson seorang pemimpin sejati harus menghindarkan diri dari mentalitas oligarki dan membagi-bagi rezeki, korupsi, mengejar jabatan, kekuasaan dan uang atau kekayaan material semata (Kompas, 9 Maret 2010). Selesai. (*)
* Penulis adalah Ketua Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STFT) Fajar Timur, Abepura, Jayapura, Papua